[caption id="attachment_332468" align="aligncenter" width="562" caption="Belajar sambil menunggui dagangan di depan Beringharjo"][/caption]
Kalau kau orang Indonesia dan belum pernah ke Malioboro, sempatkan ke sini sebelum kau mati. Jalan ini bukan kunci menuju surga, bukan pula sebaliknya. Ia jalan yang sekilas tak berbeda sejak pertama saya kunjungi, saat wisata libur kenaikan kelas kala bocah. Entah sudah berapa kali saya susuri jalan ini. Meski tampak sama saja setiap tahun, selalu ada campuran rasa yang aneh setiap menapaki seruas jalan ini.
Malioboro dalam bahasa Sansekerta berarti rangkaian bunga. Seperti berbagai spesies bunga di dunia ini, setiap kali menengok Malioboro, ia hadir dalam wujud bunga yang berbeda. Seperti perempuan yang tak muda lagi, ia tak terlalu cantik tapi tetap menarik.
Saya beberapa kali membuang waktu saya (yang sudah makin berkurang jatahnya di dunia ini sejak keluar dari garba simbok saya) di Malioboro. Terkadang, bengong dan linglung di kota orang itu menyenangkan dan saya perlukan. Tak ada yang mengenali meski saya berjam-jam bolak-balik menyusuri Malioboro. Singgah di berbagai titik yang berbeda.
Saya tak paham street photography yang baik itu seperti apa. Saya bukan fotografer profesional dan hanya memotret untuk bersenang-senang. Saya percaya fotografi itu subjektif. Sebuah foto adalah ungkapan perasaan si fotografer yang tertangkap saat itu.
[caption id="attachment_332469" align="aligncenter" width="518" caption="Pangkalan ojek di salah satu sudut Malioboro"]
[caption id="attachment_332470" align="aligncenter" width="518" caption="Kuli bangunan "]
Wilayah Yogyakarta yang hanya “sakmegaring payung” ini memang tetap istimewa. Dagangan Malioboro yang nyaris seragam tak membuat bosan sebagian turis. Ada dua perasaan aneh yang saya catat. Pertama, orang-orang di Malioboro tak takut hujan. Suatu sore yang gerimis, saya menghitung hanya ada lima orang berpayung (termasuk saya) dalam 300 meter. Tentu saja, ini hanya survei iseng yang tak akurat. Hehehe.. bisa saja karena turis-turis tak menyangka siang yang membakar akan berubah jadi hujan mendadak. Kedua, aroma sampah di sekitar pasar Beringharjo dan bau batik di sepanjang lorong berbaur menghasilkan parfum khas Malioboro.
[caption id="attachment_332471" align="aligncenter" width="346" caption="Perempatan Malioboro"]
[caption id="attachment_332472" align="aligncenter" width="365" caption="Barang dagangan"]
Seperti di kota-kota besar lain, pengamen transgender juga menjelajah Malioboro. Kostum mereka jauh lebih “biasa” dibanding pengamen yang sering saya temui di Depok. Seorang pengamen di suatu siang berkostum kebaya pengantin perempuan lengkap dengan rangkaian melati di kepalanya. Kadang saya sedih pada diri saya sendiri, karena saya tak berani bercakap dengan mereka. Saya malu pada kesombongan yang kadang hadir lewat pikiran: “Untung saya tak terjebak pada kegalauan kelamin macam mereka.”
[caption id="attachment_332473" align="aligncenter" width="371" caption="Pengamen "]
[caption id="attachment_332474" align="aligncenter" width="554" caption="Dendang di bawah pohon"]
Becak di Malioboro adalah spesies transportasi yang menjamur selain andong. Mungkin ada yang menganggap becak itu eksotis. Tapi tidak dengan pengemudi becak di Malioboro. Bagi manusia yang suka srunthulan sendirian seperti saya, tawaran dan pertanyaan para pengemudi becak Malioboro sungguh mengganggu. “Becak, Mbak? Mau kemana, Mbak? Ke Dagadu, bakpia, putar-putar lima ribu saja?” Entah berapa kali saya ke kota ini dan gaya mereka tetap sama. Tentu saja, memang mau bagaimana lagi? Mereka pekerja yang sangat gigih, jauh lebih keren daripada staf marketing asuransi bank yang menelepon dengan kalimat-kalimat pembuka nan monoton. Entah berapa orang yang mereka sapa, “Becak? Mau kemana?” Gaya marketing yang terdengar anyel bin kepo di telinga saya.
[caption id="attachment_332475" align="aligncenter" width="374" caption="Mengaso"]
Saya berhutang judul tulisan ini pada Eko Susanto yang menulis buku “Orang-Orang Malioboro”. Eko yang pernah berjualan di Malioboro selama sembilan tahun bercerita tentang kehidupan orang jalanan di Malioboro. Pedagang, pencopet, preman dan pengemis menjadi tokoh-tokoh dalam bukunya. Hal yang menarik, Eko berpendapat bahwa pengemis bukanlah manusia yang malas. Mengemisjuga membutuhkan daya juang. Bukankah kemampuan akting para pengemis itu jauh lebih mumpuni ketimbang artis sinetron atau film horor Indonesia? Pengemis juga punya jam kerja. Bahkan di saat libur hari raya, mereka bekerja jauh lebih keras lagi menadahkan tangan di makam-makam atau tempat ibadah. Pengemis adalah para profesional.
[caption id="attachment_332477" align="aligncenter" width="560" caption="Orkes Malioboro saat malam tiba"]
[caption id="attachment_332478" align="aligncenter" width="560" caption="Berteduh di benteng Vredeburg"]
Di depan loji
Saya terkenang suatu petang usai sholat Maghrib di masjid Malioboro. Saat saya mengenakan kaos kaki dan sepatu, saya berbincang sejenak dengan gadis penjaga sepatu di beranda masjid. Di sebelah gadis itu duduk seorang nenek yang sehat. “Temannya mana?” ia tersenyum mengamati saya. Saya jawab saya pergi sendirian. Ia bilang agar saya hati-hati. Saya mengangguk dan berlalu. Setengah jam kemudian, saya tertegun melihat nenek itu berjalan pelan sambil menadahkan tangan di sekitar stasiun Tugu. Seribu delapan ratus detik saja, dan saya merasa tertipu sekaligus marah. Saya tak tahu kenapa. Saya tak memberi sepeser pun uang pada pengemis manapun sejak setahun belakangan. Mungkin saya kesal karena bisa tertipu pada penampilan nenek sehat nan ramah yang saya pikir seorang pedagang di Malioboro. Ah Dunia, benarkah ada malaikat yang menjelma dalam wujud pengemis tua?
[caption id="attachment_332480" align="aligncenter" width="328" caption="Penjaja sate dan seni instalasi di Malioboro"]
[caption id="attachment_332481" align="aligncenter" width="382" caption="Pasangan pengamen "]
[caption id="attachment_332482" align="aligncenter" width="560" caption="Pelukis Malioboro"]
[caption id="attachment_332483" align="aligncenter" width="560" caption="Wangi daging bakar"]
Betapa pun sumpek dan ruwetnya Malioboro, jalan ini tetap istimewa. Saya merasa bahwa sebuah perjalanan tak harus selalu menyenangkan. Seperti hidup yang mustahil selalu mulus. Ternyata saya butuh juga aroma sampah, hujan dadakan, pertanyaan kepo pengemudi becak, suara sumbang pengamen transgender dan keramaian orang-orang yang tak saya kenal. Betapa membosankan bila hidup hanya berisi hal-hal yang indah dan menyenangkan.
Akhirnya, saya akui foto-foto ini saya jepret dengan kerangkeng transparan. Mungkin seperti mengenakan jubah gaib Harry Potter. Saya menuruti nasihat nenek pengemis itu untuk berhati-hati. Ternyata, saya menjaga jarak dengan orang-orang Malioboro. Saya tak lebih dari turis biasa. Inikah yang disebut jadi orang asing di negeri sendiri?
[caption id="attachment_332484" align="aligncenter" width="560" caption="Pagi di stasiun Tugu"]
Referensi:
“Monarki Yogya” Inkonstitusional?, Penerbit Buku Kompas, 2011
Orang-Orang Malioboro, Eko Susanto, 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H