Mohon tunggu...
Poloria Sitorus
Poloria Sitorus Mohon Tunggu... Novelis - Mantan Jurnalis yang ingin terus menulis. Pecinta Novel, Dongeng dan Puisi. Hobi nulis, baking cake dan berkebun.

https://dapurpenadeardomoms.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kebutaan dan Ketidaktahuan Masyarakat Awam tentang Keberadaan LPSK Membungkam Kebenaran

19 November 2018   17:26 Diperbarui: 19 November 2018   17:32 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(oleh : Poloria Sitorus, S.Pd)

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga mandiri yang didirikan dan bertanggungjawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang "Perlindungan Saksi dan Korban", masih jarang terdengar gaungnya di tengah kalangan masyarakat awam.

Jujur saja, saya sendiri baru menyadari tentang keberadaan LPSK ini setelah adanya event Lomba Menulis tentang "Optimisme Perlindungan Saksi dan Korban di Tangan Pimpinan Baru LPSK" ini. Barangkali, di luar sana, masih lebih banyak lagi masyarakat awam yang buta dan tidak tahu sama sekali tentang keberadaan LPSK ini. Seyogianya itu pandangan saya sebagai awam. 

Lalu bagaimana usaha dan upaya LPSK untuk "memperkenalkan diri" agar keberadaannya lebih dikenal dan didengar gaungnya oleh masyarakat umum secara luas? Tentu saja hal ini sangat penting, guna mengendus setiap kasus kejahatan (baik dalam skala kecil, sedang hingga besar) yang kerap terjadi di kalangan masyarakat bawah yang malah awam terhadap hukum dan tidak tahu tentang keberadaan LPSK ini. Entah itu kasus kriminal, pelanggaran HAM, trafficking, asusila, pemerkosaan, narkoba ataupun kasus korupsi di tingkat daerah misalnya. 

Ketidaktahuan dan kebutaan tentang adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini, menjadikan saksi dan korban (khususnya mereka dari kalangan masyarakat bawah yang awam terhadap hukum) cenderung lebih memilih diam dan menutup diri. Kebanyakan mereka (saksi dan korban) merasa takut melaporkan kejahatan yang dilihat, didengar atau dialaminya sendiri karena merasa 'terancam'. Dalam hal ini juga dikarenakan opini masyarakat yang selama ini berkembang luas, bahwa hukum di negeri ini seolah-olah hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. 

Siapa punya kuasa dan uang, maka dialah yang menang--meskipun si Kaya tersebut sebagai pelaku kejahatan misalnya kepada si Miskin yang awam terhadap hukum. Pada beberapa kasus peradilan, kebanyakan si Saksi/Korban malah sebaliknya bisa menjadi tersangka, terpidana bahkan dipenjara karena mengadu, curhat atau sekadar mengeluh di akunt media sosialnya.

Katakanlah sebagai contoh nyata, kasus Prita Mulyasari (2009) yang malah dijerat dengan UU ITE, dituduh mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit disebabkan Prita menuliskan keluhannya terhadap buruknya pelayanan R.S tersebut di sebuah milis internet. Padahal, kenyatannya memang masih banyak rumah sakit di negeri ini yang pelayanannya kurang baik, khususnya pelayanan terhadap masyarakat miskin. Tentu saja kita semua tahu hal itu. 

Contoh lain adalah kasus Baiq Nuril yang baru-baru ini mencuat di media. Baiq Nuril yang sejatinya sebagai korban pelecehan seksual, malah dijerat dengan UU ITE dan malah menjadi terpidana bahkan dihukum penjara. Ironis bukan?!

Contoh-contoh kasus semacam ini menjadikan para saksi dan korban lainnya yang mengalami berbagai macam tindak kekerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan dan berbagai tindak kejahatan lainnya--memilih "tutup mulut." Sebab mereka tentu tidak ingin mengalami hal serupa seperti terjadi kepada korban Prita Mulyani atau seperti dialami Baiq Nuril saat ini. 

Lebih parah lagi--contoh kasus seperti di atas tadi, bisa menjadi bayang-bayang teror kepada para saksi dan korban yang sebelumnya berniat mengadukan sebuah kasus kriminal yang dilihat, didengar, dialaminya secara langsung. Lalu kemudian para saksi dan korban memilih diam dan menutup diri, meski sebagian hal itu bisa menjadi tekanan batin bagi mereka bahkan dibawa seumur hidup.

Namun, kembali ke hal tadi, kebanyakan diantara mereka tidak tahu tentang keberadaan LPSK. Ataupun kalau mereka tahu, tetapi mereka tidak tahu bagaimana akses menuju ke LPSK tersebut. Yang menjadi pertanyan dasar. Ketika ada saksi dan korban yang hendak mengadukan sebuah kasus, apakah mereka yang mencari LPSK untuk meminta perlindungan? Atau LPSK yang mendatangi mereka ? Lalu bagaimana akses menuju LPSK itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun