Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola bank sampah Kalidoni Kota Palembang, telah terlihat bahwa budaya masyarakat yang masih belum memilah sampah organik-non organik dengan benar menjadi permasalahan serius bagi pengelola bank sampah. Hal ini dikarenakan belum adanya pendanaan resmi dari pemerintah untuk mengupah para pengelola sampah tersebut, padahal pekerjaan memilah sampah yang sudah terlanjur dicampur dan busuk sangatlah berat.
Edukasi terhadap masyarakat harus dilakukan dengan intensif/ berkali-kali. Hal ini sejalan dengan penelitian Zorpas et al. (2018) yang mengindikasikan bahwa setelah rentang waktu sekitar 10 pekan, seorang surveyor dari dua grup yang mereka riset, menunjukkan bahwa 75% dari partisipan Tim A benar-benar mengikuti instruksi/petunjuk yang diajukan (sehubungan dengan produksi kompos). Tim A sungguh-sungguh diinformasikan bagaimana cara kerja compost bins, apa yang bisa dikomposkan, apa keuntungan pencegahan, dan setiap 3 hari dalam masa 10 pekan tersebut selalu dihubungi untuk mencari tahu bagaimana mereka menggunakan compost bins).Â
Di sisi lain dalam riset mereka tersebut, dari Tim B (dimana hanya diberikan informasi 1 kali dan selama masa 10 pekan tidak ada monitoring yang dilakukan), hanya 7% yang mengikuti instruksi yang diberikan dan berpartisipasi dalam produksi kompos rumah tangga.Â
Jumlah sampah organik persentasenya sekitar 39-74% (Zurbrügg, 2003) sehingga membutuhkan penanganan khusus sejak dari sumbernya. Oleh karena itu, sangat baik jika pemerintah memberikan kewajiban bagi setiap rumah yang dimiliki oleh kalangan menengah keatas, untuk memiliki komposter minimal 2 buah tiap rumah. Hal ini sesuai seperti Petunjuk Teknis Pt S-06-2000-C  Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah yang menyebutkan bahwa komposter rumah tangga adalah alat yang digunakan untuk mengolah sampah dapur menjadi kompos terdiri dari 2 unit dipakai secara bergantian ditempatkan secara berdekatan atau terpisah. Sehingga tukang sampah hanya mengambil sampah daur ulang dan sampah residu. Paket komposter sederhana seperti gambar bawah hanya membutuhkan biaya sekitar 300-400 ribu rupiah (drum fiberglas sekitar 100 ribu, 1 botol bakteri EM4 30 ribu, pupuk kandang 10 ribu, dan pengelasan dudukan besi 95 ribu atau lebih).Â
Atau jika terasa sulit, bisa diganti dengan keluarga menengah keatas tersebut memberikan biaya iuran sampah yang lebih banyak untuk para petugas sampah agar dapat mengelola sampah-sampah tersebut dengan lebih baik. Namun sampah telah terpilah menjadi 3 sejak dari rumah, yaitu organik-daur ulang-residu. Sebagaimana diusulkan oleh Gubernur Jawa Barat.Â
Adapun untuk lingkungan kalangan menengah ke bawah, pemerintah dapat membangunkan komposter komunal, sehingga setiap hari masyarakat sekitar dapat mengumpulkan sampah-sampah organiknya ke lokasi komposter komunal tersebut. Sampah daur ulang dikumpulkan ke bank sampah.
Untuk itulah, biaya eksternalitas sampah bisa dimasukkan kedalam biaya produksi perusahaan-perusahaan. Dimana anggaran yang didapat pada akhirnya digunakan untuk membiayai keperluan manajemen sampah terutama di kota-kota besar yang banyak terjadi darurat sampah.Â
Konsep inti evolusi yang dijelaskan oleh mycologist Paul Stamets yakni evolusi memang melalui seleksi alam, yang terkuat dan tangguh bertahan. Tetapi selain itu, komunitas bertahan hidup lebih baik daripada individu. Komunitas mengandalkan kerja sama. Paul Stamets menyebutkan bahwa hal itu merupakan kekuatan dari kebaikan. Evolusi berdasarkan konsep saling menguntungkan dan ekstensi dari kemurahan hati. Hal itu sebenarnya dapat diterapkan dalam manajemen sampah plastik, dan sampah daur ulang lainnya. Dengan melindungi bumi, sama dengan melindungi manusia itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H