Mohon tunggu...
Sitta Taqwim
Sitta Taqwim Mohon Tunggu... profesional -

Pejalan, pemintal kata, tukang potret, pecinta Bangunan kuno, gunung dan matahari.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ujung Genteng: Saat Langit Merayakan Sepi

24 Februari 2014   21:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_324331" align="aligncenter" width="539" caption="Senja di depan pondok Ujung Genteng"][/caption]

Kalau kau suka langit, di sini tempat Tuhan mencampur aneka warna di kanvas-Nya. Seperti jika kita duduk di atas genteng rumah, di sini tempat kita memandang sejumput ujung dunia. Saya tertarik dengan nama pantai yang unik, Ujung Genteng. Sampai sekarang saya tak terlalu paham mengapa ia dinamai Ujung Genteng. Posisinya di peta memang serupa ceruk di ujung selatan Jawa Barat. Tepatnya di Ciracap, Sukabumi. Apakah di sini banyak pabrik genteng? Tampaknya tidak.

Selain namanya yang unik, pantai ini jelas menyimpan banyak kisah. Mulai dari kisah perburuan polisi membekuk bandar narkoba, jalanan rusak, suasana sepi nan kental dan pariwisata setempat tak terkesan tak terawat, berbaur menyatu. Saya percaya perjalanan adalah juga saatnya mendengar kisah-kisah yang tak biasa. Karena saya tak ingin menjadi turis yang biasa-biasa saja.

Saya pergi dengan empat orang teman. Dayu, Nina, Evi dan Nurul. Tiba di Ujung Genteng, langit masih gelap. Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Saya menelepon pemilik penginapan yang akan kami tinggali selama dua hari, Pondok Alif. Sayangnya, saya lupa nama dan kehilangan nomor kontak semua manusia yang saya temui di Ujung Genteng. Perjalanan ini saya lakukan pada November 2012 lalu dan baru saya tuliskan sekarang. Catatan perjalanan yang waktu itu saya ketik di Blackberry terhapus. Sepertinya, semua kisah perjalanan harus lekas ditulis. Saya melakukan cukup banyak perjalanan pada 2012 lalu, namun kemalasan menulis dan mengedit foto memang jadi penyakit. Semoga di 2014 ini saya tak terjangkit penyakit itu lagi.

[caption id="attachment_324333" align="aligncenter" width="311" caption="Pondok Alief tempat kami menginap"]

1393223245235131093
1393223245235131093
[/caption]

[caption id="attachment_324334" align="aligncenter" width="390" caption="Evi di gerbang menuju sekitar penginapan"]

13932232871792025540
13932232871792025540
[/caption]

[caption id="attachment_324335" align="aligncenter" width="433" caption="Kawanan sapi di dekat penginapan"]

13932233571653729484
13932233571653729484
[/caption]

[caption id="attachment_324336" align="aligncenter" width="433" caption="Evi dan Nurul di beranda kamar kami di Pondok Alief"]

1393223408282920421
1393223408282920421
[/caption]

Pagi Kala Laut Surut

Ketika pagi membayang, langit mendadak mendung. Penginapan kami letaknya hanya sekitar 25 meter dari bibir lautan. Usai memejamkan mata sejenak sekitar satu jam, kami berlima menyusuri pantai yang banyak dipenuhi karang dan biota laut.

Pagi itu laut sedang surut. Jarak antara pasir pantai dan karang hingga lidah ombak cukup jauh. Entahlah, mungkin 100 meter. Pantai ini bukan area pantai nelayan. Meski begitu, seorang pencari udang kami jumpai. Ia menunjukkan udang hasil tangkapannya dalam sebuah toples yang tutupnya dilubangi. Beberapa nelayan berjalan santai menggotong jala dan ikan hasil tangkapan.

Tak hanya biota laut seperti bintang laut, siput laut, cacing laut dan koral-koral muda, saya pun menemukan sepotong celana dalam berwarna pink! Mungkin temuan eksotis itu masih lebih baik dibanding temuan sampah-sampah plastik di Kepulauan Seribu. Setidaknya, di Ujung Genteng saya tak menemukan (atau belum?) bungkus Indomie, permen Nano-Nano atau botol minuman penambah energi. Omong-omong, butuh berapa lama bagi sepotong celana dalam untuk terurai, ya? Hehehe...


[caption id="attachment_324337" align="aligncenter" width="311" caption="Pencari udang saat laut surut di pagi hari"]

139322346366751912
139322346366751912
[/caption]

[caption id="attachment_324338" align="aligncenter" width="433" caption="Biota laut kala surut"]

13932235252034230289
13932235252034230289
[/caption]

[caption id="attachment_324339" align="aligncenter" width="438" caption="Udang hasil tangkapan pagi hari"]

13932235711784347193
13932235711784347193
[/caption]

[caption id="attachment_324340" align="aligncenter" width="433" caption="Sepotong celana dalam merah muda di atas koral saat laut surut"]

13932236171091613514
13932236171091613514
[/caption]

[caption id="attachment_324341" align="aligncenter" width="433" caption="Nelayan yang baru pulang melaut di pagi hari"]

1393223867684295734
1393223867684295734
[/caption]

[caption id="attachment_324342" align="aligncenter" width="433" caption="Siput laut"]

13932239012033311519
13932239012033311519
[/caption]

[caption id="attachment_324343" align="aligncenter" width="433" caption="Cacing laut yang bikin saya bergidik"]

1393223947254884724
1393223947254884724
[/caption]

Senja di Pantai Ujung Genteng

Saya suka sekali semarak langit di Ujung Genteng. Mungkin bila kita berjalan-jalan di alam, pemandangan yang paling jamak ditemui adalah langit. Warna yang tak bisa kita lihat di kota, di balik gedung-gedung yang mencakari langit. Matahari di pantai memang tak bisa tidak harus diabadikan.

[caption id="attachment_324344" align="aligncenter" width="349" caption="Si bola emas"]

1393223992762874493
1393223992762874493
[/caption]

[caption id="attachment_324345" align="aligncenter" width="434" caption="Burung-burung senja"]

1393224034291380807
1393224034291380807
[/caption]

Seorang perempuan tua pernah bilang, “Opo apike moto srengenge angslep?” (Apa bagusnya memotret matahari terbenam?). Saya tertawa sendiri mengingat komentar itu sembari menangkap pendar jingga si bola yang hendak tidur. Kadang saya juga merasa memotret matahari itu sungguh klise. Toh, tetap saja saya senang kalau ada si matahari. Fotografi adalah cahaya. Di bulan Februari kelabu ini, saya dan kamera saya yang bosan hibernasi merindukan matahari. Menulis cerita ini membuat kaki saya semakin gatal ingin berburu senja lagi.

[caption id="attachment_324346" align="aligncenter" width="361" caption="Awan Dewa di Cibuaya"]

13932240861292328479
13932240861292328479
[/caption]

[caption id="attachment_324347" align="aligncenter" width="433" caption="Dayang-dayang Ratu Laut Selatan"]

1393224113365340572
1393224113365340572
[/caption]

[caption id="attachment_324348" align="aligncenter" width="433" caption="Menari bersama ombak"]

1393224145845951572
1393224145845951572
[/caption]

Kamera saya menjaring senja di suatu perjalanan menuju Pantai Pangumbahan, tempat penangkaran penyu. Pemilik penginapan berkata untuk menuju ke sana cukup jauh dan sebaiknya menggunakan ojek. Saya ketua geng yang keras hati. Kaki saya bukan untuk dimanjakan di perjalanan ini. Ada yang setuju berjalan menuju Pangumbahan, ada juga yang terlalu sayang pada sepasang kakinya. Akhirnya disepakati kami berlima berjalan kaki menempuh rute lima kilometer. Kalau dihitung dengan perjalanan pulang, total kami berjalan 10 kilometer sore itu. :D

[caption id="attachment_324349" align="aligncenter" width="433" caption="Evi si pecinta senja"]

13932241931654286254
13932241931654286254
[/caption]

[caption id="attachment_324350" align="aligncenter" width="361" caption="Dua bocah waktu senja"]

1393224228624893387
1393224228624893387
[/caption]

Sepuluh kilometer yang tak terasa. Apalagi bila ditemani langit beraneka warna sepanjang langkah kaki kami, juga senda gurau lima sekawan yang lelah tapi bahagia. Perjalanan pulang menuju pondok penginapan diiringi pendar senter. Ya, setiba kami di pondok, si bola emas lenyap berganti bulan perak. Saya sudah terlalu letih memotret, ditambah perut keroncongan minta diisi.



Pangumbahan, Penangkaran Penyu

Kami tak beruntung karena tak bisa melihat induk penyu bertelur di malam hari. Tak ada yang tahu kapan Mama Penyu hendak singgah ke Pangumbahan untuk bertelur. Semalaman menanti kabar dari penjaga Pangumbahan, tak ada pesan yang masuk ke ponsel saya.

Saya selalu mengagumi penyu dan kura-kura. Lepas dari kelambanan dan cangkang keras mereka, saya takjub pada usia mereka yang panjang. Saya suka tokoh Winifred, kura-kura betina dalam film Animals United. Kura-kura tua yang lahir di Kepulauan Galapagos itu bilang, “Manusia seperti ular yang memakan ekornya untuk bertahan hidup.”

[caption id="attachment_324351" align="aligncenter" width="433" caption="Menuju rumah baru"]

1393224287611485121
1393224287611485121
[/caption]

[caption id="attachment_324352" align="aligncenter" width="433" caption="Bergulat Melawan Gelombang"]

13932243221648328328
13932243221648328328
[/caption]

Sore di pantai Pangumbahan, saya melihat puluhan tukik yang antusias menyapa gelombang. Di antara kaki manusia serakah yang bergerak seenaknya tanpa kuatir akan menginjak tukik, makhluk kecil itu tetap mengayuh empat kaki rapuhnya menuju samudra. Sedikit sekali tukik yang bertahan hingga menjadi penyu dewasa. Mereka rentan menjadi santapan ikan atau hewan besar lainnya di lautan. Dengan risiko itu, tak seekor pun dari kawanan tukik itu yang kembali ke pantai. Mungkin mereka lebih memilih petualangan di laut lepas dibanding terpenjara dalam ember hitam.

[caption id="attachment_324353" align="aligncenter" width="433" caption="Seember tukik siap menunggang ombak"]

13932243691199845411
13932243691199845411
[/caption]

[caption id="attachment_324354" align="aligncenter" width="433" caption="Dibebaskan di pinggir pantai"]

13932244021546646423
13932244021546646423
[/caption]

[caption id="attachment_324356" align="aligncenter" width="433" caption="Sekumpulan pelancong tertawa girang melihat tukik-tukik yang merayap menuju samudra"]

1393224435212810331
1393224435212810331
[/caption]

[caption id="attachment_324357" align="aligncenter" width="433" caption="Si kecil yang rapuh namun pemberani"]

139322447124183985
139322447124183985
[/caption]

Mata saya berkaca-kaca memandang kepergian tukik-tukik itu. Mungkin saya harus meniru mereka, berani dihempas kerasnya gelombang dan selalu mencari petualangan baru. Saya jadi berpikir, apa seekor tukik bisa mengenali induknya yang menghasilkan ribuan telur? Dan apakah sebaliknya? Ah, saya jadi kangen ibu. Betapa beruntung spesies Homo sapiens yang bisa menelepon induknya kapan pun mereka mau.

[caption id="attachment_324358" align="aligncenter" width="434" caption="Tempat penetasan telur penyu"]

13932245181496100320
13932245181496100320
[/caption]

[caption id="attachment_324359" align="aligncenter" width="433" caption="Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan yang diresmikan pada 2009"]

1393224551547211985
1393224551547211985
[/caption]

Pantai Nelayan

[caption id="attachment_324361" align="aligncenter" width="433" caption="Langit pagi di pantai pelelangan ikan"]

1393224608393108986
1393224608393108986
[/caption]

[caption id="attachment_324362" align="aligncenter" width="355" caption="Dua bocah bermain pasir di pantai usai subuh"]

1393224641819685380
1393224641819685380
[/caption]

[caption id="attachment_324363" align="aligncenter" width="433" caption="Dua kapal bersandar"]

13932246701543163443
13932246701543163443
[/caption]

Pantai nelayan di Ujung Genteng tak terlalu istimewa. Aroma amis menguar dan sampah bertebaran. Walau begitu, dua bocah asyik bermain pasir hitam di pantai ini. Tukang ojek yang mengantar saya berkata, di pantai ini pernah terjadi perburuan sindikat narkotika internasional. Polisi membekuk bandar narkotika asal Iran dan Somalia pada awal 2012 lalu. Posisi pantai yang sepi dan minim penjagaan aparat menjadikannya tempat singgah para bandar dari kapal besar di perairan Samudra Hindia.

Pantai Pencari Wangsit

Lantaran tak terlalu antusias dengan pantai nelayan, bapak ojek membawa kami menuju pantai sepi lainnya tempat melihat matahari terbit. Di perjalanan menembus hutan kecil menuju pantai, kami mendapati satu bangunan terbengkalai lengkap dengan menara. Seorang gelandangan tidur di dalamnya.

[caption id="attachment_324365" align="aligncenter" width="433" caption="Bangunan tak terurus dengan menara, ada seorang tunawisma tidur di dalamnya"]

1393224769976559928
1393224769976559928
[/caption]

[caption id="attachment_324366" align="aligncenter" width="433" caption="Evi memotret batang mati di pantai yang surut"]

1393224800205555228
1393224800205555228
[/caption]

[caption id="attachment_324367" align="aligncenter" width="433" caption="Gaya aneh saat matahari terbit"]

1393224834737808554
1393224834737808554
[/caption]

[caption id="attachment_324368" align="aligncenter" width="433" caption="Pagi di hutan kecil"]

13932248661300713433
13932248661300713433
[/caption]

Pantai sepi tak bernama ini memang cocok untuk memotret matahari terbit. Sepi yang menyedihkan dan ganjil. Mungkin saya harus lebih sering menjamah pantai-pantai sunyi. Hanya ada kami berlima di pantai itu. Lima ojek memarkir motor dan mengobrol dengan seorang lelaki yang konon, kuncen wilayah Ujung Genteng.

Di tepi pantai sepi itu, berdiri sebuah bangunan dari terpal biru, kediaman sang kuncen. Ia mendapat wangsit harus tinggal di tepi pantai ini agar Ujung Genteng tak terkena tsunami. Bapak ojek (saya lupa namanya, dua tahun cukup untuk menghapus ingatan akan nama-nama di kepala saya) bilang, sang kuncen sebenarnya dari keluarga cukup berada. Namun, ia memilih menyepi di pantai tak bernama di ujung hutan kecil demi sebuah wahyu.

[caption id="attachment_324369" align="aligncenter" width="433" caption="Ikan kecil di antara rumput laut"]

1393224912412639940
1393224912412639940
[/caption]

[caption id="attachment_324370" align="aligncenter" width="361" caption="Empat sekawan bergaya berlatar mercusuar (dan satu tukang potret)"]

13932249481195512860
13932249481195512860
[/caption]

Curug Cikaso

Kawasan sekitar Ujung Genteng juga menyimpan wisata alam yang belum terlalu dikenal. Jalanan menuju Curug Cikaso rusak parah. Lima sekawan menuju air terjun dengan naik ojek dari pondok di Ujung Genteng. Jaraknya mungkin sekitar 30 kilometer. Dengan aspal yang rusak dan beberapa ruas jalan berbatu-batu, perjalanan itu cukup layak dikenang. Saya salut pada lima ojek yang lincah menelikung mencari rute yang agak mulus.

13932250001058060773
13932250001058060773

13932250222108439258
13932250222108439258

[caption id="attachment_324373" align="aligncenter" width="433" caption="Curug Cikaso"]

1393225061875521974
1393225061875521974
[/caption]

[caption id="attachment_324374" align="aligncenter" width="433" caption="Empat bidadari mandi dan satu Jaka Tarub di kejauhan (perhatikan kepala seorang pria di dekat air terjun) :D"]

13932251011435110339
13932251011435110339
[/caption]

Curug Cikaso tak mengecewakan. Tiga air terjunnya jernih dan dingin sekali. Empat teman saya langsung bermain air. Saya memilih duduk manis di atas batu yang kering dan memotret. Lagi pula kalau saya ikut jadi bidadari mandi, siapa yang menjaga kamera saya?

Amanda Ratu, Sepotong Tanah Lot

13932251541761047392
13932251541761047392

13932251871701884932
13932251871701884932

[caption id="attachment_324377" align="aligncenter" width="433" caption="Rayuan pulau kelapa di pantai Amanda Ratu yang mirip Tanah Lot di Bali"]

1393225215511582607
1393225215511582607
[/caption]

Di perjalanan kembali ke pondok dari curug, kami melihat jajaran nyiur melambai diterpa angin. Saya menunjuk ke arah nyiur dan pak ojek pun membelokkan motornya menuju tangan saya menunjuk. Empat ojek di belakang saya serentak mengikuti menuju Pantai Amanda Ratu. Pantai ini dikenal sebagai imitasi Tanah Lot di Bali. Ada sebuah karang besar di seberang pantai.

Amanda Ratu ibarat bintang film yang kehilangan pamor. Bangunan hotel di dekat pantai tampak kurang terawat dan sepi pengunjung. Saya langsung rebahan di rumput meluruskan punggung yang pegal setelah puluhan kilometer di atas motor. Kami berlima leyeh-leyeh di rumput sembari menahan lapar. Bagusnya, pantai di sekitar Ujung Genteng ini adalah minimnya penjual makanan. Maka, sampah plastik bekas makanan pun tak sebanyak di pantai-pantai komersial lainnya. Sebuah dilema, antara fasilitas dan limbah memang hadir seiring sejalan.

Perjalanan dan Teman

Saya sering melakukan perjalanan dengan teman pada 2012. Setahun kemudian frekuensinya berkurang, saya mulai belajar melancong sendirian. Namun menurut saya, Ujung Genteng bukan tempat yang cocok bila kita menjelajah sendirian. Sepi di sana begitu kental. Langit dan padang koralnya terlalu luas untuk dinikmati sendirian. Tak ada teman yang sempurna, tak ada perjalanan yang sempurna. Satu hal yang pasti, dari semua nama dan catatan yang tercecer dari laci ingatan saya di perjalanan itu, nama teman-teman saya takkan pernah hilang.

[caption id="attachment_324378" align="aligncenter" width="433" caption="Tidur-tiduran di pasir dengan langit mendung"]

13932252681637359107
13932252681637359107
[/caption]

[caption id="attachment_324379" align="aligncenter" width="433" caption="Dayu, Nurul dan Nina (pose duyung)"]

1393225306919071018
1393225306919071018
[/caption]

[caption id="attachment_324380" align="aligncenter" width="541" caption="Langit biru bersih di pantai Ujung Genteng kala pagi"]

1393225337592570710
1393225337592570710
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun