Mohon tunggu...
Siti Silvi Wasilah
Siti Silvi Wasilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mengamati suatu peristiwa dan menyebarkannya kembali dalam bentuk tulisan adalah warisan terbaik yang pernah saya lakukan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketimpangan Gender dan Relasi Kuasa pada Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswi Universitas Sriwijaya Palembang

17 Desember 2022   14:49 Diperbarui: 17 Desember 2022   15:11 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN 

Lingkungan universitas memberikan beragam kenangan terhadap setiap mahasiswa dan mahasiswi sebagai salah satu dari bermacam-macam aktor yang hidup di lingkungan kampus, mereka banyak memperoleh kenangan baik dan tidak luput pula segelintir kenangan buruk salah satunya yakni kekerasan seksual. Kejadian yang tidak mengenakan seperti kekerasan seksual pada saat terjadi di lingkungan kampus kerap kali dilakukan oleh tenaga pendidik yaitu dosen saat bimbingan skripsi. 

Di Antara mahasiswa dan tenaga pendidik seperti dosen terdapat relasi kekuasaan, dosen sebagai aktor yang lebih mempunyai power dengan jabatannya, pengetahuannya dan segenap regulasi yang dimiliki olehnya. Sedangkan pada mahasiswa terdapat kekurangan terhadap power yang dimilikinya dalam relasi kekuasaan tersebut. Hal ini dapat pula dilihat berdasarkan perspektif sosiolog Michel Foucault yang membahas tentang relasi antara kekuasaan dan pengetahuan. Maka kerap kali pihak yang memiliki kekuasaan terkadang menyalahgunakan kekuasaannya. 

Hal ini biasanya dilakukan dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keinginan diri sendiri, mencapai tujuan dengan menguntungkan diri sendiri, dan memenuhi hasrat kepuasan untuk dirinya sendiri dengan merugikan orang lain. Pada beberapa kasus penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di lingkungan universitas dan salah satu bentuknya yakni kekerasan seksual, korban kerap kali enggan dalam mengungkapkan dan melaporkan perbuatan pelaku atas pelecehan yang terjadi pada dirinya. Tidak hanya disebabkan oleh adanya beberapa ketakutan yang terdapat pada korban karena adanya kedudukan dan pengaruh kekuasaan yang lebih tinggi dimiliki oleh pelaku sebagai dosen, namun jika kita amati pelaku kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus umumnya terjadi dan dilakukan oleh dosen laki-laki. 

Dalam ranah studi gender antara laki-laki dan perempuan terdapat berbagai macam perbedaan yang cukup signifikan. Terlepas dari perbedaan biologis kerap kali juga terdapat perbedaan pemahaman masyarakat dalam mengartikan perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Dalam lingkungan masyarakat laki-laki sering kali dianggap sebagai individu yang lebih superior jika dibandingkan dengan perempuan. Anggapan yang melekat pada masyarakat mengenai perbedaan antara perempuan dan laki-laki menyebabkan di antara keduanya terjadi ketimpangan gender. Hal ini membuat terjadi ketidaksetaraan dalam berbagai kondisi seperti kehidupan bermasyarakat, bertingkah laku, serta dalam memperoleh hak. 

Umumnya pihak yang seringkali dirugikan adalah perempuan sebagai kaum yang dianggap inferior. Sehingga perempuan sering dianggap sebagai makhluk yang lemah dan rentan menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual salah satunya yang terjadi pada lingkungan kampus. Penyebab dari terjadinya tindakan kekerasan serta pelecehan seksual yang dialami oleh sebagian besar kaum perempuan dapat terjadi dimanapun hal ini sangat berkaitan erat dengan hak asasi manusia. Perwujudan dari tindakan pelaku kekerasan sering dilakukan sebagai cara untuk memaksakan dan mempertahankan tingkatan kedudukan yang dimiliki seorang perempuan terhadap laki-laki. 

Tindak kejahatan pelaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh aktor di lingkungan universitas, pelaku menganggap bahwa dirinya memiliki segenap kekuasaan dan kedudukan misalnya dari segi gender yang dianggap kedudukannya lebih superior sebagai laki-laki. Tidak hanya itu anggapan yang tumbuh di lingkungan masyarakat juga mempengaruhi stigma nilai dari perbedaan gender yang berlaku di masyarakat. Tindakan kekerasan seksual yang yang terjadi di lingkungan kampus juga melahirkan beberapa faktor yang dapat menjadi alasan terjadinya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh sebagian besar mahasiswi di lingkungan kampus, seperti faktor sosial budaya atau disebabkan oleh adanya perbedaan relasi kekuasaan yang dimiliki oleh kedua belah pihak dan ketimpangan gender, sehingga dapat menyebabkan subordinasi pada perempuan. 

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

  • KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI 

Universitas atau perguruan tinggi seharusnya menjadi tempat yang aman bagi segenap individu atau aktor yang hidup di lingkungan kampus, sehingga dapat memperoleh yang sudah menjadi hak nya misalnya dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran dengan aman dan nyaman. Kenyataannya wilayah tempat berlangsungnya pendidikan kerap kali tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa, hal ini dikarenakan sering bermunculan kasus-kasus berupa penindasan, kekerasan, dan tidak luput pula pelecehan seksual. Dalam lingkungan perguruan tinggi banyak sekali ditemukan kasus berupa pelecehan yang berujung pada kekerasan seksual yang menimpa perempuan. 

Kekerasan seksual merupakan tindak kekerasan yang dilakukan secara langsung dimana tindakannya dilakukan oleh seseorang yang melibatkan orang lain dalam aktivitas seksual yang tidak kehendaki, baik secara verbal, maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang untuk dapat menguasai dan memanipulasi orang lain (Quran, R. F. 2022)2 . Dalam perbuatan kekerasan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang melibatkan orang lain tanpa persetujuan, kehendak dan cenderung terjadi pemaksaan dalam menjalankan aksinya, tentunya tindakan tersebut sangat merugikan pihak yang menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual. 

Dari sisi pelaku kekerasan seksual merasa bahwa dalam dirinya terdapat sebuah kekuasaan yang dimiliki olehnya untuk dapat mendominasi korban yang dituju. Serta terdapat pemahaman bahwa tidak ada yang bisa dilakukan oleh korban. Hal ini disebabkan oleh seorang pelaku kekerasan seksual tersebut memiliki kekuasaan tertentu yang dapat membungkam suara korban untuk dapat mengungkapkan kebenarannya atas perlakukan yang dilakukan oleh pelaku. Begitu pula pada kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi, umumnya terjadi dan dilakukan oleh pengajar atau tenaga pendidik seperti dosen yang sedang melakukan penelitian dan bimbingan skripsi.

Kasus pelecehan seksual di lingkungan universitas umumnya terjadi dikarenakan adanya relasi kekuasaan diantara para dosen dan mahasiswa. Hal ini dilakukan dengan berbagai modus seperti mahasiswa diajak untuk melakukan penelitian di luar kota sehingga dapat mempersempit mobilitas atau pergerakan sang korban untuk kabur. Terdapat pula modus bimbingan skripsi yang kebanyakan dosen sering kali menyalahgunakan kekuasaannya pada saat mahasiswa sedang melakukan bimbingan skripsi dan kerap kali dosen melakukan pelecehan seksual baik secara fisik maupun verbal pada mahasiswa bimbingannya, korban tidak bisa berbuat apa-apa karena kebanyakan dari mereka diancam misalnya dengan cara tidak akan diluluskan, akan mendapat nilai jelek dan yang lebih buruknya lagi melakukan kekerasan. 

Sehingga para korban kebanyakan lebih memilih untuk diam dan bungkam atas tindakan pelecehan yang menimpa dirinya. Salah satu bentuk kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan universitas yakni seperti yang terjadi di Universitas Sriwijaya Palembang. Menurut kesaksian saksi yang merupakan seorang tukang ojek langganan korban, saat saksi menjemput korban setelah bimbingan skripsi di kampus korban terlihat cemas, panik, dan menangis serta dengan tampilan baju berantakan.

 Korban merupakan seorang mahasiswi yang sedang melakukan bimbingan yang sebelumnya sudah mencari-cari dosen pembimbingnya untuk mendapatkan tanda tangan sang dosen, namun dosennya selalu mengulur waktu dan akhirnya ia diberitahukan temannya bahwa dosennya tersebut sedang berada di laboratorium kampus, saat sedang menghampiri dosen pembimbingnya di laboratorium yang sepi itulah pelaku melakukan aksi kekerasan seksualnya pada korban. 

Korban sudah sempat melaporkan pelaku ke pihak kampus melalui organisasi yang ada di kampus seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) untuk mendapatkan perlindungan dan sebagai wadah untuk membantu proses peradilan kekerasan seksual yang dialami olehnya, namun setelah dua minggu berlalu mediasi yang dilakukan oleh pihak kampus dan korban tidak menemukan titik terang. 

Dari pihak universitas, korban sulit sekali untuk mendapatkan keadilan atas perlakuan yang dialami olehnya serta ganjaran yang didapatkan oleh pelaku atas perlakuannya yang tidak bermoral itu juga belum sesuai dengan hukum yang berlaku di kampus. Pada akhirnya korban melaporkan pelaku ke pihak berwajib karena hukuman yang diberikan oleh pihak kampus terhadap pelaku belum sesuai. Pada kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswa di lingkungan kampus dapat terjadi karena adanya faktor lingkungan dimana pelaku pelecehan merasa memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan pelecehan di lingkungan perguruan tinggi (Quran, R. F. 2022). 

Selain itu, hal ini disebabkan pula karena adanya relasi kekuasaan yang dominan dimiliki oleh dosen dibandingkan mahasiswa dan terjadinya ketimpangan gender antara pelaku dan korban sebagai pihak yang lebih superior dan inferior. Sehingga dengan begitu kekerasan seksual akan terus ada jika kita sendiri sebagai individu yang mempunyai hak untuk hidup dengan aman, nyaman, dan bermartabat harus berani dan dapat melindungi diri kita dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual. 

  • KETIMPANGAN GENDER DALAM TINDAK KEKERASAN SEKSUAL  

Manusia atau individu di masyarakat dalam setiap tingkah laku dan perbuatannya pasti didasari oleh berbagai macam kepentingannya masing-masing. Setiap tindakan yang dilakukan oleh individu dijalankan untuk mencapai kepuasan yang terdapat dalam diri individu itu sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan hidup individu terlepas dari kebutuhan primernya yaitu untuk mencukupi hasrat seksualnya. Individu akan bertindak secara rasional dan layaknya binatang sehingga tidak jarang pula tindakan kekerasan seksual terjadi di setiap lingkungan hidup masyarakat tidak luput pula perguruan tinggi. Pada umumnya kekerasan seksual yang terjadi dapat pula disebabkan oleh adanya ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, hal ini dapat disebut sebagai ketimpangan dalam ranah gender. 

Selain perbedaan biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, di antara keduanya juga terdapat pembeda dalam istilah gender. gender dapat pula dimaknai sebagai sebuah hal untuk memahami perbedaan sifat yang ada pada laki-laki dan perempuan, misalnya seperti sifat maskulin, feminism atau tanpa keduanya dan netral. Hal ini didasari oleh istilah gender yang awalnya dipopulerkan oleh Ann Oakley yakni dianggap sebagai alat untuk menganalisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum (Mosse,2002:23).5 Dengan hal ini gender diartikan pula sebagai bentuk perilaku yang tumbuh dari diri seseorang berdasarkan lingkungan sosial budaya masyarakatnya. 

Seiring dengan adanya perbedaan pasti akan muncul juga segala bentuk-bentuk ketimpangan dan salah satunya terjadi pada ketimpangan gender. Pada laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan nilai yang dilahirkan oleh masyarakat, misalnya bahwa terdapat anggapan laki-laki sebagai kaum superior yang lebih berkuasa, bebas dalam mengaktualisasikan diri serta lebih mudah untuk dapat memperoleh haknya, sedangkan pada perempuan berlaku sebaliknya. Kurangnya kekuasaan, hak dan kebebasan yang dimiliki oleh perempuan maka akan menghadirkan sebuah ketimpangan pada segi gender. Hal ini sejalan pula dengan pendapat yang dikemukakan oleh (Ritzer, G & Douglas, J. G. 2003) dalam bukunya, bahwa dengan mengatakan ada ketimpangan gender berarti menyatakan secara situasional wanita kurang berkuasa ketimbang lelaki untuk memenuhi kebutuhan mereka bersama lelaki dalam rangka mengaktualisasikan diri. 

Terbentuknya ketimpangan gender ini juga disebabkan oleh sosialisasi yang diberikan oleh masyarakat secara terus-menerus diperkuat bahkan di konstruksi melalui ajaran di sekolah, institusi agama bahkan negara. Perbedaan yang terbentuk menjadi semakin kuat dan berakhir menjadi kodrat antara laki-laki dan perempuan. Makhluk yang lemah sering dikategorikan sebagai bagian dari kaum perempuan, sedangkan pada laki-laki terdapat dominasi kekuasaan dan kemudahan akses untuk mengaktualisasikan diri mereka, maka sering kali ditemukan penindasan berbasis gender yang dapat disebut pula dengan istilah patriarki. 

Patriarki adalah struktur kekuasaan primer yang dilestarikan dengan maksud yang disengaja (Ritzer, G & Douglas, J. G. 2003). Dalam pemaknaan patriarki terdapat kekuasaan yang dominan dimiliki oleh laki-laki dan tidak sedikit banyak dari lelaki yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk dapat memenuhi kepentingan pribadinya, serta hal ini juga dibarengi oleh adanya anggapan dalam segi gender bahwa perempuan itu lemah, sehingga hal tersebut menjadi faktor yang mendukung bagi kaum yang memiliki kekuasaan untuk dapat menyalahgunakan kekuasaannya misalnya dapat berupa penindasan, kekerasan dan tidak luput pula kekerasan seksual. 

Hidup di masyarakat sebagai perempuan bukanlah suatu hal yang mudah. Pemaknaan mengenai nilai dan kodrat perempuan yang terus menerus dikonstruksi oleh masyarakat dapat melahirkan stereotip yang negatif. Apabila perempuan ingin membuat perubahan atau mendekonstruktif nilai-nilai yang bersifat mutlak pada dirinya, tidak semua masyarakat dapat menerima hal itu dikarenakan ketidaksesuaian dengan ketentuan nilai yang melekat pada budaya yang mereka punya. Hal ini pula yang membuat ruang lingkup perempuan untuk bergerak masih dipersulit, perempuan terus-menerus dianggap makhluk yang lemah tetapi masyarakat itu sendiri yang enggan membuka jalan kepada perempuan untuk dapat lebih membuka suara karena ketetapan nilai budaya yang sudah mereka punya di masyarakat. 

Maka tidak mengherankan pula bahwa masih banyak terjadi kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Dalam buku Social Theory, The Multicultural and Classic Readings yang dituliskan oleh (Lemert, C. 2004) seperti yang dikatakan oleh Nandita Gandhi and Nandita Shah (1992) berdasarkan penelitiannya mengenai kekerasan di lingkup domestik pada perempuan ia menemukan permasalahan bahwa, hidup sebagai perempuan berarti hidup dalam ketakutan akan penganiayaan, pemerkosaan, dan stigma sosial yang ada di hampir seluruh tindakan yang dilakukan sebagai perempuan. 

Kehidupan sebagai seorang perempuan dapat terus dihantui oleh ketakutan jika tidak memberanikan diri untuk lebih bersuara. Stigma yang dikonstruksi oleh masyarakat pada mengenai perbedaan perempuan dan laki-laki yang membuat mereka lebih mendapatkan kekuasaannya dengan skala yang lebih dominan. Meskipun demikian segala sesuatu termasuk gender yang memiliki kekuasaan dominan tidak dibenarkan jika menyalahgunakannya dengan pihak yang minim akan hak bahkan kekuasaan. 

  • RELASI KEKUASAAN DALAM LINGKUP KEKERASAN SEKSUAL

Lingkungan masyarakat sebagaimana tempat berbagai individu saling berinteraksi dan memperoleh kepentingannya masing-masing, berbagai upaya akan dilakukan agar proses pemenuhannya dapat tercapai salah satunya dengan jalan kekerasan. Tindakan kekerasan dalam artian konvensionalnya mengandung makna bahwa apabila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga hubungan jasmani dan mental-psikologis berada dibawah realisasi potensialnya (Windhu, 1992: 64).  Tindakan kekerasan dapat terjadi dimana saja tidak mengenal tempat dan waktu, demikian pula bentuknya dapat berupa kekerasan fisik, verbal, maupun meliputi kekerasan yang terdapat dalam kasus pelecehan seksual. 

Dimana ada keinginan disitu pula terdapat tujuan hingga pada akhirnya secara tidak sadar otak kita merancang berbagai macam skenario atau motif untuk dapat memenuhi kepentingan yang akan dituju, hal ini dapat diperlancar pula jika seseorang mempunyai sebuah hal yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang salah satunya adalah kekuasaan. Dalam kajian ilmu sosiologi terdapat beberapa tokoh yang mengembangkan konsep kekuasaan, yakni seperti Michel Foucault dan Pierre Bourdieu.

Pemahaman mengenai kedua tokoh tersebut jelaslah berbeda, pada Bourdieu ia mengartikan kekuasaan sebagai kekuasaan simbolik, bahwa semua simbol dan praktik budaya, dari selera artistik, gaya berpakaian dan kebiasaan makan hingga agama, sains, dan filsafat bahkan bahasa itu sendiri dapat mewujudkan minat dan fungsi untuk meningkatkan perbedaan sosial (Scott, J. 2006) .10 Pemahaman kekuasaan yang dijelaskan oleh bourdieu bahwa dalam kekuasaan terjadi dalam seluruh kehidupan sosial individu, bentuk kekuasaan akan berhasil dilaksanakan jika dipengaruhi oleh legitimasi, kekerasan simbolik dan modal simbolik yang dibentuk oleh peran aktif individu di masyarakat dalam membentuk simbol-simbol sebagai sumber daya yang superior , sehingga struktur kekuasaan dapat terpelihara.

Berbeda dengan Bourdieu yang menitikberatkan konsep kekuasaannya pada modal dan kekerasan simbolik yang memerlukan peran aktif individu, Michel Foucault memaknai konsep kekuasaannya bahwa kekuasaan itu ada di mana-mana dan dimiliki oleh siapapun individu atau sekecil apapun suatu kelompok di masyarakat, termasuk perempuan, pasti memiliki kekuasaan (Rajab, B. 2009).11 Dilihat dari perspektif Foucault bahwa kekuasaan dapat terbentuk dimana saja serta dimiliki oleh siapapun. 

Menurut Foucault setiap individu di masyarakat termasuk kedalam bagian dari mekanisme jalannya kekuasaan. Masalahnya tidak semua individu di masyarakat menyadari bahwa mereka sebagai aktor di masyarakat memiliki peran dalam peta kekuasaan. Jika individu menyadarinya, kesadaran ini akan membentuk kesanggupan untuk menggunakan kekuasaan secara baik atau demi kepentingan orang lain. Namun kenyataannya lebih dominan terjadi ketidaksadaran yang, hal ini akan melahirkan berbagai bentuk tindakan dan seperti sistem yang menindas serta menyeragamkan. 

Foucault memfokuskan arti kekuasaan menurutnya terhadap dua hal, yakni kekuasaan dan pengetahuan yang terdapat relasi-relasi kekuasaan di dalamnya untuk menguasai, mengontrol dan menundukan tubuh manusia-manusia. Pengetahuan yang dimaksudnya adalah pengetahuan dan kekuasaan memiliki hubungan yang timbal balik, pada saat penyelenggara kekuasaan menciptakan pengetahuan, maka pengetahuan akan menimbulkan efek kekuasaan. 12 Pengetahuan yang dimaksud dalam relasi kekuasaan Foucault bahwa dalam sistem kekuasaan yang beroperasi melalui pengetahuan, ilmu dan lembaga-lembaga di masyarakat. Hal ini dapat bersifat dapat dinormalisasikan susunan-susunan dari yang dihasilkan oleh pengetahuan kepada masyarakat. 

Berpandangan dari pemikiran Foucault mengenai kekuasaan dengan kasus kekerasan seksual yang terus terjadi hingga ke dunia modern saat ini, Bahwa kekerasan yang terjadi di berbagai lapisan kehidupan sosial masyarakat saat ini dapat terus melanggengkan bentuknya karena adanya pula dominasi kekuasaan di antara pelaku dan korban. Individu sebagai aktor di lingkungan masyarakat memperoleh pengetahuan bukan semata-mata untuk kekayaan intelektual, namun dilakukan pula untuk dapat menciptakan kekuasaannya melalui regulasi-regulasi yang dibenarkan oleh masyarakat lewat pengetahuan. Dalam fenomena kekerasan seksual yang terjadi misalnya di lingkungan perguruan tinggi, 

Dosen sebagai Subjek memperoleh kekuasaannya dengan jalan pengetahuan yang mereka punya, hal ini membuat ia menjadi pihak yang dominan akan kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan tersebut beroperasi dan meluas ke seluruh jaringan kesadaran masyarakat dan penyelenggara pengetahuan memproduksinya sebagai basis kekuasaan. Maka dari itu mengingat kejadian kekerasan seksual yang terjadi antara dosen dan mahasiswa, pelaku merasa memiliki kekuasaan yang dominan dikarenakan konstruksinya berdasarkan pengetahuan yang ia miliki, hal ini diwujudkan dengan wewenang dan berbagai regulasi yang ia buat, sehingga dalam kasus kekerasan seksual dosen sebagai pelaku menyalahgunakan kekuasaan nya dan merasa bahwa korban akan tunduk karena kekuasaan yang dimilikinya berdasarkan basis pengetahuan yang diproduksi untuk mempertahankan kekuasaanya. 

  • KEKERASAN SEKSUAL DALAM PERSPEKTIF TEORI KEKUASAAN MICHEL FOUCAULT

Kekerasan seksual yang sering terjadi di kalangan perempuan dapat membuat perempuan dapat memiliki pengalaman yang traumatis secara fisik dan mental. Tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dapat berupa zina, perkosaan, tindakan pencabulan yang seperti meraba, menggesek alat kelamin pelaku kepada korban. Tindakan ini bisa dilakukan dimana saja dan terjadi pada waktu yang tidak diperkirakan, misalnya di tempat sepi saat perempuan jalan sendiri di tengah kegelapan malam, kadang juga di tempat ramai seperti angkutan umum dan tidak menutup kemungkinan juga kegiatan ini terjadi di lingkungan yang tidak kita sadari yakni lingkungan perguruan tinggi.

Kebanyakan orang pasti tidak menyangka bahwa lembaga pendidikan yang terhormat seperti layaknya perguruan tinggi yang terdapat orang-orang yang berpendidikan dan taat hukum terjadi tindakan yang tidak senonoh seperti layaknya tindakan kekerasan seksual. Tindakan pelecehan seksual yang banyak terjadi biasanya dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pemahaman korban mengenai tindakan pelecehan seksual dan ketidaktahuan mengenai tindakan yang harus dilakukan selanjutnya jika mengalami kekerasan seksual dimana korban harus segera melaporkan perbuatan kejinya serta tidak membungkamkan diri. 

Penyebab dari kebanyakan korban melakukan pembungkaman atas perlakukan pelaku dapat disebabkan oleh ancaman yang diberikan oleh pelaku terhadap korban. Hal ini dapat membuat dominasi yang terbentuk pada pihak pelaku lebih dominan, tidak hanya itu kekuasaan yang unggul ini juga dapat disebabkan oleh aspek-aspek lain yang dimiliki oleh korban dalam mempertahankan kekuasaannya. 

Dari kemungkinan yang dijelaskan diatas mengenai kekuasaan yang ada pada pelaku kekerasan seksual, jika kita melihat dari sudut pandang Foucault yang mengkaji mengenai relasi kekuasaan dan pengetahuan bahwa kekuasaan itu dibentuk dengan pengetahuan dan begitupun pengetahuan menciptakan kekuasaan agar tetap berjaya. Apabila kita mengaitkan tindakan kekuasaan seksual dengan relasi kekuasaan yang terdapat didalamnya, misalnya berdasarkan contoh kasus yang disebutkan diatas yakni mengenai kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi antara dosen dan mahasiswi yang sedang bimbingan. Pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa dosen tersebut memiliki kekuasaan yang cukup besar antara relasi kekuasaan yang terjadi dosen dan mahasiswa. Diantara terdapat perbedaan kepentingan sehingga dari perbedaan kepentingan itulah terjadi dominasi kekuasaan yang dominan di satu pihak. 

Pihak mahasiswi memiliki kepentingan untuk mendapatkan tanda tangan mengenai urusan bimbingan skripsi, namun dosen selalu melakukan tindakan yang semana-mena terhadap mahasiswanya tersebut misalnya dengan melakukan tindakan kekerasan seksual. dalam perspektif Foucault kekuasaan yang terjadi dari dosen tersebut karena pengetahuan yang dimiliki oleh dosen lebih unggul yang akhirnya melahirkan regulasi-regulasi yang dapat membuat mahasiswa tunduk dengan sang dosen. 

Pada pembahasan sebelumnya dibahas pula mengenai keterkaitan stereotip gender di masyarakat dengan terjadinya kasus kekerasan seksual. Posisi perempuan  dalam lingkungan masyarakat yang memiliki stereotip budaya patriarki. Dalam budaya tersebut perempuan akan cenderung berperilaku dengan sebagaimana label yang sudah diberikan atas dirinya dari laki-laki. 13Hal yang dijelaskan sebelumnya tersebut jika dilihat dari perspektif Foucault bahwa itu bagian dari pengetahuan yang dikonstruksi oleh masyarakat dan diterima pula oleh masyarakat tersebut. Relasinya dengan kekuasaan, artinya dalam bidang kekuasaan laki-laki memimpin dan cukup punya kekuasaan yang mutlak sebagai seseorang yang berkuasa. Maka dengan ini penjelasan mengani konsep yang dikembangan oleh foucault mengenai relasi kekuasaan dan pengetahuan dapat dikaji pula jika dengan melihat fenomena kekerasan seksual yang terjadi di kehidupan masyarakat. 

KESIMPULAN 

Tindakan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan universitas yang dikaji dalam penulisan ini melihat bahwa adanya relasi kekuasaan yang terbentuk lebih dominan pada salah satu sisi, yakni salah satunya pelaku. Dalam studi foucault mengenai kekuasaan dan pengetahuan, pengetahuan membentuk kekuasaan dan kekuasaan mempertahankan kedudukannya dengan pengetahuan. 

Dalam ranah ketimpangan gender pula yang terjadi antara pelaku dan korban, laki-laki memiliki kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan oleh stereotype yang sudah menghegemoni di lingkungan masyarakat, sehingga kadang kala sang pemilik kekuasaan tersebut menyalahgunakan kekuasaannya dengan melakukan tindakan yang tidak beradab misalnya untuk memenuhi hasrat seksualnya maka dari itu dapat terjadi kekerasan seksual. 

Meskipun dalam penulisan ini menitikberatkan korban dalam pelaku kekerasan seksual adalah perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk laki-laki mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal kekerasan seksual. Maka dari itu harapan bagi siapapun korbannya kita harus tetap mendengarkan suaranya, kisahnya dan juga deritanya. Biarkan hukum untuk tetap tegak dalam menghukum pelaku dan harapan kedepannya tindakan kekerasan seksual bisa dihentikan dan tidak lagi terdapat korban yang takut akan kekuasaan yang dimiliki pelaku untuk menyuarakan suaranya.

Sumber :

  • Aji YK Putra, "Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswi Unsri Oleh Dosen Saat Bimbingan Skripsi" (Kompas, 02 Desember 2021).
  • Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern, ( Yogyakarta: Ar- Ruzz Media, 2008) 
  • George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, alih bahasa Alimandan, (Jakarta: Kencana, 2003). Hal: 420-428
  • George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, alih bahasa Alimandan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) 
  • John Scott (ed.), Fifty Key Sociologists: The Contemporary Theorists (Routledge Key Guides), (London and New York: Routledge, 2006). Hal : 42  
  • Mosse, 2002, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal:23 
  • Quran, R. F. (2022). Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 8(15), Hal:480-481
  •  Rajab, B. (2009). Perempuan dalam Modernisme dan Postmodernisme. Sosiohumaniora, 11(3), Hal: 10  
  • Syafitri, N. W. (2021). RELASI KUASA PENGETAHUAN DALAM PELECEHAN SEKSUAL DI WILAYAH PELABUHAN SURABAYA. Paradigma, 10(1). Hal:150-151
  • Windhu. (1992). Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Galtung. Kanisius.Hal: 64 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun