Mohon tunggu...
stefany adi wahyuningrum
stefany adi wahyuningrum Mohon Tunggu... -

orang biasa yang punya impian menjadi penulis dan sangat mendukung adanya citizen journalism.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perampok Kecil atau Malaikat Kecil?

4 Februari 2010   04:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cerita ini terjadi saat saya menjadi dokter pengungsi di Atambua, pada waktu kerusuhan Tim-Tim terjadi. Selama 2 bulan menangani pengungsi di camp pengungsian yang sangat buruk sanitasinya, tiba-tiba kok lidah jawa saya kepingin makan bakso solo (kayak orang lagi ngidam). Makanan di Atambua sangat tinggi karbohidrat dan lemak jenuhnya jadi bikin enek, rasanya makan bakso yang banyak kuah dan hangat akan membuat mood saya yang lagi capek menjadi segar kembali.

Sore hari setelah semua pekerjaan selesai, berjalanlah saya seorang diri menuju warung bakso solo yang ada dipertigaan jalan dan selalu ramai dikunjungi orang. Melewati jalan dekat Katedral yang sangat sepi, membuat saya sedikit bergidik, takut jangan-jangan ada perampok, dan lagi situasi yang masih dalam keadaan darurat tiga sejak kerusuhan terjadi masih sangat rawan. Tapi demi semangkuk bakso hangat, apalah artinya itu? pikir saya. Dengan tekad yang nekat, saya tetap berjalan dengan tenangnya sambil melihat pemandangan Gereja Katedral yang ada diseberang jalan. Sekonyong-konyong dari kejauhan berjalanlah seorang anak laki-laki kecil menuju ke arah saya...Oh ternyata ada juga orang selain saya yang ada disepanjang jalan itu. Anak laki-laki kecil terus berjalan kearah saya dan sekarang ada disamping saya dan berpapasan. Betapa kagetnya saya, karena anak laki-laki kecil itu wajahnya berubah menjadi ganas laksana seorang preman jalanan dan dengan suara kerasnya dia berkata ,"Saya mau uang itu", katanya sambil menunjuk dompet saya yang keliatan tebal karena banyak kartu nama dan bon-bon yang tidak jelas."Saya butuh uang itu", teriaknya sekali lagi. Saya hanya tertegun dan mencoba tersenyum,"Buat apa uang itu,dik?". "Buat makan, saya lapar!", katanya semakin gusar dan dengan kasar anak laki-laki kecil berusaha merebut dompet saya. "Saya mau uang itu buat makan!",teriaknya lagi. "Hei, sabar dik", hardik saya dan mencoba menarik dompet saya yang sempat mau dirampasnya. "Kalo adik lapar, mari ikut saya makan", kata saya sambil terus berjalan menuju warung bakso solo. Anak laki-laki kecil mengikuti saya dari belakang dan wajah gusarnya sudah mulai berkurang.

Sampai didepan warung solo, masuklah saya kesana. Anak laki-laki kecil tidak mengikuti saya masuk. "Hei, adik. Mari masuk dan duduk didalam. Kita makan bakso bersama", ajak saya. Anak laki-laki kecil berubah wajah menjadi pemalu dan dengan takut-takut masuk ke warung. "Mari duduk sini, katanya lapar mau makan. Ayo duduk sini, disamping saya", saya tetap harus membujuknya untuk duduk di dalam. "Oke, sekarang mau makan dan minum apa?", tanya saya. Anak laki-laki kecil tersenyum dan tersipu malu dan tidak menjawab pertanyaan saya. "Mau makan bakso dan es teh?",tanya saya ulang. Anak laki-laki kecil mengangguk malu-malu. "Oke, saya pesankan. Mas, bakso dua sama es teh dua."

Anak laki-laki kecil, usia 6 tahunan, duduk dikursi dengan kaki yang tergantung, terayun-ayun, dengan wajah polos, senyum tersipu, melipat tangan dimeja dengan sopannya. Anak laki-laki kecil, perampok kecil, berubah menjadi malaikat kecil seperti cupido. "Siapa namamu dik? gak sekolah? dimana orangtuamu?",tanyaku. "Anton," katanya pelan. "Oh, nama yang bagus. Kelas berapa? Sekolah dimana?",tanyaku lagi. "Disekolah tenda." "Trus sekarang gak sekolah?". "Tidak, saya mbolos." "Hei, kenapa mbolos? sekolah dong, biar pinter, biar bisa nolong orang." Anak laki-laki kecil tersenyum malu. Dua mangkuk bakso datang dan kami makan bersama. Lahap dia santap baksonya sampai habis."Gimana? tambah lagi?", tanyaku. Dia menggeleng-geleng dengan senyum. Sangat santun. "Trus, dimana orangtuamu?" tanyaku melanjutkan pertanyaan yang belum terjawab. "dirumah", katanya. "ehm, tidak bekerja?". "Tidak, kami pengungsi", "Oh, I see. Besok kembalilah sekolah. Janji?". Anak laki-laki kecil menganggukkan kepalanya. "Sudah ya, saya pulang. Semoga kita berjumpa lagi. Dan salam buat orang tuamu, Anton. Bye.."

Anak laki-laki kecil berwajah polos seperti cupido, memandang kepergianku dan melambaikan tangan. Sampai ditikungan jalan, kutolehkan kepalaku kebelakang, anak laki-laki kecil masih memandangiku dari kejauhan dengan wajah yang tersenyum.

Apa yang menyebabkan anak laki-laki kecil, malaikat kecil itu bisa berubah menjadi seorang preman dan perampok? Apakah karena didikan orangtua, karena melihat dan meniru tingkah laku teman jalanannya? ataukah karena kondisi ekonomi yang menyebabkannya berubah? Sampai sekarang, saya tidak menenukan jawabannya...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun