[caption id="attachment_402158" align="aligncenter" width="588" caption="Jajaran tongkonan di Kete Kesu"][/caption]
Toraja berarti orang-orang dari atas atau orang-orang dari dataran tinggi. Menurut kepercayaan Toraja, para leluhur mereka turun dari nirwana melalui tangga langit. Pemerintah kolonial Belanda pertama kali menamai suku tersebut Toraja pada 1909. Di awal abad 20, misionaris Belanda datang menyebarkan agama Kristen ke tanah Toraja. Toraja telah lama terkenal sebagai destinasi wisata. Beberapa waktu lalu, akhirnya saya bisa berkunjung ke sana bersama seorang teman. Foto-foto yang saya pajang di sini adalah jepretan sekadarnya dengan ponsel Lenovo saya yang mulai bulukan.
Tongkonan
[caption id="attachment_402159" align="aligncenter" width="420" caption="Motif bulatan (pa’barre allo), ayam dan kerbau (pa’tedong) di atap tongkonan "]
[caption id="attachment_402160" align="aligncenter" width="420" caption="Tulang rahang kerbau dipasang di tongkonan di situs megalitikum Kalimbuang Bori "]
[caption id="attachment_402161" align="aligncenter" width="420" caption="Tanduk kerbau dipasang di depan rumah "]
Sebelum ke Toraja, saya pikir tongkonan itu hanya ada di Kete Kesu. Ternyata sesampai di Toraja, tongkonan bertebaran dimana-mana! Tongkonan adalah rumah tradisional yang dimiliki oleh klan keluarga dan dipakai sebagai “rumah transit” kerabat yang meninggal atau untuk mengadakan pesta. Tongkonan jarang dipakai untuk rumah tinggal sehari-hari, meski ada pula beberapa tongkonan yang dipakai untuk tempat tinggal. Eksklusivitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan di daerah luar Toraja. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Motif bulatan menyerupai matahari disebut pa’barre allo bermakna bahwa manusia percaya segala yang ada di dunia ini berasal dari Puang Matua (Tuhan). Motif ayam jantan di atas bulatan disebut pa’manuk lodong melambangkan kepemimpinan yang bijaksana. Sementara kerbau, hewan yang paling tinggi nilai dan statusnya bagi masyarakat Toraja ini melambangkan kemakmuran dan kebangsawanan. Wah, saya bershio kerbau lho!
Motif dengan warna dominan merah, coklat, oranye dan hitam menghiasi ornamen tongkonan. Awalnya saya pikir dekorasi itu dicat belaka, namun ternyata bila diperhatikan ada ukiran halus di kayu bangunan tongkonan. Di satu rumah tongkonan dekat situs batu menhir megalitikum, saya dapati deretan rahang dan gigi kerbau dipajang di depan rumah. Ini cukup unik mengingat lazimnya yang dipajang adalah tanduk kerbau yang melambangkan prinsip yang kokoh.
Atap tongkonan masa kini terbuat dari kayu, sementara tongkonan peninggalan masa lampau biasanya dibuat dari bambu. Jajaran tongkonan di Kete Kesu terbuat dari bambu. Rumah adat yang usianya ratusan tahun itu bahkan di bagian atapnya telah ditumbuhi tanaman hijau.
[caption id="attachment_402162" align="aligncenter" width="420" caption="Tongkonan di Kete Kesu"]
[caption id="attachment_402163" align="aligncenter" width="420" caption="Tongkonan di Kete Kesu"]
Makam di Pana
[caption id="attachment_402164" align="aligncenter" width="420" caption="Banyak turis mancanegara yang berkunjung dan asal negara mereka digoreskan di papan ini"]
[caption id="attachment_402165" align="aligncenter" width="420" caption="Makam di Pana tak digunakan lagi"]
[caption id="attachment_402167" align="aligncenter" width="305" caption="Makam bayi di pohon Tarra "]
Makam di Pana ini termasuk situs yang tak terlalu sering dikunjungi. Di sini ada makam di tebing batu yang tampaknya tak digunakan lagi dan makam bayi di lubang pohon yang masih digunakan. Saat saya berkunjung, tampak kain kafan menjuntai dari lubang pohon Tarra, pohon bergetah yang diibaratkan sebagai pengganti ASI. Hanya bayi yang belum tumbuh gigi yang boleh dimakamkan di lubang pohon Tarra. Di dalam lubang, ada beberapa permen yang dihadiahkan peziarah untuk menemani sang bayi di alam lain sana.
Lokomata di Batutumonga
[caption id="attachment_402168" align="aligncenter" width="420" caption="Lokomata tampak depan"]
[caption id="attachment_402169" align="aligncenter" width="420" caption="Batu bulat ini dipenuhi pintu lubang makam di bagian depan maupun belakang"]
[caption id="attachment_402170" align="aligncenter" width="420" caption="Di bagian atas Lokomata ditumbuji pepohonan dan tanaman rimbun"]
Makam batu berbentuk bulat ini salah satu spot yang sangat saya sukai. Di atas batu bulat raksasa ini tumbuh pepohonan rimbun. Berdiri di depan situs makam raksasa ini, saya serasa ada di negeri dongeng. Ini bukan lagi zaman Flinstone, namun menyaksikan sendiri tradisi salah satu suku di Indonesia yang terpelihara hingga kini, membuat saya takjub.
[caption id="attachment_402172" align="aligncenter" width="305" caption="Tautau dan kepala kerbau di bagian depan Lokomata"]
[caption id="attachment_402173" align="aligncenter" width="305" caption="Makam dengan patung anjing di bagian depan"]
Kalimbuang Bori
[caption id="attachment_402174" align="aligncenter" width="420" caption="Deretan menhir di Bori"]
[caption id="attachment_402175" align="aligncenter" width="441" caption="Lumut kerak di permukaan batu menhir dan memeluk menhir serasa ada di zaman Asterix-Obelix"]
Karena saya pecinta Asterix dan Obelix, mengunjungi menhir ini jadi agenda wajib. Di Indonesia, rasanya saya belum pernah menemukan menhir dalam jumlah banyak selain di Toraja ini. Saya membayangkan bagaimana cara mengangkut menhir seberat dan sebesar ini, ya?
Makam di Kete Kesu
[caption id="attachment_402177" align="aligncenter" width="420" caption="ABG yang berkunjung di hari libur sibuk memotret dan selfie dengan tongsis"]
[caption id="attachment_402179" align="aligncenter" width="420" caption="Tau-tau yang diberi teralis karena kerap dicuri"]
Saat berkunjung ke makam di Kete Kesu ini, saya mendapati gua batu yang diberi teralis. Di dalamnya berjajar beberapa tau-tau. Tau-tau atau “orang kecil” adalah patung dari kayu nangka yang dipahat semirip mungkin dengan orang yang sudah meninggal. Tak semua orang yang meninggal dibuatkan tau-tau, hanya kerabat tertentu dan bangsawan saja. Gua itu dipasangi teralis karena kerap terjadi pencurian tau-tau untuk dijual ke kolektor di luar negeri. Saya jadi merinding, apa mereka yang mencuri tau-tau demi segepok uang tak takut kena karma buruk, ya?
[caption id="attachment_402180" align="aligncenter" width="292" caption="Seekor kupu-kupu hitam terbang di antara keranda dan tebing batu"]
Berdiri di tangga makam yang agak licin karena tetesan air dari tebing atas, saya melihat seekor kupu-kupu hitam terbang di antara tebing batu dan keranda-keranda kayu. Saya jarang sekali melihat kupu-kupu hitam. Bahkan melihat kupu-kupu biasa pun jarang sekali di perkotaan. Kecuali kalau saya jalan-jalan pagi di hutan UI Depok saat akhir pekan. Jadi, saya takjub melihat si kupu-kupu yang susah dipotret dengan kamera ponsel saya itu.
Kupu-kupu hitam konon melambangkan kematian, transisi atau kelahiran kembali. Di tanah Celtic atau Irlandia, kupu-kupu hitam juga dipercaya sebagai jiwa orang-orang mati. Menurut kepercayaan mereka, jiwa orang-orang yang gagal menuju dunia atas, akan berubah menjadi kupu-kupu hitam. Selain di makam Kete Kesu, kupu-kupu hitam juga saya temukan di makam Londa.
[caption id="attachment_402181" align="aligncenter" width="420" caption="Keranda yang berbentuk perahu"]
[caption id="attachment_402182" align="aligncenter" width="420" caption="Beberapa keranda ada yang diletakkan di atas dinding batu untuk menghindari binatang buas"]
[caption id="attachment_402183" align="aligncenter" width="420" caption="Keranda yang berbentuk perahu"]
Saya masuk ke dalam gua dan melihat beberapa batu dengan bentuk yang unik. Ada batu berbentuk kepala buaya, jemari, hidung, dan tulang ekor. Di dalam gua ada beberapa bungkus makanan dan botol minuman kemasan. Menurut bocah pengantar yang meminjamkan senter, itu bukan sampah, melainkan sesaji untuk jenazah yang dimakamkan dalam gua.
[caption id="attachment_402184" align="aligncenter" width="305" caption="Peti jenazah dan tengkorak di dalam gua"]
[caption id="attachment_402185" align="aligncenter" width="420" caption="Batu berbentuk kepala buaya"]
[caption id="attachment_402186" align="aligncenter" width="504" caption="Batu berbentuk tangan, hidung dan tulang belakang"]
Londa
[caption id="attachment_402187" align="aligncenter" width="420" caption="Kerbau aduan yang sungguh gagah"]
[caption id="attachment_402188" align="aligncenter" width="420" caption="Londa tampak depan"]
Tiba di Londa, saya disambut seekor kerbau aduan yang gagah berdiri. Sesekali ia menjilati bibirnya dengan lidahnya yang besar dan panjang. Meski tampak macho, tapi saat melihat matanya, entah kenapa saya merasa si kerbau agak sedih. Kerbau adalah hewan penting di Toraja. Di tanah ini, kita akan sering mendapati kerbau-kerbau ganteng merumput di pinggir jalan, di pematang sawah, dan bahkan dimandikan tuan mereka di sungai. Penyembelihan kerbau juga merupakan salah satu acara inti dari prosesi pemakaman.
Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di puyajika ada banyak kerbau.
[caption id="attachment_402189" align="aligncenter" width="420" caption="Tau-tau di sini tak diberi teralis "]
[caption id="attachment_402190" align="aligncenter" width="420" caption="Keranda dan jenazah di dalam gua yang penuh sesaji rokok dan uang logam"]
[caption id="attachment_402191" align="aligncenter" width="420" caption="Tengkorak dalam gua, dan tengkorak "]
Agak menyedihkan melihat para ABG mematut diri di dalam gua yang berisi banyak tengkorak. Saya hanya membayangkan bila ada orang yang selfie di makam perkotaan dengan tongsis, menurut Anda bagaimana? Saya menjepret foto-foto di dalam gua batu ini dengan hati kuatir, kalut bercampur sedih. Saya bayangkan roh-roh yang ada di sekitar situ dan meminta maaf bila kunjungan saya mengganggu istirahat mereka. Kalau menurut saya pribadi, makam dan tengkorak di dalamnya kurang tepat bila dipakai untuk berpose selfie.
Oh ya, di salah satu gua ada sepasang tengkorak “Romeo and Juliet” van Toraja. Kabarnya sepasang kekasih ini bunuh diri di tahun 70an. Mereka masih bersepupu dan menurut adat Toraja, keduanya tidak diperbolehkan menikah. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.
[caption id="attachment_402192" align="aligncenter" width="420" caption="Tengkorak di dinding-dinding gua"]
Lemo
[caption id="attachment_402193" align="aligncenter" width="420" caption="Lemo "]
[caption id="attachment_402195" align="aligncenter" width="420" caption="Tau-tau di Lemo"]
Saya senang sekali menemukan buku tentang Toraja di perpustakaan Institut Français d’Indonésie tempat saya les bahasa Prancis. Di buku “Toraja, sous le regard des ancêtres” (kurang lebih artinya.. “di bawah tatapan para leluhur”) terbitan 1996 itu, foto-foto lanskap Toraja sepintas tak berubah. Namun membalik lembar dimana ada foto tau-tau, saya tahu ada bedanya dulu dan kini. Di foto yang saya ambil, tau-taunya mengenakan pakaian cerah, namun di foto dalam buku Olivier Lelièvre, tau-taunya berkostum putih. Dalam adat Toraja, ada upacara Ma’Nenek untuk mengganti pakaian tau-tau. Ritual ini dilakukan sesuai dengan kemampuan finansial keluarga yang memiliki tau-tau.
[caption id="attachment_402196" align="aligncenter" width="420" caption="Potret tautau di buku ini mengenakan kostum putih"]
[caption id="attachment_402197" align="aligncenter" width="420" caption="Tautau di Lemo dalam buku edisi 1996 masih berkostum putih"]
[caption id="attachment_402198" align="aligncenter" width="420" caption="Buku "Toraja, sous le regard des ancetres" karya Olivier Lelievre "]
Salib di puncak Toraja Utara
[caption id="attachment_402200" align="aligncenter" width="305" caption="Foto buram di bawah salib"]
Konon kita harus mendaki seribu anak tangga demi mencapai salib di bukit Toraja Utara. Tapi menurut hitungan saya yang agak ngaco, tampaknya hanya sekitar 350 anak tangga saya yang saya lalui. Maklum, saya mendaki ke salib di tengah gerimis dan agak kuatir terpeleset di tangga yang licin karena hujan. Tampaknya hitungan saya salah. Saat turun, matahari sudah terbenam dan kami tak membawa senter. Di perjalanan turun saya berpapasan dengan seorang bapak yang bertanya, “Kenapa baru turun jam segini?”.
Sebenarnya kami sudah berniat mendaki sejak pukul tiga sore. Apa daya hujan deras sekali. Kami pun berteduh di kafe di area bawah bukit salib. Hingga pukul empat, hujan tak jua reda. Kami pun menuju desa tenun Galugu Dua dan baru mulai mendaki pukul setengah 6 saat gerimis dan langit masih cukup terang.
Di puncak bukit, di belakang tulisan Toraja Utara yang berpendar, ratusan kupu-kupu laron menari di bawah hujan. Saya sedih tak ada DSLR, kamera ponsel sia-sia saja untuk memotret pergerakan sayap mereka yang cepat. Selain kopi, hal yang saya suka di tanah ini adalah kupu-kupu.
Lanskap Toraja dan sekitarnya
Empat hari tidak cukup untuk mengabadikan lanskap di sekitar Toraja. Favorit saya adalah Gunung Nona di Enrekang. Saya ingin sekali suatu hari nanti bisa trekking di gunung itu. Gunung yang sungguh feminis dan menyimpan legenda. Anak-anak di area Toraja begitu tenang dan pemalu. Mereka malu-malu saat difoto dan beberapa kabur sambil menjerit pelan. Saya menyesal tak membawa permen untuk mereka. Tampaknya makhluk-makhluk di Toraja relatif tenang. Bahkan kerbau dan anjing yang berseliweran pun terlihat sungguh cool! Kucing termasuk hewan yang jarang ada, hanya seekor yang saya temukan di kedai kopi di ketinggian Batutumonga.
Toraja kaya akan batu-batu besar. Tak hanya menhir, di tengah sawah dan ladang jamak saya temui batu-batu raksasa. Selain untuk makam, batu-batu itu bisa juga untuk tempat menjemur baju! Dari jendela mobil, suatu siang saya dapati seorang perempuan memanjat batu dan menggelar cucian di atasnya. Sayang tak keburu saya potret. Kata teman saya, itu salah satu wujud kearifan lokal. Hahaha!
[caption id="attachment_402201" align="aligncenter" width="420" caption="Langit biru di Pare-Pare"]
[caption id="attachment_402202" align="aligncenter" width="420" caption="Gunung Nona di Enrekang"]
[caption id="attachment_402203" align="aligncenter" width="420" caption="Sawah di Sesean"]
[caption id="attachment_402205" align="aligncenter" width="420" caption="Anak-anak SD di Sesean pulang sekolah"]
[caption id="attachment_402206" align="aligncenter" width="305" caption="Anggrek hutan di sebuah pohon"]
[caption id="attachment_402210" align="aligncenter" width="420" caption="Seorang pengendara motor berhenti memotret awan di RM Panorama"]
[caption id="attachment_402208" align="aligncenter" width="420" caption="Hamparan awan dan kabut pagi hari di sebuah kelokan jalan Poros Makale"]
Kain Toraja
[caption id="attachment_402211" align="aligncenter" width="420" caption="Nenek penenun kain di Galugu Dua dan dua bersaudari penenun nan ramah"]
[caption id="attachment_402212" align="aligncenter" width="420" caption="Salah satu motif tenun Toraja"]
Kalau Anda suka mengoleksi atau mengenakan kain Nusantara, sempatkan ke desa tenun di Galugu Dua. Harga kain disini jelas jauh lebih murah bila dibandingkan dengan toko kerajinan di pusat kota. Tak banyak penenun yang membuka tokonya di sini. Saya dapati hanya tiga toko yang buka. Keindahan kainnya sangat memukau bila dibandingkan dengan harganya. Jangan ragu untuk membeli kain di sini, hitung-hitung demi meningkatkan perekonomian perempuan-perempuan penenun di Toraja.
Kuliner
[caption id="attachment_402213" align="aligncenter" width="420" caption="Nasi goreng seafood dan udang bakar di RM Arum Pala di daerah Pare-Pare yang pemandangannya menghadap laut"]
[caption id="attachment_402214" align="aligncenter" width="420" caption="Mie titi"]
[caption id="attachment_402215" align="aligncenter" width="420" caption="Pisang goreng bertabur keju dan gula palem"]
[caption id="attachment_402216" align="aligncenter" width="305" caption="Jalangkote, sejenis pastel khas Toraja"]
Saya pecinta kopi dan ke Toraja tentu jadi kesempatan menyenangkan untuk memuaskan nyeruput kopi asli di tanah asalnya. Di Jakarta, saya jarang minum kopi hitam karena saya kurang suka kopi hitam instan, apalagi kopi Starbucks. Ini bukan lantaran anti-Amerika sih, tapi lebih karena sayang duit buat “ngopi-ngopi tjantik” di Starbucks padahal saya bukan pemburu wi-fi gratis di situ macam alay masa kini. Hehehe...
[caption id="attachment_402217" align="aligncenter" width="420" caption="Jeruk bali di Pare-Pare"]
[caption id="attachment_402218" align="aligncenter" width="420" caption="Minum kopi di ketinggian Batutumonga"]
[caption id="attachment_402220" align="aligncenter" width="420" caption="Teman ngopi"]
[caption id="attachment_402221" align="aligncenter" width="420" caption="Kopi robusta dan arabica dari Toraja"]
Tempat Menginap di Toraja
[caption id="attachment_402222" align="aligncenter" width="420" caption="Kamar di Luta Resort, Rantepao"]
Selama di Toraja, saya menginap di Luta Resort, Rantepao. Meski kamarnya tanpa AC, tapi tak terasa gerah karena Toraja di musim hujan sangat dingin. Menu makanan di resort ini tak terlalu istimewa. Tapi tak masalah karena di sebelah hotel ada Mambo Restaurant yang menu makanannya oke punya. Saya dan teman tiap hari ke Mambo untuk ngemil pisang goreng tabur keju dan gula palem plus nyeruput kopi tubruk. Yumyum!
Rammang-rammang
Jangan pernah lewatkan situs Rammang-rammang ini bila Anda sedang menjejak Makassar dan sekitarnya. Saya ingin kembali lagi ke kompleks bebatuan kapur di Maros ini bila kemarau tiba kelak. Andai saya punya waktu dan keberanian lebih, saya pun ingin memasuki gua-gua batu di sini.
Saya diajak mampir ke rumah tukang perahu yang bernama Daeng Baso. Ia berdagang aneka minuman di rumahnya. Saya sudah nyeker sedari turun dari perahu demi menuju rumah si Daeng. Hujan sepagian membuat pematang sawah sungguh licin dan saya salah kostum memakai sandal jepit. Jadilah, nyeker jelas lebih enak untuk menapaki pematang-pematang sawah dan titian bambu. Di petak sawah dekat rumah Daeng, seekor sapi dan anaknya asyik merumput. Sang induk mengenakan bandul di lehernya yang berbunyi “klinting klinting” setiap kali ia menggasak rumput.
Daeng Baso menunjuk satu gua batu di kejauhan, “Kalau kau singgah di sini sampai senja, biasanya sebelum maghrib, ribuan kelelawar akan terbang dari gua itu.” Saya jadi membayangkan kalau bermalam di kala bulan purnama di desa sunyi ini, malam hari saat kelebatan kelelawar itu terbang membelah bulan, lalu tetiba munculah drakula ganteng si Luke Evans dari dalam gua, hehehe.. khayalan tingkat tinggi, ya?
[caption id="attachment_402224" align="aligncenter" width="420" caption="Dermaga perintis di Rammang Rammang"]
[caption id="attachment_402225" align="aligncenter" width="420" caption="Menembus gua batu"]
[caption id="attachment_402226" align="aligncenter" width="305" caption="Rumah panggung di tepi rawa"]
[caption id="attachment_402227" align="aligncenter" width="305" caption="Keluarga tukang perahu"]
[caption id="attachment_402229" align="aligncenter" width="420" caption="Rumah di balik bukit kapur"]
[caption id="attachment_402230" align="aligncenter" width="420" caption="Dua sapi asyik merumput, seekor di antaranya berkalung bandul yang bergemerincing"]
[caption id="attachment_402232" align="aligncenter" width="420" caption="Deretan batu kapur di ujung sawah"]
[caption id="attachment_402233" align="aligncenter" width="420" caption="Bebatuan kapur di Rammang-rammang"]
[caption id="attachment_402235" align="aligncenter" width="420" caption="Bebatuan kapur di Rammang-rammang"]
[caption id="attachment_402237" align="aligncenter" width="304" caption="Bebatuan kapur di Rammang-rammang"]
Satu hal yang saya sesali, saya lupa memotret bentor (becak motor). Bentor di Toraja dan kota-kota di sekitarnya ternyata tak sama. Di Toraja, motor pengemudi di belakang jok kursi penumpang. Mirip model becak tradisional di Jawa hanya saja pengemudinya menggunakan motor. Sementara di Pangkep, saat singgah membeli jeruk Bali, saya amati bentor di sana mirip bentor di Medan, jok penumpang di samping kiri pengemudi. Saya juga jadi tak sempat merasakan naik bentor karena kemana-mana bermobil. Padahal salah satu hobi saya kalau singgah ke suatu kota adalah menjajal angkutan umum khas. Sebelumnya, saya sudah rasakan naik bentor di Banda Aceh dan di Medan.
[caption id="attachment_402239" align="aligncenter" width="346" caption="Aksesoris etnik dari Toraja"]
[caption id="attachment_402240" align="aligncenter" width="490" caption="So long Toraja!"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H