Anne with an E merupakan serial televisi Kanada yang diadaptasi dari novel klasik tahun 1908, berjudul 'Anne of Green Gables' karya Lucy Maud Montgomery. Serial ini mengambil setting akhir abad 19, bercerita tentang seorang gadis yatim piatu berambut merah bernama Anne Shirley. Ia kemudian diadopsi keluarga Cuthbert di usianya yang ke-13 tahun. Orangtua Anne wafat ketika masih bayi, dan sempat menjadi pembantu sebelum akhirnya tinggal di panti asuhan. Anne digambarkan sebagai sosok yang cerdas, imajinatif, penuh rasa ingin tahu dan bersemangat tinggi, serta sangat cerewet.
Keluarga Cuthbert, merupakan kakak-beradik -- Marilla dan Matthew -- berencana mengadopsi anak laki-laki untuk membantu mereka mengurus Green Gables, ladang milik keluarga di kota Avonlea, Prince Edward Island, Kanada. Namun, bukannya anak laki-laki justru Anne yang datang. Namun, mereka juga tidak sampai hati memulangkan Anne kembali ke panti asuhan.
Selain menceritakan kehidupan Anne di Green Gables, serial ini banyak mengangkat isu-isu sosial pada tahun 1890-an yang masih hangat hingga saat ini. Diantaranya isu anak terlantar dan yatim-piatu, trauma psikologis, kesetaraan gender, rasisme, agama, LGBT, budaya perundungan (bullying) hingga kebebasan berpendapat.Â
Di akhir cerita, serial ini bahkan memasukkan kisah supremasi kulit putih terhadap kulit hitam dan kehidupan suku Indian yang minoritas. Maka tidak heran, serial ini mendapat banyak tanggapan positif dan memenangi Canadian Screen Award for Best Dramatic Series di tahun 2017 dan 2018.
Ditayangkan sebanyak 3 musim, yaitu di tahun 2017, 2018 dan 2019, serial Anne di musim pertama launching pada 19 Maret 2017 di CBC Kanada, dan dirilis oleh Netflix pada 12 Mei 2017.Â
Pada musim pertama, serial ini berisi pengenalan setiap karakter, mulai dari Anne, Marilla, Matthew dan orang-orang terdekatnya. Ada juga nuansa romansa melalui tokoh yang disukai Anne bernama Gilbert, ia juga berkawan karib dengan Diana. Diceritakan, Anne merupakan pernah mengalami perlakuan kasar ketika menjadi pembantu di keluarga Hammon. Ia mendapatkan siksaan dan cercaan, di samping harus mengurus tujuh anak di keluarga itu yang masih kecil-kecil. Ia juga mengalami perundungan selama di panti. Memori buruk tersebut seringkali teringat dalam beberapa kesempatan.
Anne berusaha keras agar ia diterima oleh keluarga Cuthbert. Ia sempat berkonflik dengan Marilla, namun perjuangannya berbuah manis di mana ia resmi dimasukkan dalam daftar anggota keluarga Cuthbert. Ia juga mengalami perundungan oleh penduduk Avonlea. Berkat sikap heroiknya menutup semua jendela ketika api berkobar di salah satu rumah penduduk, ia mulai diterima penduduk Avonlea.Â
Ketika Avonlea sepi karena ditinggal penduduknya ke kota, Anne kembali melakukan aksi heroik. Ia memberikan pertolongan pertama kepada Minnie Day, adik Diana. Musim ini ditutup dengan perjuangan Anne dan Marilla menghadapi krisis keuangan setelah Matthew menjaminkan Green Gables ke bank, tak lama ia terkena serangan jantung. Kondisi ini mengajarkan Anne sebuah kekuatan ikatan cinta dan keluarga. Kegigihan Anne dan Marilla akhirnya berbuah hasil, mereka bisa melunasi sebagian hutang dan mengakhiri masa krisis mereka.
Beberapa Kritik Sosial yang dapat kita temukan dalam serial ini:
- Rentannya Kedudukan Wanita
Sejak awal, serial ini menceritakan tentang rentannya wanita di hampir seluruh aspek. Marilla yang tetap sendiri karena harus mengurusi keluarganya di rumah, Diana yang hampir-hampir tidak bisa melanjutkan studi karena harus menikah, Prissy yang gagal menikah, dan banyak lagi.Â
Misalnya, dalam episode 'The Summit of Desires', Prissy, kawan sekolah Anne bahkan dilecehkan secara seksual oleh tunangannya. Alih-alih menyalahkan sang pelaku, orang-orang di sekitarnya justru menyalahkan si korban. Anne yang marah, tidak tinggal diam dan nekat menulis opini untuk disebarkan ke penduduk Avonle saat ibadah gereja pagi. Dalam opini itu, ia menulis:
"Perempuan itu penting tidak dalam hubungannya dengan pria. Kita semua berhak atas otonomi tubuh, diperlakukan dengan hormat dan bermartabat. Untuk bilang 'berhenti,' dan didengarkan; bukan didorong, dicemooh, dan diberi tahu bahwa pria lebih tahu tentang hak dasar dan keinginan kita daripada kita sendiri. Perempuan tidak menjadi utuh karena laki-laki, tetapi perempuan menjadi utuh sejak terlahir ke dunia."
Opini Anne menimbulkan kegemparan di Avonlea. Sang korban walhasil tetap dinikahkan secara paksa. Menurut mereka, menikah adalah jalan satu-satunya untuk mengembalikan martabat keluarga. Berkat dukungan Anne, Prissy memilih untuk mencampakkan pelaku dan meninggalkan acara pernikahan.
Di episode lain, berjudul 'Struggling Against the Perception of Facts', Diana hampir tidak dapat melanjutkan kuliah. Keluarga Barry telah sepakat bahwa menikah adalah tujuan hidup bagi perempuan. Ketika perempuan menikah artinya ia akan menyerahkan semua urusan hidupnya kepada sang suami. Mendapatkan suami yang layak dan kaya juga berarti meningkatkan martabat keluarga. Tidak ada lagi masa depan, pendidikan dan juga impian.Â
Bagi Anne, perempuan memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan pilihan. Mereka juga punya mimpi yang pantas diperjuangankan. Jadi, sebagai suami dan isteri seharusnya setara dan saling bermitra, bukan sekadar mengobarkan hasrat dan impian perempuan. Dalam salah satu dialognya, Anne berkata:
 "Aku tak akan menyerahkan diri pada seseorang dan menjadi properti indah yang tanpa pendapat atau ambisi. Kami akan setara dan bermitra, bukan hanya suami dan istri. Dan tak seorang pun harus meninggalkan hasratnya. Aku punya nama baru untuk kedua pihak karena aku percaya sebutannya harus sama, teman hidup."
- Kebebasan Berpendapat dan Berimprovisasi
Di berbagai tempat, banyak kita temui pengekangan terhadap kebebasan pendapat. Ada pihak-pihak yang tidak menginginkan perubahan dan berusaha melanggengkan status quo, meskipun perubahan itu baik. Begitu pula yang dialami Anne dan kawan-kawannya. Â Mereka ditekan oleh Dewan Kota karena opini-opini mereka. Anne diminta mundur, klub menulis mereka juga dibatasi pada topik-topik tertentu.Â
 Saat protes, sambil membentangkan spanduk, Anne berorasi: "Kami di sini tidak untuk memprovokasi. Kami di sini untuk didengar. Walau kalian berusaha membungkam suara kami, kami mempunyai pesan untuk kalian. Kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia." Ironisnya, setelah kejadian tersebut sekolah mereka dibakar.
- Rasisme
Sejak serial ini diputar, Anne digambarkan mengalami perundungan dan penyiksaan. Ia sempat disiksa ketika menjadi pembantu, dirundung saat di panti, dirundung di sekolah, penduduk Avonlea dan sebagainya. Namun, mulai dari musim ketiga, hadir beberapa tokoh lain yang mewakili kaum minoritas.Â
Misalnya Bash, orang kulit hitam yang bertemu Gilbert saat bekerja di kapal batu bara. Trauma sejarah perbudakan dan relasi warga kulit hitam dan putih digambarkan secara realistis di serial ini. Orang kulit hitam senantiasa menghadapi rasialisme dan diskriminasi, mereka dilabeli inferior dan hanya bertempat tinggal di daerah kumuh yang jauh dari pemukiman kulit putih.
Tokoh kedua adalah Cole, teman sekelas Anne yang baru. Cole digambarkan sebagai orang yang pendiam dan suka menyendiri, namun memiliki skill melukis dan seni yang luar biasa. Ia mengalami perundungan di sekolah karena orientasinya yang berbeda. Meski begitu, Anne tetap simpatik terhadap Cole. Ia kemudian tinggal bersama Bibi Josephine yang mau menerima keadaannya karena kemiripan masa lalu. Sikap simpatik Anne dan kisah cinta Bibi Josephine dan teman perempuannya, Gertrude, membuat Cole memberanikan diri untuk lebih mencintai diri sendiri terlepas dari perbedaan yang ia alami.
Karakter ketiga diwakili oleh Ka'kwet, seorang penduduk suku asli Indian yang menetap di pinggiran Avonlea. Kehadiran mereka menimbulkan kekhawatiran penduduk setempat. Pemerintah kemudian menerbitkan undang-undang yang mengharuskan mereka dididik di sekolah yang jauh dari tempat yang mereka tinggali. Sayangnya, mereka dididik secara brutal dan dilarang untuk keluar secara bebas.
Film ini menyuarakan hak-hak utama perempuan untuk mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak, serta kebebasan yang setara dengan laki-laki. Hak-hak yang disuarakan ini patut diapresiasi dan diperjuangkan. Akan tetapi, ada beberapa aspek yang perlu diwaspadai dalam pesan-pesan dalam film ini. Serial ini penuh dengan pesan-pesan feminisme yang sedikit banyak bertentangan dengan kepercayaan agama tertentu.
Tidak ada yang salah dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun, konsep-konsep seperti LGBT, konsep tubuh khas feminis, dan lainnya, bertentangan dengan agama apapun, khususnya Islam. Pada akhirnya, fim ini tetap layak ditonton dengan tetap menggunakan kacamata kita dalam melihat sesuatu. Selamat menonton!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H