Mohon tunggu...
Sitta Taqwim
Sitta Taqwim Mohon Tunggu... profesional -

Pejalan, pemintal kata, tukang potret, pecinta Bangunan kuno, gunung dan matahari.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jejak Jakarta (2): Museum Sumpah Pemuda, Sumpah Aku Muda!

16 Maret 2014   22:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:52 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_326786" align="aligncenter" width="288" caption="Moesoeh Tidak Mengamoek! Boeat keseriboe kalinya Boeng Karno bertereak, "]

1394958424186649343
1394958424186649343
[/caption]

Kegiatan pemuda dialihkan ke Jalan Kramat 156 setelah para penghuni Kramat 106 tidak melanjutkan sewanya pada 1934. Sejarah gedung itu terus bergulir melintasi masa kemerdekaan. Pada 1934, bangunan tersebut disewa Pang Tjem Jam untuk rumah tinggal. Atas izin Sie Kong Liong, Pang Tjem Jam merombak dan meninggikan gedung ini. Pada 1937–1948 pernah difungsikan sebagai toko bunga. Bahkan, pada 1948–1951 bangunan itu pernah digunakan sebagai hotel Hersia. Di masa revolusi, bekas pemondokan mahasiswa itu juga menjadi markas pemuda pejuang. Usai kemerdekaan Indonesia, pada 1951–1970 beralih fungsi untuk kantor dan hunian karyawan Jawatan Bea dan Cukai. Hingga akhirnya pada 1973, pemerintah menjadikan Gedung Kramat 106 menjadi Museum Sumpah Pemuda.



Lagu Negara yang Lahir dari Musisi Jazz

W.R. Supratman adalah seorang pemuda nasionalis multitalenta. Ia menjajal aneka karir mulai dari musisi, guru, pegawai perusahaan dagang, hingga jurnalis. Ia pernah menjadi wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita di Bandung. Pada 1926, ia hijrah ke Jakarta menjadi wartawan Sin Poo. Semasa menjadi wartawan, ia sangat rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan nasional di Gedung Pertemuan Gang Kenari Jakarta. Minatnya pada pergerakan nasional ia wujudkan dalam buku “Perawan Desa, Darah Moeda dan Kaoem Panatik” (1929). Pada tahun 1930 buku itudisita oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dilarang beredar.




[caption id="attachment_326788" align="aligncenter" width="480" caption="Kiri: W.R. Supratman bersama band jazz-nya di Makassar; kanan: W.R. Supratman berpose bersama adiknya. "]

1394958502805858434
1394958502805858434
[/caption]

Pahlawan yang tanggal lahirnya sempat menjadi polemik ini sangat pandai memainkan berbagai alat musik. Saat bersekolah di Makassar, ia mendirikan grup musik beraliran jazz bernama Black And White.Bakat musik Supratman diasah oleh kakak iparnya yang keturunan Belanda, Willem van Eldik. Iparnya itu mengajari bermain biola hingga akhirnya ia mahir menggubah lagu. Melalui musik jazz,Supratman mulai mencipta lagu-lagu perjuangan yang tersohor dengan ritme heroik. Akar jazz di Indonesia bisa jadi berasal dari orang-orang Belanda. Musik jazz hadir melalui musik dansa yang diperdengarkan untuk acara para pejabat dan pedagang Belanda masa itu.

Di usia 21, Supratman mulai menggubah “Indonesia Raya”. Lagu itu pertama kalinya diperdengarkan dalam penutupan Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928. Ajun komisaris polisi Hindia Belanda, D. de Vlugt, yang bertugas mengawasi kongres tersebut, memberikan izin pada Supratman untuk membawakan puisi ciptaannya sendiri diiringi musik yang juga ia gubah. De Vlugt merasa tak perlu memeriksa karya itu terlebih dahulu. Ia hanya memastikan bahwa di antara peserta kongres tidak ada yang berusia di bawah 18 tahun. Mulanya, Supratman dan seorang musisi pengiring membawakan lagu itu dengan biola dan gitar. Kabarnya, Dolly, putri pertama H. Agus Salim yang saat itu masih berusia 15 tahun juga turut mengiringi dengan piano.



[caption id="attachment_326789" align="aligncenter" width="324" caption="Biola yang dipakai W.R. Supratman untuk memperkenalkan lagu Indonesia Raya, beserta piringan hitam Indonesia Raya"]

13949585912057710267
13949585912057710267
[/caption]

Mendengar lagu yang dibawakan secara instrumental itu saja rupanya cukup membuat kumpulan pemuda nasionalis dan kepanduan berteriak-teriak, juga bertepuk tangan menuntut, “Nyanyikan kata-katanya!” Soepratman lalu menyanyikan Indonesia Raya untuk pertama kalinya.

Empat bulan sesudahnya, de Vlugt masih terus mendengar nyanyian itu didengungkan para pemuda di jalanan. Ironisnya, usai Kongres Pemuda Kedua berakhir, kepolisian Hindia-Belanda baru mendapatkan dan membaca syair “Indonesia Raya”. Barulah mereka memahami nuansa politis lagu tersebut.




[caption id="attachment_326790" align="aligncenter" width="389" caption="Paduan suara gadis-gadis tempo dulu"]

1394958645762883140
1394958645762883140
[/caption]

Kongres itu juga dihadiri oleh pejabat pemerintahan Hindia-Belanda, antara lain perwakilan Urusan Umum (Algemene Zaken), H.J. Kiewiet de Jonge, Patih Batavia, Kandoeroean Wirahadikoesoema dan Kepala Reserse Politik, wedana polisi, Sartono. Mereka tampaknya tak menyadari makna lagu “Indonesia Raya” yang dimainkan di hadapan mereka. Para pejabat itu hanya menganggap lagu itu: “tak sesuai untuk mereka yang berumur di bawah 18.”

Residen Batavia saat itu, G.J. ter Poorten lalu melarang “Indonesia Raya” diperdengarkan di pesta tahun baru yang diselenggarakan perkumpulan pemuda nasionalis, Pemuda Indonesia. Para pemuda pun memprotes larangan tersebut. Pejabat yang diangkat sebagai penasihat (staf ahli) untuk Urusan Bumiputra (Inlandsche Zaken), Ch.O. van der Plas berseberangan pendapat dengan residen. Ia mengirim surat pada Gubernur Jenderal De Graeff seraya mengingatkan bahwa lagu itu sebelumnya sudah pernah dilantunkan dalam Kongres Pemuda tanpa ada tindakan apa pun dari polisi. “Saya tak melihat ada hal yang istimewa pada lagu itu… dengan melodi Eropa yang biasa-biasa saja, dengan syair yang tak terlalu bagus pula, sekadar wujud dari selera buruk terhadap musik, namun secara politik lagu tersebut sama sekali tak berbahaya.”

[caption id="attachment_326791" align="aligncenter" width="384" caption="Patung W.R. Supratman menggesek biola di sela Kongres Sumpah Pemuda Kedua"]

13949586831917018088
13949586831917018088
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun