Memilih lima dari 75 buku yang saya baca di tahun ini bukan hal sulit. Seperti kita sepanjang hidup makan, pasti ada beberapa hidangan yang sensasinya tersimpan di laci ingatan, meski semua ujung-ujungnya berakhir di lubang pembuangan.
Omong-omong, ini dia lima buku yang menggembirakan saya.
5. Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa – Tim Hannigan
Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa
“
Kita dijajah Belanda sih, coba dijajah Inggris.” Itu pemicu Hannigan menulis buku ini saat mendengar obrolan muridnya. Hannigan pernah tinggal di Indonesia dan mengajar bahasa Inggris. Saya termasuk orang yang berpikir begitu, menyalahkan penjajah atas level bahasa Inggris yang pas-pasan. Maka ketika Hannigan dengan bukti ilmiah mengolok-olok Raffles −yang patungnya berdiri megah di Singapura dan dianggap pahlawan di sana−, saya putuskan buku ini asyik dan bikin terkikik.
Hannigan menggambarkan sosok Raffles yang kepedean mampu mengubah budaya kolonial warisan Belanda dalam waktu lima tahun dan menghapuskan perbudakan. Di sisi lain, saya membayangkan perasaan Raffles sebagai lelaki yang kalah, kehilangan dan bangkrut saat kembali ke Inggris. Istri pertamanya yang lebih tua sepuluh tahun, Olivia, meninggal di Jawa. Ia menikah lagi dengan Sophia, yang memberinya lima anak. Empat anaknya pun meninggal karena sakit. Raffles tercatat memiliki utang lebih dari satu juta poundsterling dan meninggal 10 tahun kemudian setelah meninggalkan Jawa.
4. Moemie Gadis Berusia Seratus Tahun – Marion Bloem
Moemie Gadis Berusia Seratus Tahun
Marion Bloem adalah perempuan Eurasia yang menarik. Saya pertama melihatnya di Komunitas Salihara beberapa tahun lalu di acara festival sastra. Sebelum membacakan sepenggal tulisannya, ia bercerita tentang leluhurnya yang mengajari ia jongkok. Terpujilah ia yang menganggap jongkok itu menakjubkan. Padahal jongkok adalah hal yang lumrah kita lakukan di Indonesia setiap pagi, bukan? Baru-baru ini ia masuk berita daring. Kabarnya dia mengalami pelecehan seksual di Solo. Seorang edan meremas payudaranya saat menyusuri jalan Slamet Riyadi. Tentu edan, karena yang diremas adalah punya seorang nenek berusia 64 tahun. Apa saya bilang tadi, Marion adalah manusia yang menarik.
Moemie adalah bukunya yang pertama diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tokoh Moemie, seorang cenayang, menjadi suara dari kisah sebuah keluarga peranakan (Indo-Belanda) selama seratus tahun. Moemie yang waskita dan panjang umur ini berakhir riwayatnya saat Bom Bali. Kematian seorang eksentrik memang selayaknya dalam momen epik.
3. The House of the Spirits – Isabel Allende
Saya tak pernah membuang stiker harga buku. Saya melekatkannya ulang di sudut kanan bawah kulit dalam sampul belakang. Saya membeli buku ini seharga Rp.25.000 di obralan Gramedia. Salah satu kebiasaan buruk saya adalah kalap di obralan buku, lalu misuh-misuh usai baca setumpuk karya yang diobral tadi. Demi meredakan kekesalan, saya abaikan setumpuk buku obralan lain yang belum dibaca. Tiga tahun buku ini teronggok di pojokan buku obral jahanam dan terlupakan. Suatu hari, saya putuskan menguatkan diri membacai semua buku obralan yang belum dibuka, termasuk buku ini. Dua halaman pertama saya langsung terpukau pada kalimat-kalimatnya. Ternyata yang menerjemahkan Ronny Agustinus, pantas saja.
Buku ini mirip Moemie yang tokoh utamanya seorang cenayang dan menceritakan sejarah sebuah keluarga Amerika Latin selama tiga generasi. Sebagai pecinta telenovela zaman SD dulu, kisah di buku ini sungguh menyenangkan. Saya membayangkan Clara si Cenayang mirip nenek Cassandra si gipsi dengan bola kristalnya dan percintaan Blanca-Pedro Tercero mirip kisah Graciela-Adrian di telenovela Esmeralda. Ubek punya ubek, ternyata saya punya buku Allende yang lain, Portrait in Sepia edisi bahasa Inggris, juga buku obralan seharga Rp.40 ribu. Nasibmu Allende, diobral!
Lihat Humaniora Selengkapnya