[caption id="attachment_326776" align="aligncenter" width="438" caption="Diorama Kongres Pemuda pada 27-28 Oktober 1928"][/caption]
Sesekali cobalah linglung di jalanan Jakarta. Suatu siang, usai rapat di daerah Raden Saleh, saya putuskan menyusuri jalan Kramat menuju Museum Sumpah Pemuda. Berjalan kaki di Jakarta adalah sebuah seni. Kau bisa menjumpai tukang tambal ban terkantuk-kantuk, pemilik kios rokok dan losion antinyamuk termangu seraya berkipas-kipas, orang-orang yang entah menanti apa di satu halte tua, hingga gerobak kue cubit, pancong, siomay, cilok dan es doger yang membuat matamu jelalatan. Siang itu, saya melangkah dengan rute zigzag, di atas trotoar tak rata, di bawah matahari yang bak diktator, sembari memanggul laptop dan dokumen.
Kemana kita melepas jemu di Jakarta yang parasnya akhir-akhir ini penuh “jerawat”? Jakarta, ia gadis modern yang sedang jerawatan. Apalagi kalau bukan jerawat jelang Pemilu? Foto-foto caleg tak terkenal menclok nyaris di semua penjuru kota. Saya seorang golput sejak usia 17. Saya percaya, foto manusia yang layak dipajang di jalanan hanya foto pahlawan yang sudah mati. Namun di tahun politik ini, saya sungguh tak selera melihat foto Bung Karno disandingkan dengan politikus kelas teri.
Ah, mengapa pula prolog tulisan saya sinis begini? Masih ada hal baik dalam raga Si Gadis Metropolitan. Jakarta adalah kota penuh museum. Sebelas tahun merantau, saya belum melongok semua museum di ibu kota. Saya masih muda meski tak semuda dulu. Nah, demi menjaga kemudaan saya, berkunjunglah saya ke Museum Sumpah Pemuda. Wajah-wajah pahlawan yang sebenarnya kini hanya berdiam dalam kesunyian museum. Di sana, saya tak berikrar tiga sumpah anak-anak muda era 1920-an. Saya hanya memekik dalam hati, “Sumpah, aku muda!”
Kisah Indekos di Masa Revolusi
Para mahasiswa perantau pasti tahu betul suasana indekos. Jam-jam seusai kuliah akan dilewatkan dengan aneka obrolan. Saya termasuk penghuni indekos, karena itu saya tertarik mengunjungi museum ini, yang dulunya merupakan pemondokan mahasiswa pada 1920-an.
Menjelang abad ke-20, sekolah-sekolah mulai muncul di kota-kota besar di Jawa. Pelajar pun berdatangan dari seluruh penjuru negeri. Asrama sekolah tak cukup lagi menampung pelajar-pelajar, maka indekos atau pemondokan mahasiswa (Commensalen Huis) pun hadir. Rumah indekos di Jalan Kramat 106 milik Sie Kong Liong adalah salah satu yang menjadi favorit kalangan pemuda saat itu. Letaknya yang dalam area Weltevreden memiliki kemudahan akses transportasi, lantaran jalan besar di depannya juga dilewati trem listrik yang menghubungkan antara Senen dan Mesteer Cornelis (Jatinegara).
[caption id="attachment_326778" align="aligncenter" width="368" caption="Batavia Tempo Dulu"]
[caption id="attachment_326779" align="aligncenter" width="368" caption="Pintu Kecil, Batavia"]
[caption id="attachment_326780" align="aligncenter" width="374" caption="Weltevreden, Pasar Baru"]
Sejak 1925, Indekos Kramat 106 menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java. Mayoritas dari mereka adalah pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia alias STOVIA dan Recht Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum). Selain sebagai tempat tinggal, bangunan itu juga digunakan untuk tempat latihan kesenian dan diskusi politik para anggota Jong Java. Aktivis Jong Java menyewa bangunan ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang terlalu sempit untuk menampung kegiatan diskusi politik dan latihan kesenian Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung ini Langen Siswo. Langen artinya bersenang-senang, atau menikmati suatu keindahan.
[caption id="attachment_326781" align="aligncenter" width="389" caption="Tiruan suasana pemondokan Kramat 106 "]
[caption id="attachment_326782" align="aligncenter" width="292" caption="Kisah Pemondokan Mahasiswa Jalan Kramat "]
[caption id="attachment_326783" align="aligncenter" width="288" caption="Patung tiruan dua pemuda pemondokan sedang membaca suratkabar Benih Mardeka terbitan Selasa, 20 Januari 1929. Tertulis slogan: “Orgaan oentoek menoentoen keadilan dan kemardekaan”. Suratkabar yang pada 1929 memasuki tahun kelima itu diterbitkan setiap Selasa, Rabu, Kamis dan Sabtu kecuali hari yang dimuliakan (maksudnya mungkin hari libur nasional). "]
Setelah Perhimpunan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926, bangunan itu lalu dijadikan kantor dan redaksi majalah PPPI, Indonesia Raja. Penghuni indekos kerap mengundang tokoh seperti Bung Karno untuk berdiskusi. Lantaran sering dipakai kegiatan pemuda pergerakan nasional, mereka menamakan gedung ini Indonesische Clubhuis, tempat resmi pertemuan pemuda nasional. Sejak 1927, mereka memasang papan nama gedung itu di depan.
[caption id="attachment_326784" align="aligncenter" width="288" caption="Lambang berbagai perkumpulan pemuda pada 1920-an"]
[caption id="attachment_326785" align="aligncenter" width="384" caption="Remaja dan anak-anak, pengunjung museum siang itu."]