Mereka pergi ke luar kota, bekerja menjadi seorang pelayan rumah makan, pergi merantau jauh dari orang tua, bekerja dari pagi sampai malam. Disana mereka benar-benar merasakan kehidupan sebenarnya, mencari nafkah untuk menghidupkan mimpi masa depannya. Dengan begitu, inilah yang bisa mereka lakukan untuk melawan keterbatasan dalam hidup.
Sisi lain dari seorang Rere, sahabat yang Siska anggap sebagai saudara kandungnya.Orang tua Rere masih lengkap, namun perceraian yang membuat Rere harus mandiri. Rere tinggal dengan ibu dan adiknya. Semasa SMA, ibu Rere yang membiayainya sekolah hingga kebutuhan sehari-hari mereka. Rere pun tak tega jika harus ibunya yang banting tulang membiayainya lagi di perguruan tinggi. Persahabatan mereka sudah tidak mengenal pertemanan, tapi sudah di baluti persaudaraan. Jarak rumah mereka hanya berbeda desa. Bicara tentang Siska yang tidak jujur terhadap Ayahnya soal dirinya akan bekerja. Di samping itu Rere meminta ridho kepada ibunya soal keberangkatan kerja dia dan Siska. Ibu Rere mengerti, dan membiarkan anak dengan sahabatnya bekerja, mencari pengalaman. Karena jika kali ini Rere tidak diizinkan, Rere tidak akan melanjutkan tujuannya dengan sahabatnya itu, karena bagaimana pun ridho Ibu menurut Rere lebih penting. "Iyaa Ibu izinkan, maafkan Ibu yaa.. Ibu belum bisa mewujudkan mimpimu. Ibu selalu mendoakan apa mimpimu, semoga kamu berhasil dengan sahabatmu Siska yaa" Air mata Ibu Rere membendung, dan Rere coba menguatkan dirinya agar tidak membuat suasana memecahkan kesedihan.
Setiba di pekerjaan. "Re, apa boleh kita sementara disini? Kan nanti kita harus kuliah". Tanya Siska memastikan. "Kita jalanidulu saja, yang penting kita punya tambahan uang buat bekal nanti kuliah". Tegas Rere menenangkan kekhawatiran Siska saat itu.
Setelah beberapa hari mereka menjalankan pekerjaan. "Re, ternyata kerja itu begini yaa.. Capek ga capek harus kita selesaikan, mau ga mau harus kita kerjakan, dan banyak sekali perintah atasan". Keluh Siska kepada sahabatnya kala itu. "Iyaa cari duit emang sulit, gimana yaa kabar orang tua kita yang sampai sekarang memberi kita uang setiap harinya. Hmm mereka hebat". Lanjut Rere mengingatkan perjuangan orang tua. Dengan berjalannya hari, keringat dua puteri kala itu yang menetes, benar-benar perjuangan yang terasa lelah bagi mereka.Â
*Dengan begitu, itu bukan halangan. Punya mimpi besar, rintangannya pun demikian besar, tapi kita harus yakin semuanya akan ada hasil yang besar karena kita punya Allah yang Maha Besar.*
Di-20 hari mereka menjalani perintah dengan sentakan oleh karyawan yang lain, tapi dengan begitu mereka saling menguatkan satu sama lain. "Rere kesini kamu!" Perintah karyawan lama ke Rere. "Kamu sudah hampir sebulan bekerja disini, masa masak  nasi saja kau masih begini! Ini keras nasinya!" Lanjut karyawan lama memarahi Rere. "Ini bukan aku yang masak teh" Nada Rere ketakutan. "Lalu siapa? Tadi aku lihat kamu yang masak. Temanmu itu?" Tunjuk beliau ke Siska. "Bu.. bukan aku teh" Nada Siska gugup. "Lalu siapa kalau bukan kalian? Ketahuan bos baru tahu rasa kalian!" Ancam karyawan lama itu ke Siska dan Rere. "Maafkan kami teh, kami benar-benar tidak melakukan kesalahan itu" Ujar Rere membela dirinya dan sahabatnya. "Saya tidak mau tahu, selain kalian karyawan baru siapa yang melakukan pekerjaan mentah seperti ini" Lagi-lagi karyawan lama itu menuduh Siska dan Rere.
Suatu saat, mereka berdua di panggil oleh atasannya, karena aduan karyawan lama. "Siska, Rere, kalian kesini" Perintah atasan dengan nada rendah. "Iyaa bos" Jawab Siska dan Rere ketakutan. Untung saja atasan mereka tidak galak. Ketika mereka ingin menghampiri atasannya itu, Siska memegang erat tangan Rere. Rere bingung dan bertanya "Kamu kenapa Sis? Tenang, kita ga salah, jangan takut". "Ini salah Aku Re" Bisik Siska ke telinga Rere, dan langkah mereka hampir mendekat ke atasannya itu. Rere bingung, ada apa dengan Siska, mereka pun semakin ketakutan. Yang sebelumnya Rere berani karena tidak bersalah, setelah sahabatnya mengatakan kebenaran itu sendiri, Rere semakin ketakutan. "Sini duduk" Tawaran atasan untuk mereka duduk di hadapannya. "Kemarin apa benar kesalahan kalian masak nasi  yang masih mentah?" Tanya atasan kepada Siska dan Rere masih dengan nada rendah. "Ini..." Jawab Siska di potong oleh Rere. "Ini salah saya pak, maafkan saya, saya tidak jujur ke teteh yang itu, karena saya takut di marah-marahi olehnya" Jawab Rere membela Siska. Rere tahu betul sahabatnya pasti memikirkan kondisi Ayahnya di rumah, karena setiap tidur Siska selalu menyebut nama Ayahnya. Karena Rere juga tahu, Siska tidak meminta izin ke Ayahnya, begitulah pikiran Siska yang kacau dan Rere mengerti. "Yasudah kalau begitu, lain kali jangan di ulangi yaa, kamu harus fokus bekerja". Suruh atasan yang baik hati itu.
Malam harinya, selesai bekerja, saat mereka istirahat di tempat pekerjaan yang sudah di sediakan kamar itu, Siska mencurahkan semua kondisinya dan meminta maafyang membuat sahabatnya menanggung kesalahannya. Dan Rere pun sudah mengerti dari awal. Perbincangan mereka di malam itu benar-benar mencuri keheningan sang malam yang pekat akan kegelapan, dan mereka berdua mampu membuat malam itu cerah dan membuat bintang berkelip lebih banyak dari sebelumnya.
Sudah selama sebulan mereka bekerja, mendapat gaji yang lumayan besar. Mereka mengundurkan diri bekerja, dengan alasan mereka ingin kuliah. Dan dengan niatan mulia mereka, atasannya pun mengerti lalu membiarkan mereka mengundurkan diri dan melanjutkan perjuangannya. Dan mereka langsung mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi Negeri yang mereka idamkan. Gaji kerja mereka pun di pakai untuk membayar pendaftaran, dan disisihkan untuk keperluan sehari-hari nanti. Rere mendaftarkan di Universitas Indonesia (UI), dan Siska di Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN Jakarta). Dan mereka di terima di Universitas yang mereka pilih. Tanpa di sadari oleh Siska dan Rere, mereka ternyata mampu untuk melewati segala keterbatasannya. Dari mulai terhalang oleh ekomi, mereka harus bekerja setengah mati.Harus bisa tegar dengan segala kondisi kehidupannya, dan harus bangkit saat orang lain merendahkan mereka. "Alhamdulillah yaa Re, kita bisa juga ke perguruan tinggi yang sejak lama kita idamkan." "Iyaa Sis, kita harus selalu bersyukur kepada Allah dan selalu berbakti kepada kedua orang tua" Nasihat Rere. Mendengar nasihat Rere, Siska mengingat bagaimana kabar Ayahnya. "Re, kita harus cepat-cepat pulang, aku rindu Ayah. Kau tau sendiri, Ayah tidak tahu jika aku bekerja". Ajak Siska kepada Rere. "Iyaa ayoo kita harus cepat-cepat pulang, Aku juga rindu dengan Ibu dan adikku".
Di setiap perjalanan entah kenapa Siska selalu meneteskan air mata, Rere semakin cemas, apakah Siska meriang? Atau ada apa dengan kondisi Ayahnya? Pertanyaan itu coba Rere tahan, karena mereka sedang di perjalanan. "Semoga baik-baik saja yaa Sis". Doa Rere sambil melihat Siska di kaca spion motornya yang sambil menangis. Sampai di rumah Siska. Ada bendera kuning dari plastik berkibardi depan pagar rumahnya. Siska dan Rere pun bergegas masuk ke rumah. Siska bertanya berulang kali, ada apa dirumah? kenapa Ayah?. "Bi, Ayah kenapa bi?" Sambil menangis dan melihat ada seseorang yang terbaring kaku dengan di tutupi kain. Pecah kesedihan di rumah kala itu. Siska menyesali kepergiannya yang tak izin kepada Ayahnya. Rere coba tenangkan sahabatnya dan mengabari ibunya dirumah untuk cepat kerumah Siska bahwa Ayah Siska meninggal dunia. Bibi Siska memberitahukan kepada Siska, ada pesan dari Ayahnya sebelum beliau meninggalkannya. Bahwa Ayahnya menaruhkan uang di ransel yang Siska bawa bekerja. Siska teringat, saat ia merapikan pakaiannya, ayahnya menghampirinya. Dan ternyata Ayah Siska menyimpan uang di ransel Siska dengan diam-diam. Ayahnya tidak ingin memberitahu bahwa setiap berjualan sayuran di sisihkan untuk masa depannya, karena Siska anak yang mandiri, tidak ingin membebani Ayahnya terus menerus. Dan karena Ayahnya tahu, setiap shalat Siska selalu meminta kepada Allah ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.
Â