Oktober lalu dunia digemparkan dengan wanita transgenderasal Indonesia, Mayang Prasetyo alias Febri Ardiansyah. Tulisan ini saya buat bukan menilisik tentang kasus bahkan bentuk pembunuhan tragis yang dialami korban, melainkan tentang identity gender yang merubah total identty self-nya dari laki-laki menjadi perempuan. Identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah seorang perempuan atau laki-laki. Identitas gender secara normal didasarkan pada anatomi gender. Pada keadaan normal, identitas gender konsisten dengan anatomi gender. Namun, pada gangguan identitas gender, terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas gendernya.
Coba kita tengok pada apa yang terjadi pada mayang. Singkat cerita yang saya baca dan dapatkan dari internet, bahwa Mayang alias febri mulai kecil sampai remaja kepribadiannya cenderung pada sifat perempuan. Suka bermain masak-masakan, lebih suka berteman dengan perempuan, dan lain sebagainya. Perkiraan saya, cemoohan dengan label ‘banci’ mungkin sering kali terlontar kepadanya. Jika dikaji secara teoritis, terjadi ketidakseimbangan antara diri ideal, diri yang dituntut kepadanya, serta lingkungan yang membuatnya memutuskan merubah gendernya.
Prediksi saya, barangkali benar Mayang merasa nyaman dengan kondisi dia berperilaku seperti perempuan bahkan memiliki kecondongan untuk menjadi perempuan. Ketika ia lebih nyaman menjadi sisi perempuan itulah ia berani mengambil keputusan untuk melakukan operasi payudara dan wajah serta merta menyandangkan diri sebagai wanita transgender. Meski belum ada kepastian berita apakah Mayang melakukan operasi genital, besar kemungkinan orang-orang yang mengalami gangguan identitas gender melakukan operasi perubahan gender. Siapa yang akan mengira, di balik wajah ayu dan seksi tubuh ternyata ia adalah seorang laki-laki pada mulanya?
Orang dewasa yang melakukan operasi perubahana gender akan dibentuk alat genital eksternal yang semirip mungkin dengan alat gender yang diinginkan. Bahkan, orang yang telah mengalami operasi ini dapat melakukan aktifitas seksual sampai mencapai tingkat orgasme. Hanya saja, mereka tidak mampu mempunyai keturunan karena tidak memiliki organ reproduksi internal dari gender yang diinginkan.
Identitas gender berbeda dengan orientasi seksual. Gay dan lesbian memiliki minat erotis terhadap anggota gender mereka sendiri, tetapi identitas gender mereka konsisten dengan anatomi seks mereka. Mereka tidak memiliki hasrat untuk menjadi anggota gender yang berlawanan atau merasa jijik pada alat genital mereka, seperti yang ditemukan pada orang gangguan identitas gender.
Gangguan identitas gender sangat jarang ditemukan, tidak seperti gay dan lesbian. Selayaknya bagi kita untuk tidak perlu terlalu memicingkan mata. Cukuplah menghargai atas keputusan yang diambilnya. Lebih-lebih kita mau membantu mereka yang hampir mendapati kebingungan bahkan akan terjangkit dengan gender meraka untuk tetap menerima kodrat yang Tuhan titipkan pada mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H