Hal ini membuat mahasiswa semakin sadar akan pentingnya membangun personal branding yang kuat dan positif di media sosial. Sayangnya, usaha untuk membangun personal branding ini sering kali menjerumuskan mahasiswa ke dalam budaya flexing, di mana mereka memamerkan hal-hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan hanya untuk terlihat lebih baik di mata orang lain.
Ciri-ciri mahasiswa yang bersembunyi di balik branding, padahal flexing
Lalu, bagaimana kita bisa membedakan antara upaya membangun personal branding yang sehat dengan perilaku flexing yang berlebihan? Berikut adalah ciri-ciri mahasiswa yang sebenarnya bersembunyi di balik branding, padahal sebenarnya flexing:
- Tidak adanya ke konsistenan antara konten di media sosial dan Realitas kehidupanÂ
Mahasiswa yang terjebak dalam flexing sering kali mengunggah konten yang jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya, mereka mungkin memposting foto-foto di restoran mewah atau tempat liburan eksotis, padahal sebenarnya mereka masih bergantung pada uang saku dari orang tua. Inkonsistensi ini bukan hanya membuat personal branding menjadi tidak autentik, tetapi juga dapat merusak kredibilitas jangka panjang.
- Kebanyakan Memposting Konten Tidak penting
Mahasiswa yang benar-benar membangun personal branding akan memiliki konten yang mencerminkan keahlian, minat, atau passion mereka. Sebaliknya, mereka yang hanya flexing cenderung memiliki feed yang dangkal, hanya berisi foto-foto gaya hidup tanpa memberikan nilai tambah bagi followers mereka.
- Obsesi Berlebihan terhadap respon yang diberikan Pengguna Media Sosial lain
Fokus yang terlalu besar pada jumlah likes, followers, atau engagement rate bisa menjadi tanda bahwa seorang mahasiswa lebih mementingkan popularitas. Mereka mungkin rela melakukan apa saja, termasuk membeli followers atau menggunakan taktik clickbait, demi meningkatkan angka-angka tersebut. Padahal, personal branding yang efektif seharusnya lebih menekankan pada kualitas konten dan interaksi yang bermakna.
- Menampilkan Kehidupan Akademik yang Ideal
Mahasiswa yang flexing mungkin juga melebih-lebihkan prestasi akademik mereka. Mereka sering kali memposting tentang nilai sempurna, penghargaan, atau proyek yang sukses, padahal kenyataannya tidak seindah yang ditampilkan. Mereka berusaha menunjukkan bahwa mereka adalah mahasiswa yang sangat berprestasi dan kompeten.Â
Penting bagi kita untuk memahami bahwa membangun personal branding bukanlah tentang menciptakan persona palsu atau bergaya hidup di luar kemampuan kita. Personal branding yang efektif dan berkelanjutan harus didasarkan pada keaslian, dan Kemampuan yang sesungguhnya dimiliki.
Mahasiswa perlu menyadari bahwa perusahaan dan recruiter saat ini semakin cerdas dalam mengevaluasi calon karyawan. Mereka tidak hanya melihat "apa" yang di-posting, tetapi juga "bagaimana" seseorang berinteraksi di dunia yang sebenarnya.
Mari kita ingat bahwa tujuan utama dari personal branding bukanlah untuk mengesankan orang lain, tetapi untuk mengekspresikan potensi terbaik diri kita. Dengan fokus pada pengembangan diri yang positif dan berbagi pengetahuan atau keterampilan yang bermanfaat, kita dapat membangun personal branding yang tidak hanya menarik bagi perusahaan, tetapi juga membawa dampak positif bagi masyarakat luas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H