Mohon tunggu...
zainab el hilwa
zainab el hilwa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki "Telunjuk Langit"

9 September 2014   06:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari pagi masih berpendar rendah sinarnya menyapu bumi. Hembusan nafas alam menyapu anting-anting dadaunan. Deru mobil meliuk menyeruak memecah kemesraan pelukan embun. Tak tertinggal, debu jalanan tak henti menyambut pejalan kaki, penjual sayur, pekerja kantoran bahkan kanak-kanak yang bersemangat bersekolah. Aku masih merasakan pijatan bumi menusuk telapak kaki. Membasuhnya dengan sentuhan basah rumput taman negeri yang kudiami. Entah sudah berapa meter kujamahkan kedua tonggak tubuh pada kelembutan tanah berharap kenikmatan Tuhan tak terabaikan dengan banyak mensyukurinya.

Lama ku rasakan warna, sang surya mulai menduduki singgasana langit jagad raya. Terasa hangat memeluk raga, terlihat kokoh sebuah gedung tempat hajat desa. Gedung yang sering kumasuki walau sekedar membersihkan lantainya. Gedung tempat perkumpulan para warga, entah hanya PKK, Yasinan, Agustusan, bahkan pernikahan. Gedung ini bernamakan “Serba Guna”. Kau tahu kawan, konon pembangunannya tanpa biaya, tanpa meminta pungutan warga, menjadikan bangunan ini begitu menjadi primadona karena untuk pertama kalinya, desa yang kudiami memiliki gedung “Serba Guna”. Warna orange catnya, membuat orang membayangkan aroma jeruk di siang hari saat berpuasa, berpadu dengan warna hitam dan abu-abu pemanis mata.

Lamat-lamat pandanganku tertuju pada sebuah sepeda onthel lapuk termakan usia. Komponen besi dan aluminiumnya yang mengelupas bahkan berkarat cukup menjadikannya terlihat sangat reot saat ditunggangi. Setiap harinya, Onthel itu terparkir di bahu kanan gedung berdampingan dengan jalan desa. Terdapat banyak kardus bekas, bermacam-macam botol dengan ukuran berbeda, serta bahan rongsokan lainnya membuat setiap orang yang melihatnya mampu mengenali siapa pemiliknya. Ya, dialah laki-laki paruh baya mencari rongsokan dari tempat sampah warga setiap harinya.

Jika kau amati sekilas, ia bertubuh tinggi tegap, berkulit sawo matang, selalu memakai topi dan kemeja berkerah, bercelana panjang sekedarnya, bahkan terkesan angkuh meski kau berulang kali menebar pesona senyum saat permisi lewat di depannya kala terduduk rehat. Mungkin saja kau acuh dengannya, besar kemungkinan kau merasa risih akan kehadirannya. Betapapun perasaan yang kau pikirkan padanya, lelaki paruh baya itu takkan peduli dengan apa yang kau sangkakan.

Ku biarkan saja ia menyandarkan tubuh pada bahu sang Gedung. Sesekali ia rebahkan tubuh tingginya menjulur lantai keramik. Mengamati lamat langit-langit bangunan, bercengkrama dalam kebisuan. Ku putuskan masuk ke dalam rumah, pura-pura tak memperdulikan lelaki paruh baya itu. Aneh, sekian lama ku lihat laki-laki itu lalu lalang mencari rongsokan di sekitar rumah dan desa ini, namun tak pernah satu katapun ku dengarkan terucap dari mulutnya. Ah, sudahlah. Mungkin tak seperti yang terkira, karena kuhabiskan waktuku di perantauan, tak banyak ku tahu kesehariannya, sisi lainnya, selain pencari rongsokan.

Hari terasa panas, saat ku lihat, lelaki itu tetap pada posisinya. Ku beranikan sedikit mengintipnya berharap ia tertidur, ternyata tidak. Apa yang sedang dipikirkannya? Pikirku saat itu. Ku putuskan membaca buku novel kesayanganku di teras rumah. Berpura-pura tak peduli dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Mataku terangkat mengekornya. Entah dorongan apa yang membuatku ingin terus mengamatinya. Ia pun bangun, berdiri, berjalan pelan, terdiam. Sembari melihat burung-burung yang ayah gantungkan disisi gedung, laki-laki itu melekukkan tangan pada pinggangnya, kemudian mengangkat tangan kirinya seperti orang membawa buku, dan tangan kanan yang menunjuk-nunjuk langit. Persis seperti sorang guru sedang mengajar.

Entah apa yang kau pikirkan saat melihat perilakunya. Laki-laki misterius, pendiam, bahkan berperilaku aneh di tengah keramaian orang atau dalam kesendiriannya. Tertegun sejenak. Apa yang ia lakukan? Pikirku.

Keesokan harinya, tak jauh beda dengan yang kuamati sebelumnya, ia menunjuk-nujuk langit bak guru mengajar muridnya di sekolah maupun lainnya. Pernah suatu ketika saat ayah membuang kotoran burung di samping rumah, lelaki itu membawa pisau dapur yang ditemukannya dari tumpukan sampah. Ia berikan pada ayahku, padahal jika ia berpikir sejenak, pisau berbahan “stainlees” itu bisa ia gunakan sendiri di rumah, atau ia berikan pada istrinya. Pisau itu memang terlihat bagus, bahkan nyaris taka da cacat sedikitpun. Mungkin pemiliknya lupa atau terbawa gunungan sampah sampai terbuang sia. Sekali lagi kawan, tanpa kata, hanya dengan percakapan mata.

Saat ku tanya mengapa ia demikian, ayah hanya memintaku mengamatinya kelak aku mendapatkan jawabannya. Tak lama kemudian, ia kembali berbicara dalam bisu, serambi menunjuk-nunjuk langit. Perlakuan yang serupa sebelumnya. Dan saat itu, aku tersadar, bahwa ia berbeda dengan orang normal seperti biasanya…

“About Abnormall”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun