Di sebuah desa kecil yang selalu basah oleh hujan, tinggal seorang anak laki-laki bernama Arya. Umurnya baru sebelas tahun, tapi kesunyian hidupnya membuatnya tampak lebih tua. Ayahnya sudah lama tiada, dan ibunya bekerja keras di kota, pulang hanya saat libur panjang. Arya tumbuh di bawah asuhan neneknya, seorang perempuan tua dengan senyuman yang hangat dan tangan yang selalu sibuk merajut.
Hari itu, hujan mengguyur deras sejak pagi, seperti biasa. Arya duduk di depan jendela kecil di kamarnya, memandang ke luar. Ada sesuatu tentang hujan yang membuatnya merasa tenang sekaligus hampa, seperti ada ruang kosong di dalam dirinya yang tidak pernah terisi.
Suara derit pintu tua terdengar. Nenek Arya masuk membawa secangkir cokelat hangat. “Apa yang kamu pikirkan, Arya?” tanyanya lembut.
Arya mengangkat bahu. “Apa hujan pernah berhenti, Nek?”
Nenek tertawa kecil sambil duduk di kursi dekat tempat tidur. “Tentu saja berhenti. Tapi hujan tidak pernah benar-benar menghilang. Ia akan kembali, membawa cerita baru.”
Arya memandang neneknya. “Cerita apa?”
“Seperti cerita tentang burung kecil yang pernah tinggal di pohon mangga kita dulu,” jawab nenek sambil tersenyum. “Setiap kali hujan datang, ia bernyanyi keras-keras. Orang-orang bilang ia bernyanyi karena bahagia, tapi sebenarnya ia bernyanyi untuk memanggil temannya yang hilang.”
Arya menatap neneknya dengan mata lebar. “Lalu, apa temannya kembali?”
Nenek mengangguk pelan. “Kembali, tapi dalam bentuk yang berbeda. Mungkin bukan burung, tapi angin yang meniup dedaunan, atau sinar matahari yang muncul di sela awan. Temannya selalu ada, hanya saja harus dilihat dengan cara yang berbeda.”
Malam itu, Arya memikirkan cerita neneknya. Hujan masih turun, tapi kini terdengar lebih ramah. Ia mulai membayangkan bahwa setiap tetes hujan membawa pesan dari seseorang yang jauh, seseorang yang mungkin sedang memikirkannya.
Keesokan harinya, Arya memutuskan untuk keluar rumah meski hujan belum berhenti. Dengan mantel hujan tua milik neneknya, ia melangkah ke pekarangan. Ia mendongak, membiarkan hujan membasahi wajahnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hujan bukanlah tanda kesedihan, melainkan jembatan menuju sesuatu yang lebih besar, lebih indah.
Saat itulah ia melihat sesuatu yang tak biasa—seorang gadis kecil, kira-kira seusianya, berdiri di ujung jalan dengan payung biru. Gadis itu melambai. Arya merasa ragu, tapi ia melangkah mendekat.
“Hei!” sapa gadis itu ceria. “Namaku Laila. Aku baru pindah ke sini.”
Arya tersenyum kaku. Ia jarang berbicara dengan orang lain, apalagi anak seusianya. “Aku Arya.”
Laila memiringkan kepala. “Kamu sering keluar saat hujan begini?”
Arya mengangguk pelan. “Hujan itu… teman.”
Laila tertawa kecil. “Kamu aneh. Tapi aku suka hujan juga. Mungkin kita bisa jadi teman?”
Arya menatapnya, merasa hangat di tengah dinginnya hujan. Ia mengangguk, dan senyum kecil muncul di wajahnya.
Hari-hari berikutnya, Arya dan Laila sering bermain bersama di bawah hujan. Mereka membuat perahu kertas, melompati genangan air, dan bahkan mencoba menangkap ikan kecil di selokan. Untuk pertama kalinya, Arya merasakan bagaimana rasanya memiliki teman yang nyata, seseorang yang tidak hanya ada dalam cerita neneknya.
Namun, suatu sore, Laila tidak muncul. Arya menunggu di depan rumah hingga malam tiba. Hujan masih turun, tapi kali ini terasa dingin dan sepi.
Keesokan harinya, nenek memberitahu Arya bahwa keluarga Laila harus pindah lagi karena pekerjaan ayahnya. Arya merasa kehilangan, tapi ia mengingat cerita neneknya: teman tidak pernah benar-benar pergi, mereka hanya kembali dalam bentuk lain.
Malam itu, Arya menatap jendela yang basah oleh hujan. Ia tersenyum kecil sambil menggenggam sebuah payung biru kecil yang Laila tinggalkan untuknya.
“Terima kasih, hujan,” bisiknya pelan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H