[caption id="attachment_398750" align="aligncenter" width="543" caption="Pagi hari naik jukung menuju samudra"][/caption]
Cara terbaik untuk bertemu hewan adalah di habitatnya yang asli. Saya ingat kala bocah pernah diajak ibu menonton atraksi lumba-lumba di Ancol. Saya tidak suka dan menangis minta pulang. Seingat saya, sejak kecil saya tak terlalu antusias bila diajak ke kebun binatang, atau melihat hewan-hewan di sebuah pertunjukan semacam sirkus.
Kiluan terletak di Lampung Selatan, tepatnya di Kabupaten Tanggamus. Untuk ke sana, dari Bandar Lampung harus melalui jalan darat selama sekitar 4-5 jam. Hal yang kurang menyenangkan, sebagian besar akses ke Kiluan rusak berat. Alhasil, selama perjalanan saya batal tidur. Tapi yang menyenangkan, banyak rumah panggung dan aneka tanaman berbunga, bahkan kaktus, di sepanjang rute menuju Kiluan.
[caption id="attachment_398751" align="aligncenter" width="448" caption="Salah satu rumah panggung di perjalanan menuju Kiluan"]
Kami menginap di sebuah pondok kayu yang disewakan penduduk. Listrik tersedia dari genset. Desa di teluk yang kami singgahi ini penduduknya mayoritas keturunan Bali. Ada pura untuk beribadah dan banyak anjing liar berseliweran.
[caption id="attachment_398752" align="aligncenter" width="473" caption="Pantai di depan pondok tempat menginap di Kiluan"]
Foto-foto di tulisan ini sebagian besar adalah jepretan Mbak Wiwin. Terima kasih padanya karena saya boleh memasang foto-fotonya, berhubung ponsel saya sempat rusak dan terpaksa harus di-factory reset, nyaris seluruh data foto terhapus.
Karang Pegadung
Karang Pegadung adalah tujuan menarik selain lumba-lumba di Kiluan. Bila ingin menikmati mandi-mandi di laguna ini, saya sarankan memakai alas kaki yang nyaman untuk menjelajah. Saya salah perhitungan karena saya pikir trip kali ini ke pantai bakal santai, jadilah saya bersandal jepit. Ternyata menuju Karang Pegadung harus mendaki dan menuruni bukit yang agak licin waktu itu, lalu disambung dengan melewati karang tajam yang sesekali dihempasi ombak sore. Jadilah, saya nyeker dan meninggalkan sandal jepit saya. Enak juga sih, melewati bebatuan karang dengan nyeker bisa jadi sekalian pijat refleksi gratis untuk kaki saya!
[caption id="attachment_398753" align="aligncenter" width="309" caption="Mbak Ezi model iklan Taro"]
[caption id="attachment_398754" align="aligncenter" width="304" caption="Di bawah karang, arusnya deras!"]
[caption id="attachment_398755" align="aligncenter" width="311" caption="Butuh kaki hobbit untuk menapaki karang ini"]
[caption id="attachment_398756" align="aligncenter" width="467" caption="Semedi di atas batu"]
[caption id="attachment_398757" align="aligncenter" width="445" caption="Sore hari laut mulai pasang"]
[caption id="attachment_398758" align="aligncenter" width="468" caption="Anak-anak pulang bermain di Karang Pegadung"]
[caption id="attachment_398759" align="aligncenter" width="456" caption="Sitta was here!"]
[caption id="attachment_398760" align="aligncenter" width="451" caption="Mengaso di dahan pohon"]
Mencari Lumba-Lumba di Pagi Hari
[caption id="attachment_398761" align="aligncenter" width="490" caption="Berpose di depan jukung"]
Ketika ke Kiluan, saya diberitahu pemandu bahwa turis yang berkunjung akan selalu bisa menemui kawanan lumba-lumba di pagi hari. Ternyata tidak. Seorang teman Mbak Wiwin katanya tak bersua kelompok hewan cerdas itu saat berkunjung pada Desember lalu. Teluk Kiluan memang bukan rumah lumba-lumba ini. Di pagi hari, mereka pelesir ke teluk sekadar untuk sarapan. Bila turis tak menjumpai mereka di suatu pagi, bisa jadi mereka sedang puasa Senin Kamis.
[caption id="attachment_398762" align="aligncenter" width="490" caption="Karang-karang berbentuk candi di perjalanan menuju samudra"]
Jangan terlambat bangun pagi bila ingin bertemu mereka. Kami berangkat naik jukung pukul enam pagi dan berlayar ke tengah samudra selama sekitar 45 menit. Jukung saya dan Mbak Wiwin terpisah dari jukung Mbak Ezi dan temannya. Kapasitas jukung memang terbatas sehingga kami harus berlayar dalam dua jukung. Dua puluh menit pertama, saya sempat waswas, garis pantai makin hilang dan sejauh mata memandang hanya laut biru dan ombak yang bergulung-gulung. Akankah saya bertemu lumba-lumba? Bagaimana tukang jukung bisa tahu di spot mana persisnya mereka akan mampir ke teluk ini?
[caption id="attachment_398763" align="aligncenter" width="490" caption="Sekawanan lumba-lumba"]
Setengah jam lebih terapung-apung di samudra luas terasa lama. Saya mendaraskan doa. Mungkin saya lebay, tapi saya benar-benar ingin menjumpai mereka di laut “kedai sarapan” ini. Beberapa menit kemudian, doa saya terkabul! Tukang perahu berteriak dan menunjuk ke arah cakrawala, “Itu disana!” Awalnya saya tak melihat apa-apa. Air laut yang biru tua berbaur dengan cahaya pagi memantulkan warna metalik serupa tubuh keabuan hewan air itu. Tiga ekor lumba-lumba melompat di kejauhan. Tak lama, beberapa ekor menghampiri jukung kami sembari sesekali melompat. Sekitar tiga puluh menit atraksi di alam itu membikin takjub. Saya tak tahu lagi berapa ekor lumba-lumba yang saya lihat. Mungkin ada sekitar lima puluh lebih dalam kelompok yang pagi itu “sarapan” ke teluk Kiluan. Setengah jam kegirangan melihat mereka, rasanya sebentar sekali.
Ke Pulau Sepi untuk Membaca Murakami
[caption id="attachment_398764" align="aligncenter" width="490" caption="Pulau sepi tuk membaca Murakami "]
[caption id="attachment_398766" align="aligncenter" width="490" caption="Ayunan gantung di pantai"]
Saya sedang tergila-gila pada Haruki Murakami, novelis Jepang beraliran science-fiction dan absurdisme. Saat ke Kiluan, saya membawa novelnya yang berjudul “Hard Boiled Wonderland and The End of The World”. Berhubung kondisi jalan rusak sepanjang Kiluan dan penerangan remang-remang di pondok, kecepatan membaca jadi tersendat. Pulau sepi nan biru jadi spot yang pas untuk meneruskan membaca buku Murakami. Sambil menyeruput teh panas dari warung di pantai ini, diiringi sepoi angin, mata saya menjelajah deretan kata.
[caption id="attachment_398765" align="aligncenter" width="490" caption="Satu pondok putih di pulau sepi nan biru"]
[caption id="attachment_398767" align="aligncenter" width="490" caption="Membaca Murakami di bawah pohon rindang"]
“But like a boat with a twisted rudder, I kept coming back to the same place. I wasn’t going anywhere. I was myself, waiting on the shore for me to return. Was that so depressing?” (Haruki Murakami, Hard Boiled Wonderland and The End of The World)
[caption id="attachment_398768" align="aligncenter" width="361" caption="Buku Murakami, sandal jepit dan istana pasir"]
Kuliner Lampung dan sekitarnya
Saat di Bandar Lampung, sempatkan untuk mencicipi kuliner yang maknyus macam pempek Trio dan bakso Sony. Sebelumnya saya makan juga pempek 123 tapi tak ada fotonya di sini. Oh ya, saya pecinta bubur, jadi saya sempatkan mencari bubur ayam yang enak, letaknya di dekat perempatan sebuah mall yang saya lupa namanya. Untuk oleh-oleh, saya beli keripik pisang di toko Yen-Yen dan kopi Lampung.
[caption id="attachment_398769" align="aligncenter" width="490" caption="Pempek Trio"]
[caption id="attachment_398770" align="aligncenter" width="490" caption="Bakso Sony dan es dawet"]
[caption id="attachment_398771" align="aligncenter" width="490" caption="Antrean bubur ayam dekat perempatan mall"]
Rute saya selama liburan di Kiluan:
Hari 1: Terbang Jakarta–Lampung (pagi), rute darat menuju Tanggamus (siang-sore), Karang Pegadung
Hari 2: Mencari lumba-lumba (pagi), ke Pulau Murakami (siang), kembali ke Lampung (sore)
Hari 3: Kembali ke Jakarta
Mimpi destinasi saya berikutnya, saya ingin ke Tanjung Puting menemui Sang “Borneo Man”. Saya harus kesana sebelum hutan Borneo habis dibalak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H