Mohon tunggu...
Siti Sonia Aseka
Siti Sonia Aseka Mohon Tunggu... Penulis - Full time mother

Lulusan Pendidikan Bahasa Inggris dan tertarik pada apapun mengenai buku.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Setunggal Tahun

17 Desember 2022   18:12 Diperbarui: 17 Desember 2022   18:16 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kopi di atas meja itu hari ini tak lagi menatapnya terkesan
Kemarin, luka-lukanya berhamburan keluar dari laci memori, mengantarkan kenangan pada telapak yang telah lama hampa

Si lelaki tersenyum, getir
melempar pandang keluar, melewati sepasang bingkai jendela yang melirik kasihan

Telah genap setunggal tahun, namun ia masih sering menggigil kedinginan; oleh rindu, sebab sesal
Waktu yang berusaha ia bunuh nyatanya juga perlahan menghabisi jiwanya

Mimpi buruk jelas masih kerap tandang
meninggalkan jejak berupa air mata
Karena betapapun si lelaki berusaha melupa, ingatan itu masih tertinggal, menyanyikan tembang duka
Mengajaknya merayakan kehilangan sekali lagi di bawah langit Ibukota yang terlampau kelam, sengaja mengeratkan genggaman pada harapan yang dahulu tumbuh subur senantiasa

Perempuan itu masih menjadi satu dan satu-satunya, tempat mimpi si lelaki berlayar di antara lautan rencana
Tetapi karang berupa realita secara sadis menghantam tanpa diminta

Sudah setahun dan ia masih tak beranjak lebih jauh ketimbang tiga patah kata, "Kudoakan kau bahagia."
Nyatanya, ia masih terjebak
Menyesali ke mana botol kaca yang dahulu menyimpan kenangan ia lempar ke laut lepas
Barangkali tenggelam atau malah terdampar di suatu tempat

Pulang bagi si lelaki cuma sekadar tidur setelah melalui kemacetan dan rambu lalu lintas, mendengarkan rentetan klakson sampai muak, kemudian menuntaskan malam demi mengakrabi pagi; berkendara lebih cepat dari manusia manapun agar kepalanya tidak lancang memikirkan kemustahilan

Ia pernah berandai-andai soal rumah
Diisi hangat dan aroma sup menguar menggugah selera
Diselingi tawa anak-anak, berlarian ke sana ke mari, menjemputnya yang tiba di muka pintu setelah lelah bekerja

Ia pernah berandai-andai menemukan perempuan pujaan hatinya, wajah yang selalu membayang itu tersenyum manis di dapur dengan segala hidangan makan malam yang membuat cintanya kian meledak-ledak

Bunga-bunga harapan itu kini gugur bersama kepergian
Ada yang hilang setelah si perempuan mengungkap selamat tinggal dengan tatap yang masih saja sama

Kopi di atas meja itu hari ini tak lagi menatapnya terkesan
Kemarin, luka-lukanya berhamburan keluar dari laci memori, mengantarkan kenangan pada telapak yang telah lama hampa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun