Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Darah Biru yang Terluka (26)

14 November 2014   01:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:52 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: merdeka.com

[caption id="" align="aligncenter" width="670" caption="Sumber Gambar: merdeka.com"][/caption] Bagian ke Dua Puluh Enam : Dentum Meriam dan Sangkakala Putri Kuning masih duduk merenung, belum mandi ataupun belum ganti baju, masih memakai baju yang dipakai tidur tadi malam. Sebuah ketukan terdengar, aku bukakan pintu. Nini Sedah masuk dan diiringi beberapa dayang yang membawakan baju untuk putri Kuning. “Ini dari Kemayang untukmu putri Kuning.” Nini Sedah memandang Puteri Kuning, kemudian memandang kepadaku. Putri Kuning hanya berdiam diri. Sekilas kulihat baju2 itu amat mewah dan ada beberapa kotak yang terukir indah, penuh dengan permata mutu manikam gemerlap dan aneka warna. “Kita harus tetap menyambutnya, meskipun menolak lamarannya secara halus” Nini Sedah berkata. Beliau mengeluarkan kain sutera halus dan semua pemberian dari Kemayang di bungkus menjajadi dua bungkusan besar. “Kita kembalikan itu semua kepada Kemayang.” kata Nini Sedah, langsung puteri Kuning bangkit memeluk Nini Sedah, mereka tersedu. Terdengar dentuman meriam, terdengar lagi, lagi dan lagi “ Mereka sudah dekat, kita bersiap menyambutnya.” Nini Sedah berkata. Pangeran Biru juga sudah datang, memandang padaku, tersenyum “Jangan sampai tampak oleh mereka, …( berbisik ) … aku tidak rela.” memadangku tajam, aku menunjuk keatas, dia mengangguk, senyumnya merekah. Begitu mereka keluar, cepat kukunci pintu, minum seteguk, duduk, minum lagi seteguk, berpikir sejenak. Kemudian aku mulai naik keatas, ke menara intai, Ada rasa gamang dan merinding sebetulnya, aku melihat kekiri kanan. Semuanya sepi, sunyi saja, tidak tampak ada sesuatu. Aku terus naik keatas. Bunyi meriam di luar masih terdengar berdentum, .. beberapa kali …kemudian berhenti. Aku mengintip keluar, kurang jelas, kupakai mata jauh, dan di laut ada sembilan kapal besar merapat di bandar Galuga Pura. Tiga kapal kerajaan sandar, karena kelihatan megah dan mewah, sedangkan yang tujuh agak menjauh. Yang tujuh aku pastikan kapal perang, banyak meriam di lambung kiri kanannya Tampak kuda-kuda sudah di keluarkan dari geladak, perajurit Kemayang tampak sibuk. Ada kereta kencana yang sigap di pasangi kuda 6 ekor, prajurit juga tampak rapi berbaris naik kuda. Tampak cepat sekali gerak mereka, mengatur sana-sini. Ternyata warga Kemayang agak lain dari Galuga, warna warninya hampir sama, tetapi mereka lebih pendek, gempal, kulitnya seperti punya bercak merah. Kalau jalan seperti agak miring-miring, kenapa ya ? Aku melihat seseorang yang memakai baju indah, juga cenrana megah. Tubuhnya gemuk gempal, itu pasti Tirto Bawono, raja kerajaan Kemayang. Diiring dua orang pria muda, yang memakai hiasan emas juga di kepalanya. Pasti kedua putra kerajaan Kemayang, Tirto Beno dan Tirto Danu. Aku masih mencari Rara Tirto, putri kerajaan, kucari sana-sini, tidak ikut tampaknya. Aneh juga. Terdengar sangkakala, terompet kerajaan berbunyi bersamaan, berasal dari ketiga kapal kerajaan. Genderang juga mulai bertalu ditabuh. Rombongan itu mulai berderap menuju kearah kota raja Galuga Pura. Ada suara kaokan yang sudah kukenal, Gagak Lodra, burung elang kerajaan Kemayang, kelihatan terbang melayang seolah mengawal barisan gemerlap itu.. Membuat beberapa putaran di angkasa, dan hinggap di salah satu menara kerajaan Galuga. Aku memperhatikan seksama. Matanya yang tajam seolah mengawasi perjalanan iring-iringan majikannya. Ternyata ada dua ekor, sama besar dan mereka saling berakrobat di udara dengan pongahnya. Kadang meluncur terjun dan terbang cepat melintasi warga galuga yang menonton ditepi jalan. Penduduk Galuga banyak yang ketakutan dan sembunyi, semburat, menghindar .Mereka menyingkir takut terkena sabetan sayapnya yang perkasa. Kulihat terbang lagi dengan kecepatan tinggi dan hinggap masing di menara yang berbeda. Matanya tetap mengawasi yang sedang berderap di bawah. Entah kenapa, aku tiba-tiba ingin sedikit bercanda dengan mereka, kedua elang itu. Mungkin menarik dan menggelitik. Aku membuka kotak Yogi Putri, aku satukan kedua senjata itu. Aku melihat kedua elang itu terbang lagi, tinggi dan seperti pamer saling serang dengan pongah. Terbang tinggi, berputar dan berputar lagi makin tinggi. Aku ayunkan senjata itu dan tiba-tiba ada petir dahsyat menyambar dengan kilat yang memecah diudara. Kedua elang itu kaget, dan langsung meluncur terbang terjun, menghindar, kelabakan. Ketakutan masuk nyungsep sembunyi di pepohonan yang rimbun di situ, was-was mengintip keatas, kearah tempat bekas petir menyambar . Aku terseyum geli. Kulihat kereta terbuka dan seorang laki-laki amat tua keluar, dia langsung melihat ke udara. Ditangannya ada tongkat hitam untuk tompangan jalan. Dua kuda mendekat, penunggangnya turun, seorang wanita, setua Nini Sedah dan pria setengah baya yang pendek gempal. Aku cepat mencopot dua senjata, kumasukkan kembali dalam kotaknya lagi masing-masing. Yang tua itu pasti Buyut Haruna, yang wanita Nini Rumping dan aku tidak tahu siapa satunya, sepertinya punya ilmu tinggi. Mereka seolah mencari asal dari petir itu, semua melihat ke angkasa, tetapi seperti kehilangan jejak. Buyut Haruna masuk kembali kedalam kereta, kadang masih menengok kiri kanan, juga ke udara. Perjalanan dilanjutkan dengan dikawal Nini Rumping dan jawara yang kelihatan selalu waspada. Masih sambil terus mengawasi ke udara dan kiri kanan dengan penuh curiga. Ketika mereka memasuki daerah dalam keraton, semua turun, berjalan. Aku lihat pangeran Biru dengan beberapa senapati, catur manggala dan jawara Galuga menyambutnya. Bersama mereka berjalan masuk keraton, aku tidak bisa melihatnya lagi. Aku mencari kedua elang itu, mereka sudah ada pada pawangnya . Hinggap pada tangan dua jawara Kemayang yang amat kekar di atas kuda yang tegap. Keduanya seperti melihat-lihat dan memperhatikan keadaan Galuga. Aku juga mengintip keadaan sekitar, kulihat dengan mata-jauhku. Ternyata di setiap sudut dekat istana pasukan Galuga juga sudah bersiap, banyak prajurit serta terlihat beberapa senapati juga ada di antara mereka. Kulihat kedua pawang elang itu berbalik, menuju kearah kapal bersandar. Ada yang keluar dari kapal kerajaan, berkuda dua orang, juga melihat ke angkasa dan kekiridan kanan. Diiring dua pengawal dengan elangnya menuju ke sayap kiri istana. Sekilas aku melihat ada hiasan emas di kepalanya, keluarga istana Kemayang ? Kenapa ke sayap kiri istana ? Mereka mamacu kudanya dengan cepat, seolah takut ketahuan ? Aku terus memperhatikan mereka dengan mata jauhku. Ada tanya dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun