[caption id="attachment_324331" align="aligncenter" width="539" caption="Senja di depan pondok Ujung Genteng"][/caption]
Kalau kau suka langit, di sini tempat Tuhan mencampur aneka warna di kanvas-Nya. Seperti jika kita duduk di atas genteng rumah, di sini tempat kita memandang sejumput ujung dunia. Saya tertarik dengan nama pantai yang unik, Ujung Genteng. Sampai sekarang saya tak terlalu paham mengapa ia dinamai Ujung Genteng. Posisinya di peta memang serupa ceruk di ujung selatan Jawa Barat. Tepatnya di Ciracap, Sukabumi. Apakah di sini banyak pabrik genteng? Tampaknya tidak.
Selain namanya yang unik, pantai ini jelas menyimpan banyak kisah. Mulai dari kisah perburuan polisi membekuk bandar narkoba, jalanan rusak, suasana sepi nan kental dan pariwisata setempat tak terkesan tak terawat, berbaur menyatu. Saya percaya perjalanan adalah juga saatnya mendengar kisah-kisah yang tak biasa. Karena saya tak ingin menjadi turis yang biasa-biasa saja.
Saya pergi dengan empat orang teman. Dayu, Nina, Evi dan Nurul. Tiba di Ujung Genteng, langit masih gelap. Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Saya menelepon pemilik penginapan yang akan kami tinggali selama dua hari, Pondok Alif. Sayangnya, saya lupa nama dan kehilangan nomor kontak semua manusia yang saya temui di Ujung Genteng. Perjalanan ini saya lakukan pada November 2012 lalu dan baru saya tuliskan sekarang. Catatan perjalanan yang waktu itu saya ketik di Blackberry terhapus. Sepertinya, semua kisah perjalanan harus lekas ditulis. Saya melakukan cukup banyak perjalanan pada 2012 lalu, namun kemalasan menulis dan mengedit foto memang jadi penyakit. Semoga di 2014 ini saya tak terjangkit penyakit itu lagi.
[caption id="attachment_324333" align="aligncenter" width="311" caption="Pondok Alief tempat kami menginap"]
[caption id="attachment_324334" align="aligncenter" width="390" caption="Evi di gerbang menuju sekitar penginapan"]
[caption id="attachment_324335" align="aligncenter" width="433" caption="Kawanan sapi di dekat penginapan"]
[caption id="attachment_324336" align="aligncenter" width="433" caption="Evi dan Nurul di beranda kamar kami di Pondok Alief"]
Pagi Kala Laut Surut
Ketika pagi membayang, langit mendadak mendung. Penginapan kami letaknya hanya sekitar 25 meter dari bibir lautan. Usai memejamkan mata sejenak sekitar satu jam, kami berlima menyusuri pantai yang banyak dipenuhi karang dan biota laut.
Pagi itu laut sedang surut. Jarak antara pasir pantai dan karang hingga lidah ombak cukup jauh. Entahlah, mungkin 100 meter. Pantai ini bukan area pantai nelayan. Meski begitu, seorang pencari udang kami jumpai. Ia menunjukkan udang hasil tangkapannya dalam sebuah toples yang tutupnya dilubangi. Beberapa nelayan berjalan santai menggotong jala dan ikan hasil tangkapan.
Tak hanya biota laut seperti bintang laut, siput laut, cacing laut dan koral-koral muda, saya pun menemukan sepotong celana dalam berwarna pink! Mungkin temuan eksotis itu masih lebih baik dibanding temuan sampah-sampah plastik di Kepulauan Seribu. Setidaknya, di Ujung Genteng saya tak menemukan (atau belum?) bungkus Indomie, permen Nano-Nano atau botol minuman penambah energi. Omong-omong, butuh berapa lama bagi sepotong celana dalam untuk terurai, ya? Hehehe...
[caption id="attachment_324337" align="aligncenter" width="311" caption="Pencari udang saat laut surut di pagi hari"]
[caption id="attachment_324338" align="aligncenter" width="433" caption="Biota laut kala surut"]
[caption id="attachment_324339" align="aligncenter" width="438" caption="Udang hasil tangkapan pagi hari"]
[caption id="attachment_324340" align="aligncenter" width="433" caption="Sepotong celana dalam merah muda di atas koral saat laut surut"]
[caption id="attachment_324341" align="aligncenter" width="433" caption="Nelayan yang baru pulang melaut di pagi hari"]
[caption id="attachment_324342" align="aligncenter" width="433" caption="Siput laut"]
[caption id="attachment_324343" align="aligncenter" width="433" caption="Cacing laut yang bikin saya bergidik"]
Senja di Pantai Ujung Genteng
Saya suka sekali semarak langit di Ujung Genteng. Mungkin bila kita berjalan-jalan di alam, pemandangan yang paling jamak ditemui adalah langit. Warna yang tak bisa kita lihat di kota, di balik gedung-gedung yang mencakari langit. Matahari di pantai memang tak bisa tidak harus diabadikan.
[caption id="attachment_324344" align="aligncenter" width="349" caption="Si bola emas"]
[caption id="attachment_324345" align="aligncenter" width="434" caption="Burung-burung senja"]
Seorang perempuan tua pernah bilang, “Opo apike moto srengenge angslep?” (Apa bagusnya memotret matahari terbenam?). Saya tertawa sendiri mengingat komentar itu sembari menangkap pendar jingga si bola yang hendak tidur. Kadang saya juga merasa memotret matahari itu sungguh klise. Toh, tetap saja saya senang kalau ada si matahari. Fotografi adalah cahaya. Di bulan Februari kelabu ini, saya dan kamera saya yang bosan hibernasi merindukan matahari. Menulis cerita ini membuat kaki saya semakin gatal ingin berburu senja lagi.
[caption id="attachment_324346" align="aligncenter" width="361" caption="Awan Dewa di Cibuaya"]
[caption id="attachment_324347" align="aligncenter" width="433" caption="Dayang-dayang Ratu Laut Selatan"]
[caption id="attachment_324348" align="aligncenter" width="433" caption="Menari bersama ombak"]
Kamera saya menjaring senja di suatu perjalanan menuju Pantai Pangumbahan, tempat penangkaran penyu. Pemilik penginapan berkata untuk menuju ke sana cukup jauh dan sebaiknya menggunakan ojek. Saya ketua geng yang keras hati. Kaki saya bukan untuk dimanjakan di perjalanan ini. Ada yang setuju berjalan menuju Pangumbahan, ada juga yang terlalu sayang pada sepasang kakinya. Akhirnya disepakati kami berlima berjalan kaki menempuh rute lima kilometer. Kalau dihitung dengan perjalanan pulang, total kami berjalan 10 kilometer sore itu. :D
[caption id="attachment_324349" align="aligncenter" width="433" caption="Evi si pecinta senja"]
[caption id="attachment_324350" align="aligncenter" width="361" caption="Dua bocah waktu senja"]
Sepuluh kilometer yang tak terasa. Apalagi bila ditemani langit beraneka warna sepanjang langkah kaki kami, juga senda gurau lima sekawan yang lelah tapi bahagia. Perjalanan pulang menuju pondok penginapan diiringi pendar senter. Ya, setiba kami di pondok, si bola emas lenyap berganti bulan perak. Saya sudah terlalu letih memotret, ditambah perut keroncongan minta diisi.
Pangumbahan, Penangkaran Penyu
Kami tak beruntung karena tak bisa melihat induk penyu bertelur di malam hari. Tak ada yang tahu kapan Mama Penyu hendak singgah ke Pangumbahan untuk bertelur. Semalaman menanti kabar dari penjaga Pangumbahan, tak ada pesan yang masuk ke ponsel saya.
Saya selalu mengagumi penyu dan kura-kura. Lepas dari kelambanan dan cangkang keras mereka, saya takjub pada usia mereka yang panjang. Saya suka tokoh Winifred, kura-kura betina dalam film Animals United. Kura-kura tua yang lahir di Kepulauan Galapagos itu bilang, “Manusia seperti ular yang memakan ekornya untuk bertahan hidup.”
[caption id="attachment_324351" align="aligncenter" width="433" caption="Menuju rumah baru"]
[caption id="attachment_324352" align="aligncenter" width="433" caption="Bergulat Melawan Gelombang"]
Sore di pantai Pangumbahan, saya melihat puluhan tukik yang antusias menyapa gelombang. Di antara kaki manusia serakah yang bergerak seenaknya tanpa kuatir akan menginjak tukik, makhluk kecil itu tetap mengayuh empat kaki rapuhnya menuju samudra. Sedikit sekali tukik yang bertahan hingga menjadi penyu dewasa. Mereka rentan menjadi santapan ikan atau hewan besar lainnya di lautan. Dengan risiko itu, tak seekor pun dari kawanan tukik itu yang kembali ke pantai. Mungkin mereka lebih memilih petualangan di laut lepas dibanding terpenjara dalam ember hitam.
[caption id="attachment_324353" align="aligncenter" width="433" caption="Seember tukik siap menunggang ombak"]
[caption id="attachment_324354" align="aligncenter" width="433" caption="Dibebaskan di pinggir pantai"]
[caption id="attachment_324356" align="aligncenter" width="433" caption="Sekumpulan pelancong tertawa girang melihat tukik-tukik yang merayap menuju samudra"]
[caption id="attachment_324357" align="aligncenter" width="433" caption="Si kecil yang rapuh namun pemberani"]
Mata saya berkaca-kaca memandang kepergian tukik-tukik itu. Mungkin saya harus meniru mereka, berani dihempas kerasnya gelombang dan selalu mencari petualangan baru. Saya jadi berpikir, apa seekor tukik bisa mengenali induknya yang menghasilkan ribuan telur? Dan apakah sebaliknya? Ah, saya jadi kangen ibu. Betapa beruntung spesies Homo sapiens yang bisa menelepon induknya kapan pun mereka mau.
[caption id="attachment_324358" align="aligncenter" width="434" caption="Tempat penetasan telur penyu"]
[caption id="attachment_324359" align="aligncenter" width="433" caption="Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan yang diresmikan pada 2009"]
Pantai Nelayan
[caption id="attachment_324361" align="aligncenter" width="433" caption="Langit pagi di pantai pelelangan ikan"]
[caption id="attachment_324362" align="aligncenter" width="355" caption="Dua bocah bermain pasir di pantai usai subuh"]
[caption id="attachment_324363" align="aligncenter" width="433" caption="Dua kapal bersandar"]
Pantai nelayan di Ujung Genteng tak terlalu istimewa. Aroma amis menguar dan sampah bertebaran. Walau begitu, dua bocah asyik bermain pasir hitam di pantai ini. Tukang ojek yang mengantar saya berkata, di pantai ini pernah terjadi perburuan sindikat narkotika internasional. Polisi membekuk bandar narkotika asal Iran dan Somalia pada awal 2012 lalu. Posisi pantai yang sepi dan minim penjagaan aparat menjadikannya tempat singgah para bandar dari kapal besar di perairan Samudra Hindia.
Pantai Pencari Wangsit
Lantaran tak terlalu antusias dengan pantai nelayan, bapak ojek membawa kami menuju pantai sepi lainnya tempat melihat matahari terbit. Di perjalanan menembus hutan kecil menuju pantai, kami mendapati satu bangunan terbengkalai lengkap dengan menara. Seorang gelandangan tidur di dalamnya.
[caption id="attachment_324365" align="aligncenter" width="433" caption="Bangunan tak terurus dengan menara, ada seorang tunawisma tidur di dalamnya"]
[caption id="attachment_324366" align="aligncenter" width="433" caption="Evi memotret batang mati di pantai yang surut"]
[caption id="attachment_324367" align="aligncenter" width="433" caption="Gaya aneh saat matahari terbit"]
[caption id="attachment_324368" align="aligncenter" width="433" caption="Pagi di hutan kecil"]
Pantai sepi tak bernama ini memang cocok untuk memotret matahari terbit. Sepi yang menyedihkan dan ganjil. Mungkin saya harus lebih sering menjamah pantai-pantai sunyi. Hanya ada kami berlima di pantai itu. Lima ojek memarkir motor dan mengobrol dengan seorang lelaki yang konon, kuncen wilayah Ujung Genteng.
Di tepi pantai sepi itu, berdiri sebuah bangunan dari terpal biru, kediaman sang kuncen. Ia mendapat wangsit harus tinggal di tepi pantai ini agar Ujung Genteng tak terkena tsunami. Bapak ojek (saya lupa namanya, dua tahun cukup untuk menghapus ingatan akan nama-nama di kepala saya) bilang, sang kuncen sebenarnya dari keluarga cukup berada. Namun, ia memilih menyepi di pantai tak bernama di ujung hutan kecil demi sebuah wahyu.
[caption id="attachment_324369" align="aligncenter" width="433" caption="Ikan kecil di antara rumput laut"]
[caption id="attachment_324370" align="aligncenter" width="361" caption="Empat sekawan bergaya berlatar mercusuar (dan satu tukang potret)"]
Curug Cikaso
Kawasan sekitar Ujung Genteng juga menyimpan wisata alam yang belum terlalu dikenal. Jalanan menuju Curug Cikaso rusak parah. Lima sekawan menuju air terjun dengan naik ojek dari pondok di Ujung Genteng. Jaraknya mungkin sekitar 30 kilometer. Dengan aspal yang rusak dan beberapa ruas jalan berbatu-batu, perjalanan itu cukup layak dikenang. Saya salut pada lima ojek yang lincah menelikung mencari rute yang agak mulus.
[caption id="attachment_324373" align="aligncenter" width="433" caption="Curug Cikaso"]
[caption id="attachment_324374" align="aligncenter" width="433" caption="Empat bidadari mandi dan satu Jaka Tarub di kejauhan (perhatikan kepala seorang pria di dekat air terjun) :D"]
Curug Cikaso tak mengecewakan. Tiga air terjunnya jernih dan dingin sekali. Empat teman saya langsung bermain air. Saya memilih duduk manis di atas batu yang kering dan memotret. Lagi pula kalau saya ikut jadi bidadari mandi, siapa yang menjaga kamera saya?
Amanda Ratu, Sepotong Tanah Lot
[caption id="attachment_324377" align="aligncenter" width="433" caption="Rayuan pulau kelapa di pantai Amanda Ratu yang mirip Tanah Lot di Bali"]
Di perjalanan kembali ke pondok dari curug, kami melihat jajaran nyiur melambai diterpa angin. Saya menunjuk ke arah nyiur dan pak ojek pun membelokkan motornya menuju tangan saya menunjuk. Empat ojek di belakang saya serentak mengikuti menuju Pantai Amanda Ratu. Pantai ini dikenal sebagai imitasi Tanah Lot di Bali. Ada sebuah karang besar di seberang pantai.
Amanda Ratu ibarat bintang film yang kehilangan pamor. Bangunan hotel di dekat pantai tampak kurang terawat dan sepi pengunjung. Saya langsung rebahan di rumput meluruskan punggung yang pegal setelah puluhan kilometer di atas motor. Kami berlima leyeh-leyeh di rumput sembari menahan lapar. Bagusnya, pantai di sekitar Ujung Genteng ini adalah minimnya penjual makanan. Maka, sampah plastik bekas makanan pun tak sebanyak di pantai-pantai komersial lainnya. Sebuah dilema, antara fasilitas dan limbah memang hadir seiring sejalan.
Perjalanan dan Teman
Saya sering melakukan perjalanan dengan teman pada 2012. Setahun kemudian frekuensinya berkurang, saya mulai belajar melancong sendirian. Namun menurut saya, Ujung Genteng bukan tempat yang cocok bila kita menjelajah sendirian. Sepi di sana begitu kental. Langit dan padang koralnya terlalu luas untuk dinikmati sendirian. Tak ada teman yang sempurna, tak ada perjalanan yang sempurna. Satu hal yang pasti, dari semua nama dan catatan yang tercecer dari laci ingatan saya di perjalanan itu, nama teman-teman saya takkan pernah hilang.
[caption id="attachment_324378" align="aligncenter" width="433" caption="Tidur-tiduran di pasir dengan langit mendung"]
[caption id="attachment_324379" align="aligncenter" width="433" caption="Dayu, Nurul dan Nina (pose duyung)"]
[caption id="attachment_324380" align="aligncenter" width="541" caption="Langit biru bersih di pantai Ujung Genteng kala pagi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H