Tok, tok, tok. Aku mengetuk pintu kamar Dini, saat itu aku telah selesai shalat maghrib, bermaksud menengoknya yang sedang ngambek, sebelum ke mesjid untuk shalatIsya. "Dini, ini Ayah." Aku menempelkan telingaku di pintu, mencoba mendengarkan apa yang terjadi di dalam kamar. "Ayah Boleh masuk, nggak?" tanyaku lagi.
"Ayah, datang!" Riuh terdengar suara kedua anak laki-lakiku. Terdengar langkah kaki, berlari. Seketika pintu terbuka, tampak keduanya yang memegang pensil warna. Si bungsu yang tangannya belepotan warna-warni melompat memelukku. Usianya 5 tahun. Kakaknya Bayu, masih kelas 2 SD, merebut tanganku yang sedang kesulitan menempatkan tangan untuk menyangga adiknya agar tak jatuh.
"Ayah...Ayah...Kak Dini tadi pulang sekolah nangis, digangguin temannya. Ade gambarin bunga biar kak Dini nggak sedih lagi." Dengan suara cadelnya anakku si bungsu Buyung berkata di balik telingaku sambil erat memelukku.
"Bayu juga, Yah. Tadi Bayu jadi imam shalat magrib, biar kak Dini cepat shalatnya, nggak nungguin Ayah lagi, kata Bunda bisa cepat istirahat dan setannya segera minggat, nggak gangguin Dini lagi." Dengan bangganya anak keduaku berkata tak mau kalah dari adiknya.
Aku tertawa mendengar ucapan polos mereka. "Alhamdulillah, jadi sekarang setannya sudah nggak gangguin kak Dini, ya! Sudah nggak sedih lagi, berkat anak-anak Ayah yang pemberani dan cerdas-cerdas ini. Tanganku mengacak rambut Bayu. Dan tak lupa mencium ubun-ubun keduanya.
"Iya, Ayah." Sahut keduanya nyaris bersamaan. Aku tersenyum kualihkan pandanganku ke arah Dini yang sedang duduk di lantai berkarpet, menyandar di samping tempat tidurnya. "Dini apa kabar? Ayah, boleh masuk, nggak nih?" Tanyaku lagi dibalas dengan anggukan tak bersemangatnya.
Si bungsu segera turun dari pelukanku, dan berlari kembali ke samping kakaknya disusul Bayu melanjutkan kegiatan mereka tadi yang terhenti karena menyambutku. "Hayoo, siapa yang marah karena membicarakan Ayah yang ganteng ini?" Senyumku menggoda sambil melihat ke arah Dini.
"Iiih, apaan sih, Ayah!" Dini menggendikkan bahunya sambil meringis menatapku. "Siapa juga yang bilang Ayah ganteng. Ayah ngasal deh! Dini nggak nulis yang seperti itu di diarynya." Ujarnya merengut sambil memoyongkan bibirnya.
"Terus, kenapa Dini marah karena nulis tentang Ayah. Apa Dini nulis tentang kejelekan Ayah, ya? Sampe segitu marahnya karena Ayah tuh kenyataannya ganteng nggak sejelek yang Dini tuliskan?" Aku kembali menggodanya, melangkah masuk dan ikutan duduk dilantai, di sampingnya.
"Ayah kepedean!" rengut Dini sambil melihatku. "Dini nggak membahas tentang itu, Yah! Dini hanya nulis kegiatan Ayah bareng Dini selama ini, tapi itu diary Dini, ngapain juga Amel reseh baca. Jelas-jelas disitu tulisannya d i a r y!" sambil menekankan kata diary dengan telunjuknya.
Tersenyum aku mendengarkan penjelasannya. "Ya, tapi nggak harus semarah itu. Amel sudah minta maaf, kan?" tanyaku sambil mengelus kepalanya.