Mohon tunggu...
Siti Sayidah
Siti Sayidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Journalist Student

Hello, I'm trying to become a better writer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Antara Personal Branding dan Kecendrungan Flexing di Kalangan Mahasiswa

3 Juli 2024   13:16 Diperbarui: 3 Juli 2024   13:23 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels/ George Milton

Menjadi mahasiswa di era digital saat ini tidak hanya dituntut untuk memiliki nilai akademis yang memuaskan atau meraih prestasi dibidang non akademik yang gemilang. Faktanya, saat hendak melamar pekerjaan banyak perusahaan kini melakukan pengecekan menyeluruh terhadap media sosial calon karyawan mereka, termasuk para freshgraduate yang baru saja menyelesaikan studinya. LinkedIn, Instagram, bahkan Facebook menjadi "CV digital" yang tak kalah pentingnya dari transkrip nilai.

Fenomena ini mendorong banyak mahasiswa untuk berlomba-lomba membangun personal branding di media sosial. Namun, dalam upaya menciptakan citra diri yang "marketable", tidak jarang mahasiswa terjebak dalam budaya flexing atau memamerkan gaya hidup dan pencapaian yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan.

Apasih Personal Branding itu?

Personal branding adalah cara seseorang mempromosikan dan membangun citra dirinya sendiri sebagai brand. Proses ini melibatkan penggunaan strategi pemasaran untuk mengembangkan dan mempertahankan identitas yang unik serta positif dalam benak orang lain.

Tujuan personal branding adalah untuk membangun kesan positif seseorang terhadap diri sendiri, serta meningkatkan kredibilitas, koneksi, dan peluang di masa depan. Dalam dunia profesional, personal branding menentukan posisi seseorang di tempat kerja, seberapa berpengaruh suaranya untuk didengar, dan masih banyak lagi.

Apasih Flexing Itu?

Sementara itu, Menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah tindakan untuk menunjukkan sesuatu yang kalian miliki atau raih, akan tetapi dengan cara yang dianggap orang lain tak menyenangkan. Lalu, menurut kamus Merriam Webster, flexing adalah tindakan memamerkan sesuatu yang dimiliki secara pribadi dengan cara lebih mencolok.

Kedua definisi ini menyoroti cara pamer yang berlebihan dan dramatis, di mana individu menampilkan kekayaan atau pencapaian mereka secara mencolok untuk menarik perhatian dan mengesankan orang lain.

Istilah flexing sendiri pertama kali digunakan pada tahun 1899 oleh Thorstein Veblen di bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions.

Menurut sebuah survei yang dikatakan oleh Apollo Technical 70% manajer mengatakan mereka berhasil merekrut kandidat melalui media sosial. Hal ini sangat masuk akal karena di sanalah para kandidat milenial kini ditemukan.

Kemudian, Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2020 terhadap 1.005 pembuat keputusan perekrutan oleh jajak pendapat Harris menemukan bahwa  67% pemberi kerja menggunakan situs media sosial untuk meneliti calon kandidat pekerjaan dan 70% pengusaha dalam survei yang sama juga percaya bahwa setiap perusahaan harus menyaring profil media sosial kandidat potensial saat mempertimbangkan mereka untuk peluang kerja.

Hal ini membuat mahasiswa semakin sadar akan pentingnya membangun personal branding yang kuat dan positif di media sosial. Sayangnya, usaha untuk membangun personal branding ini sering kali menjerumuskan mahasiswa ke dalam budaya flexing, di mana mereka memamerkan hal-hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan hanya untuk terlihat lebih baik di mata orang lain.

Ciri-ciri mahasiswa yang bersembunyi di balik branding, padahal flexing

Lalu, bagaimana kita bisa membedakan antara upaya membangun personal branding yang sehat dengan perilaku flexing yang berlebihan? Berikut adalah ciri-ciri mahasiswa yang sebenarnya bersembunyi di balik branding, padahal sebenarnya flexing:

  • Tidak adanya ke konsistenan antara konten di media sosial dan Realitas kehidupan 

Mahasiswa yang terjebak dalam flexing sering kali mengunggah konten yang jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya, mereka mungkin memposting foto-foto di restoran mewah atau tempat liburan eksotis, padahal sebenarnya mereka masih bergantung pada uang saku dari orang tua. Inkonsistensi ini bukan hanya membuat personal branding menjadi tidak autentik, tetapi juga dapat merusak kredibilitas jangka panjang.

  • Kebanyakan Memposting Konten Tidak penting

Mahasiswa yang benar-benar membangun personal branding akan memiliki konten yang mencerminkan keahlian, minat, atau passion mereka. Sebaliknya, mereka yang hanya flexing cenderung memiliki feed yang dangkal, hanya berisi foto-foto gaya hidup tanpa memberikan nilai tambah bagi followers mereka.

  • Obsesi Berlebihan terhadap respon yang diberikan Pengguna Media Sosial lain

Fokus yang terlalu besar pada jumlah likes, followers, atau engagement rate bisa menjadi tanda bahwa seorang mahasiswa lebih mementingkan popularitas. Mereka mungkin rela melakukan apa saja, termasuk membeli followers atau menggunakan taktik clickbait, demi meningkatkan angka-angka tersebut. Padahal, personal branding yang efektif seharusnya lebih menekankan pada kualitas konten dan interaksi yang bermakna.

  • Menampilkan Kehidupan Akademik yang Ideal

Mahasiswa yang flexing mungkin juga melebih-lebihkan prestasi akademik mereka. Mereka sering kali memposting tentang nilai sempurna, penghargaan, atau proyek yang sukses, padahal kenyataannya tidak seindah yang ditampilkan. Mereka berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah mahasiswa yang sangat berprestasi dan kompeten. 

Penting bagi kita untuk memahami bahwa membangun personal branding bukanlah tentang menciptakan persona palsu atau bergaya hidup di luar kemampuan kita. Personal branding yang efektif dan berkelanjutan harus didasarkan pada keaslian, dan Kemampuan yang sesungguhnya dimiliki.

Mahasiswa perlu menyadari bahwa perusahaan dan recruiter saat ini semakin cerdas dalam mengevaluasi calon karyawan. Mereka tidak hanya melihat "apa" yang di-posting, tetapi juga "bagaimana" seseorang berinteraksi di dunia yang sebenarnya.

Mari kita ingat bahwa tujuan utama dari personal branding bukanlah untuk mengesankan orang lain, tetapi untuk mengekspresikan potensi terbaik diri kita. Dengan fokus pada pengembangan diri yang positif dan berbagi pengetahuan atau keterampilan yang bermanfaat, kita dapat membangun personal branding yang tidak hanya menarik bagi perusahaan, tetapi juga membawa dampak positif bagi masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun