[caption id="attachment_415961" align="aligncenter" width="420" caption="Wisma Katolik di sekitar bukit Tangga Saratus"]
[caption id="attachment_415962" align="aligncenter" width="420" caption="Sebuah toko yang tutup"]
[caption id="attachment_415963" align="aligncenter" width="420" caption="Bangunan kolonial Belanda"]
Hal yang khas selain pintu kayu bermotif gerbang, cukup banyak rumah-rumah kuno yang terbuat dari kayu dipadu dengan bangunan kolonial Belanda. Bangunan kuno ini tersebar di sekitar Sibolga Square, Tangga Saratus, dan pelabuhan. Ramos, sopir sekaligus pemandu perjalanan kami, yang melihat saya kalap memotret bangunan kuno hanya berkomentar, “Ckckck.. apa bagusnya gedung-gedung begini?”
Salah satu toko tradisional di Sibolga Square milik seorang kakek Tionghoa masih buka saat kami nongkrong malam itu. Mbak Icul, sempat nyeletuk “Oh.. ini toko kelontong.” Kakek itu agak tersinggung dan bilang, “Ini bukan toko kelontong.” Kami manggut-manggut dan membeli air mineral kemasan besar untuk stok air tambahan.
[caption id="attachment_415965" align="aligncenter" width="420" caption="Sebuah salon cukur di Sibolga Square"]
Oh ya, saya baru tahu kalau sate Padang ternyata populer sekali di kota ini. Sejak pagi, penjaja sate Padang sudah menggelar dagangan. Penduduk kota ini lazim sarapan dengan sate Padang. Kebanyakan pedagang makanan merakit gerobak jualannya dengan bentor (becak motor). Kalau di Jawa penjaja makanan biasanya mendorong gerobak atau mengayuh sepeda, di sini mereka selangkah lebih keren, pakai bentor!
Saya jadi menyesal lupa memotret satu plang iklan rokok bergambar sopir bentor di salah satu ruas jalan yang slogannya “Jangankan ke Siantar, kemana pun kuantar.” Eaaaahh...
[caption id="attachment_415966" align="aligncenter" width="420" caption="Sebuah bentor parkir di depan toko berpintu kayu."]
[caption id="attachment_415967" align="aligncenter" width="420" caption="Bis khas Sibolga yang berwarna cerah"]
Kembali ke kisah teman kami, Mbak Icul, seorang kelahiran Sibolga yang sudah 40 tahun lebih tak melihat tanah kelahirannya. Ia bercerita dulu saat berusia 2 tahun ia biasa mendaki sebuah bukit, Gunung Seng namanya, yang terletak di depan rumahnya persis. Di gunung itu ia memetik murbei liar. Saat ia menanyakan soal gunung itu ke Ramos, si sopir terbahak-bahak dan berkata, “Tak ada lah itu Gunung Seng!”
Kami tak menyerah, Mbak Icul telah dibekali ibunya daftar makanan yang harus ia cari selama di Sibolga. Salah satunya adalah kue-kue tradisional khas Sibolga, termasuk kue moho. Ramos membawa kami ke penjaja kue yang tampaknya terkenal dan laris. Seorang perempuan tua Tionghoa yang ramah, entah namanya siapa, tapi orang memanggilnya “Ai”. Kue-kue yang dijualnya semuanya enak! Favorit saya kue panukut (sejenis pancake), kue talam dan kue lape bugis. Mbak Icul dan Mbak Wiwin memborong kue dagangan Ai banyak sekali.
Ada pula kedai di daerah Kota Baringin yang menjual aneka gorengan seharga Rp1.500 per buah dan bandrek. Saya tadinya berpikir, gorengan dan bandrek di Sibolga? Apa iya enak? Ternyata saudara-saudara, kedai ini laris manis! Pembelinya mayoritas datang dengan mobil. Kedai ini sebenarnya rumah pribadi yang halamannya dijadikan warung. Saya yang tak terlalu suka bandrek, memilik bandrek plus susu. Semua gorengannya super yummy, mulai dari pisang goreng, bakwan, risoles, meluncur mulus ke perut saya.
[caption id="attachment_415968" align="aligncenter" width="420" caption="Ai di kedai kuenya, kue panukut dan cucur khas Sibolga"]
[caption id="attachment_415969" align="aligncenter" width="420" caption="Gorengan dan bandrek di Kota Baringin"]
Sebelum pulang, Mbak Icul juga ingin membawa keripik sambal khas Sibolga. Saat kami mendatangi sentra produksi keripik, sayang sekali semua keripik yang dikemas hari itu sudah dipesan orang. Ramos bilang masih ada toko di sekitar Sibolga Square yang menjual keripik itu secara eceran. Mbak Icul sempat menduga jangan-jangan toko itu adalah toko kelontong yang dijaga kakek galak kemarin.
Ternyata memang benar, kami kembali ke toko kelontong itu. Si kakek galak kali ini menanyai Mbak Icul. Ketika ia berkata ia kelahiran Sibolga, si kakek bertanya “Kau anak siapa?” Mbak Icul menyebut nama kecil ayahnya, dan kakek itu menukas “Saya dulu sering main ke rumah ayahmu, saat kau masih kecil!”
Terkuak sudah misteri gunung Seng. Gunung itu, kini, tak lain dan tak bukan adalah bukit Tangga Saratus. Rumah Mbak Icul kini menjadi taman kanak-kanak di belakang sebuah bank. Posisinya memang segaris dengan bukit itu. Giliran kami menertawakan Ramos yang tadinya mengira kami berkhayal. Sebelumnya saya sempat penasaran mencari gunung Seng di Google tak kunjung ketemu. Ternyata jawabannya tersimpan pada seorang kakek Tionghoa pemilik toko di Sibolga Square.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H