**
Saya sendiri pernah mengalami hal serupa  seperti dialami saudari Prita Mulyasari. Ketika itu saya mengandung anak pertama, di usia kehamilan 7 bulan memasuki usia 8 bulan, saya mengalami kecelakaan, sehingga terjadi kontraksi. Saya merasakan kesakitan luar biasa sekaligus panik dan takut. Karena itu masih kehamilan anak pertama, jadi saya tidak mengerti banyak hal. Kontraksi yang saya rasakan sejak sekitar pkl.15.00 wita terus semakin menjadi-jadi hingga jelang magrib.
 Akhirnya setelah suami pulang kerja dari luar kota, sekitar pkl.19.30 wita, barulah saya dilarikan ke sebuah rumah sakit di kota tempat kami tinggal. Dalam keadaan seperti itu, tak terpikir lagi pakai sendal atau mengganti pakaian cantik. Saya diboyong suami ke R.S dengan daster seadanya dan tanpa alas kaki. Tiba di R.S, saya dibawa ke sebuah ruangan. Lama sekali kami menunggu hingga salah seorang perawat datang menanyai kami.Â
Pertanyaan pertama perawat itu pada suami adalah; "Ini nanti dibayar pakai apa, Pak?" tanyanya dengan nada merendahkan. Saya menatap lirik mata dan ekspresi si Perawat itu saat bertanya pada suami saya. Tentu saja si Perawat itu menduga atau berasumsi bahwa kami tidak punya cukup uang untuk membayar biaya R.S seelit itu.Â
Suami saya langsung menjawab;"Ya bayarnya pakai duitlah, Bu," jawabnya tegas sembari mengeluarkan seikat uang yang jumlahnya sekitaran 10Jutaan dari kantongnya. Saat itu suami saya memang sudah benar-benar siap bahkan langsung minta pinjaman dari kantornya demi menyelamatkan nyawa saya dan nyawa bayi dalam kandungan saya.
Singkat cerita si Perawat tadi keluar dari ruangan, meninggalkan kami, dan meminta kami menunggu penanganan selanjutnya. Katanya dia akan memanggilkan dokter kandungan. Dan ajaibnya, hingga pkl.23.30 wita, kami tidak didatangi oleh siapa pun. Jangankan dokter spesialis kandungan sebagaimana kami harapkan, bahkan tak seorang perawat pun datang hingga larut malam.Â
Akhirnya kami memutuskan keluar dari R.S tersebut tentunya dengan menahan rasa sakit yang luar biasa. Malam itu aku menangis pilu dalam batin. Saya meminta suami untuk membawa saya ke sebuah Klinik Bersalin yang buka 24 jam tak jauh dari rumah kami. Disanalah akhirnya saya disambut baik oleh pemilik klinik tersebut. Dan akhirnya selamat hingga menunggu hari H kelahiran si Bayi.
Untung saja, ketika itu saya tidak "curhat" di media sosial tentang buruknya sikap dan pelayanan R.S yang pertama kami kunjungi. Kalau tidak, bisa jadi hal seperti dialami saudari Prita terulang kepada saya. Namun, jika setiap saksi dan korban memilih diam seperti saya saat itu, tentu saja hal demikian akan terus berulang kepada para pasien lainnya. Bahkan lebih buruk lagi, bisa mengakibatkan kematian karena tidak segera mendapat pertolongan sigap dari pihak R.S.
**
Kasus-kasus lain yang banyak saya catat ketika masih kuliah, yaitu maraknya kasus gratifikasi diam-diam antara mahasiswa tingkat akhir kepada beberapa dosennya. Banyak mahasiswa yang (merasa) tidak mampu menyelesaikan Tugas Akhir (T.A) dengan baik, namun dia ingin lulus dengan predikat dan nilai B atau A Plus, maka si Mahasiswa itu akan menempuh segala cara untuk mendapatkannya. Hal ini kemudian menjadi "budaya" bagi sebagian dosen.Â
Ketika gratifikasi berupa pemberian hadiah atau amplop menjadi 'budaya' bagi sebagian dosen, maka banyak mahasiswa yang sebenarnya tidak menginginkan hal tersebut 'terjerat' dalam sistem yang seolah menjadi wajib itu. Hal ini sering terjadi di banyak kampus. Bahkan sudah menjadi "rahasia umum". Siapa yang berani mengadukan hal semacam ini kepada yang berwajib? Tidak ada.Â