Saat itulah ia melihat sesuatu yang tak biasa—seorang gadis kecil, kira-kira seusianya, berdiri di ujung jalan dengan payung biru. Gadis itu melambai. Arya merasa ragu, tapi ia melangkah mendekat.
“Hei!” sapa gadis itu ceria. “Namaku Laila. Aku baru pindah ke sini.”
Arya tersenyum kaku. Ia jarang berbicara dengan orang lain, apalagi anak seusianya. “Aku Arya.”
Laila memiringkan kepala. “Kamu sering keluar saat hujan begini?”
Arya mengangguk pelan. “Hujan itu… teman.”
Laila tertawa kecil. “Kamu aneh. Tapi aku suka hujan juga. Mungkin kita bisa jadi teman?”
Arya menatapnya, merasa hangat di tengah dinginnya hujan. Ia mengangguk, dan senyum kecil muncul di wajahnya.
Hari-hari berikutnya, Arya dan Laila sering bermain bersama di bawah hujan. Mereka membuat perahu kertas, melompati genangan air, dan bahkan mencoba menangkap ikan kecil di selokan. Untuk pertama kalinya, Arya merasakan bagaimana rasanya memiliki teman yang nyata, seseorang yang tidak hanya ada dalam cerita neneknya.
Namun, suatu sore, Laila tidak muncul. Arya menunggu di depan rumah hingga malam tiba. Hujan masih turun, tapi kali ini terasa dingin dan sepi.
Keesokan harinya, nenek memberitahu Arya bahwa keluarga Laila harus pindah lagi karena pekerjaan ayahnya. Arya merasa kehilangan, tapi ia mengingat cerita neneknya: teman tidak pernah benar-benar pergi, mereka hanya kembali dalam bentuk lain.
Malam itu, Arya menatap jendela yang basah oleh hujan. Ia tersenyum kecil sambil menggenggam sebuah payung biru kecil yang Laila tinggalkan untuknya.