Mohon tunggu...
zainab el hilwa
zainab el hilwa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Psikosomatik; Inginnya Sakit Hati, atau Fisik? Atau Tidak Dua-duanya? (Studi Telaah Teori)

7 Oktober 2014   15:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:04 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perhatikan cerita berikut ini:

Hernia, perempuan berusia 32 tahun ini berkali-kali datang ke dokter mengeluhkan sakit kepala, penyakit lambung dengan seringnya mual-mual, dan terkadang asma. Berulang kali dokter memberi obat namun tak satupun menghalau penyakitnya datang kembali. Setiap kali ia mengkonsultasikan diri ke dokter, selalu yang diutarakannya adalah keluhan sama. Bahkan ia cukup sering merasakan sakit perut tiba-tiba saat datang masa pembayaran SPP anaknya di bangku SMP. Sebagai janda muda, ia melakukan semua pekerjaan rumah dan mengurusi semua kebutuhan anaknya dengan bekerja paruh waktu sebagai pembantu rumah tangga. Ia merasa tertekan saat hasil pekerjaannya kurang mencukupi kebutuhan sehari-harinya bahkan untuk keperluan sekolah anaknya. Seringkali ia merasa bersalah bahkan takut jika ia tidak bisa membayar uang bulanan sekolah anaknya.

Uraian cerita tersebut menggambarkan keluhan fisik hernia yang sering dikonsultasikannya ke dokter. Terkadang, salah seorang dari kita mungkin pernah mengalami hal yang sama. Merasakan sesuatu, semacam sakit fisik namun munculnya pada waktu-waktu tertentu. Mungkin pula kita berhasil tenang sejenak dengan mengonsumsi obat pereda sakit tersebut, namun tak jarang pula kita kembali merasakannya. Coba kita sorot kembali atas sakit yang ‘mesti’ dirasakannya saat ia harus membayar SPP anaknya yang di bangku SMP. Sakit perut yang dirasakannya tiba-tiba dan bahkan pada waktu tertentu (membayar SPP anaknya) merupakan salah satu indikasi dari penyakit Psikosomatik.

Psikosomatik (Psychosomatic) merupakan gangguan fisik yang ditengarai oleh gangguan psikologis pada masa lalu. Secara termonologi, psikosomatik berasal dari bahasa yunani “psyche” yang artinya “jiwa/intelek” dan “soma” yang berarti “tubuh”. Gangguan fisik yang menyangkut unsur psikologis bentuknya mulai dari asma, sakit lambung, sampai sakit jantung (Spencer, dkk, 2002).

Banyak dari penderita psikosomatik tidak menyadari penyakitnya psikosomatiknya ini. Mereka berungkali datang ke dokter mengharap kesembuhan penyakit fisiknya sembuh, namun tidak berhasil. Walaupun berhasil, namun lebih sering pada tingkat intensitas penyakit fisiknya tersebut yang menurun. Konflik dalam tubuh kita sebenarnya merupakan fenomena terjadinya persaingan antara keinginan-keinginan yang bertentangan sehingga menimbulkan ketegangan jiwa yang menjadi munculnya stressor.

Dahulu, Rene Descrates memiliki pemikiran dualisme bahwa anatara tubuh dan pikiran memiliki keterpisahan. Para klinisi dan Ilmuwan sekarang justru meyakini bahwa ada kesehatan mental dan fisik yang tidak dapat dipisahkan (Kendler, 2001; USDHHS, 1995a dalam Spencer, dkk). Istilah stres diartikan sebagai tekanan atau tuntutan yang dialami individu dalam menyesuaikan diri. Pelbagai tuntutan, tantangan, kesempatan serta kendala yang dialami oleh individu memicu reaksi serta respon tersendiri dalam diri seseorang. Setiap orang memiliki harapan-harapan yang berbeda untuk menjadi ‘ideal self’ atau diri yang diinginkan sehingga bilamana cara yang ditempuh salah cenderung berakibat menjadi stressor dalam diri orang tersebut.

Gangguan psikosomatik tidak lepas dari rasa stress yang di alami individu penderita penyakit ini sehingga bidang ilmu Psychosomatic Medicine dikembangkan untuk menjajaki kemungkinan kaitan antara pikiran dan tubuh dalam hal kesehatan. Seseorang yang memiliki strategi koping dan kemampuan adaptasi baik cenderung memiliki self esteem baik bahkan meningkat. Tapi sebaliknya, jika orang tersebut ketika mendapati dinamika tersebut dengan melakukan penilaian diri bahkan koping yang salah justru menjadi stress dan dapat memunculkan penyakit fisik dan psikis, diantaranya psikosmatik. Oleh karenanya, diantara hal yang dapat mengurangi tingkat stress adalah dengan cara strategi koping, memupuk efikasi diri, bersikap optimis, mengelola ketahanan tubuh dari stress yang dialami (hardiness) yang di dapat dari dukungan sosial dan sebagainya.

“When there is a problem, there is not something to do. There is something to know.”

(Dr. Raymon Charles Barker)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun