[caption id="attachment_415946" align="aligncenter" width="441" caption="Sebuah becak motor parkir di tepi pantai Sibolga"][/caption]
Napak tilas. Tampaknya nyaris semua orang memiliki ketertarikan akan masa lalunya. “Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards,” begitu kata Søren Kierkegard, seorang penulis Denmark. Berawal dari tiket pesawat promo, saya iseng-iseng ke Sibolga bersama dua orang teman. Seorang teman kami yang kelahiran Sibolga hendak mencari jejak rumahnya yang terletak di depan Gunung Seng. Tepatnya sejak 40 tahun silam, akhirnya ia kembali menapak tanah kelahirannya.
Bandara Ferdinand Lumbantobing yang terletak di PinangSori adalah bandara kecil dimana rute baru pesawat Garuda dibuka. Untuk menuju Sibolga, dari Pinangsori membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Khusus rute Jakarta–Sibolga ini, kami naik pesawat kecil dengan kapasitas dua penumpang di setiap sisi kanan dan kiri kabin. Landasan pacu di bandara yang pendek membuat pesawat terguncang seru ketika mendarat.
[caption id="attachment_415947" align="aligncenter" width="420" caption="Pesawat Garuda Indonesia mendarat di bandara Ferdinand Lumbantobing, Pinangsori"]
[caption id="attachment_415948" align="aligncenter" width="420" caption="Bocah-bocah memandang pesawat yang parkir dan penumpang yang turun dari pesawat"]
Saya sempat heran mengapa tiba-tiba dibuka rute langsung ke bandara mungil ini. Tampaknya lokasi tambang emas Martabe di Batangtoru, 40 km dari Sibolga menjadi daya tarik. Di pesawat, beberapa orang asing yang ternyata ahli pertambangan turut menumpang. Semoga saja Sibolga dan sekitarnya tak menjadi Freeport kedua.
[caption id="attachment_415949" align="aligncenter" width="420" caption="Garis pantai di sepanjang restoran Ikan Bakar Roy dan Hotel Pia"]
[caption id="attachment_415950" align="aligncenter" width="420" caption="PLTU di Sibolga yang dulu sempat diresmikan presiden SBY."]
Kami menginap di hotel Pia, di daerah Pandan. Lokasi hotel terbaik di sekitar Sibolga ini memang dekat pantai yang pasirnya putih. Saat kami menginap, hari itu seluruh kamar hotel penuh lantaran ada rombongan pejabat yang hendak upacara Hardiknas keesokan harinya. Untung saja masih ada satu kamar tersisa, dengan pemandangan spektakuler. Balkon kamar kami di lantai 4 menghadap langsung ke lautan biru. Tapi sayangnya rombongan yang hendak upacara keesokan harinya itu berkaraoke sampai jam 12 malam, betapa oh betapa.
[caption id="attachment_415951" align="aligncenter" width="324" caption="Batu Lobang di kecamatan Sitahuis"]
Di kota ini, saya menemukan satu kecamatan bernama Sitahuis. Ada situs gua batu yang jadi daya tarik di tempat ini, Batu Lobang. Ribuan orang bekerja rodi di zaman kolonial Belanda dipaksa memahat gunung batu demi memudahkan akses jalan. Pekerja yang mati kelelahan dibuang begitu saja ke jurang. Tak heran tempat ini terkenal angker. Saya menjelajah di internet mengenai asal muasal nama Sitahuis, namun belum menemukan artinya. Bila diterjemahkan dari bahasa Belanda, Sitahuis bisa bermakna rumah Sita. Berhubung nama saya Sitta, jadi agak penasaran dengan sejarah daerah ini. Hehehe..
Ada dua terowongan batu di Batu Lobang. Bila hendak lewat, kita wajib membunyikan klakson keras-keras karena jalan hanya dapat dilewati satu arah. Namun jangan salah, banyak truk besar yang menembus teowongan batu ini. Meski dasar jalan di terowongan berupa lubang dan cekungan yang tak rata, struktur dinding batu membuat terowongan ini kokoh walau dilalui banyak kendaraan berat setiap hari. Jalan di dalam terowongan juga tak bisa diaspal karena justru cekungan di sana-sini membuat truk berukuran besar dapat melewati terowongan.