Mohon tunggu...
Siti Sanisah Rasyid
Siti Sanisah Rasyid Mohon Tunggu... Guru - Penulis jalanan

Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Power and Authority di Lembaga Pendidikan

21 Desember 2022   09:29 Diperbarui: 21 Desember 2022   09:53 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mataram - Sudah selayaknya jika semua organisasi sosial senantiasa mengontrol anggotanya. Kontrol merupakan hal fundamental, terlebih pada organisasi formal. Hal tersebut merupakan inti organisasi yang bermuara pada power (kekuasaan) yang dipegang administrator (pemimpin). 

Dalam prosesnya, konsep kepemimpinan dan kekuasaan telah melahirkan minat yang bersifat hidup, tidak jarang juga menimbulkan kekaburan. Ketika berbicara kekuasaan, pembahasan tidak terlepas dari frase kepemimpinan atau pemimpin. Konsep ini bertalian satu sama lain, dengan kekuasaan, pemimpin memperoleh alat untuk mempengaruhi pengikutnya. Idealnya, pemimpin tidak hanya menilai perilakunya sendiri agar dapat mempengaruhi orang lain, tetapi mereka harus meniti proses dan cara menggunakan kekuasaan.

Definisi klasik kekuasaan adalah kemampuan menyuruh orang lain melakukan apa yang ingin kita suruh untuk mereka lakukan. Max Weber merumuskan kekuasaan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan menghilangkan halangan. Sementara Waltred Nord merumuskan kekuasaan sebagai suatu kemampuan dalam mempengaruhi aliran energi dan dana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya. Blerstedt mengatakan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan mempergunakan kekuatan. Sedangkan Rogers menyatakan kekuasan sebagai suatu potensi dan pengaruh.

Asumsinya, kekuasaan merupakan suatu hal yang dapat atau tidak dapat untuk dipergunakan. Penggunaan kekuasaan senantiasa mengakibatkan perubahan baik secara individual maupun kelompok. Perubahan inilah yang dirumuskan Rogers sebagai influence atau authority dengan ruang lingkup yang lebih sempit dari kekuasaan. Weber mendefinisikan otoritas sebagai perintah yang lebih spesifik dari sumber perintah yang akan ditaati oleh orang yang diperintah.

Kepemimpinan identik dengan usaha untuk mempengaruhi, kekuasaan merupakan potensi pengaruh dari pemimpin tersebut. Ini merupakan sumber yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak untuk mengajak dan mempengaruhi orang lain. Sedangkan otoritas dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki pemimpin. Artinya otoritas adalah kekuasaan yang disahkan oleh suatu peranan formal seseorang dalam suatu organisasi.

Organisasi dibentuk dan dikontrol oleh otoritas legitimasi yang berperan dalam menentukan tujuan, membentuk struktur, menyewa dan mengatur pekerja dan mengontrol aktivitas keseluruhan dari organisasi. Singkatnya otoritas legitimasi merupakan pengontrol dan kekuasaan legitimasi pada sebuah jabatan merupakan bentuk lain dari pesaing kekuasaan dalam organisasi.

Lembaga pendidikan merupakan organisasi formal yang padanya juga melekat berbagai konsep dan manifestasi dari kekuasaan dan otoritas. Dalam dunia pendidikan otoritas merupakan bagian integral dari kehidupan di lembaga pendidikan, dasar dari hubungan antara peserta didik-pendidik, pendidik-kepala sekolah (bawahan-atasan) adalah otoritas. Hal yang patut disayangkan adalah latahnya orang yang menganggap bahwa otoritas itu sama dengan otoriter. Oleh karena itu, mendefinisikan konsep otoritas secara teoritikal dan jelas penting dilakukan.

Bertolak belakang dengan kepercayaan umum, penerapan otoritas pada lembaga pendidikan tidak termasuk pemaksaan. Herbert A. Simon mengusulkan perbedaan otoritas dengan kekuasaan, sebagai kondisi bawahan yang berada dalam kepatuhan untuk memilah alternatif dan kritreria formal sebagai dasar pilihannya dalam menerima perintah. Karena itu otoritas di lembaga pendidikan merupakan hal yang cukup krusial pada hubungan atasan-bawahan. Kritreria formal meliputi kesediaan bawahan untuk menurut dan suspensi dari bawahan untuk membuat keputusan sesuai arahan.

Argumentasi yang disampaikan Peter Blau & Richard Scott layak dipertimbangkan bahwa otoritas adalah kesediaan bawahan untuk mengabaikan kriteria mereka sendiri dalam membuat keputusan dan menuruti dengan patuh arahan dari atasan. Kesanggupan ini akibat dari kendala sosial yang umumnya merupakan produk dari norma kolektivitas sosial (terutama antara pendidik dengan peserta didik) dan tidak pada kekuasaan (pendidik dan kepala sekolah).

Perlu diingat bahwa kendala sosial seperti ini bukan merupakan tipe dari pemaksaan sosial. Muaranya, otoritas pada lembaga pendidikan dapat dilihat dari tiga kriteria utama yaitu kesediaan bawahan untuk menurut, suspensi bawahan untuk membuat keputusan sesuai arahan dan hubungan kekuasaan dilegitimasi oleh norma kelompok.

Dijelaskan Blau & Scott bahwa otoritas memiliki sumber legitimasi secara formal, fungsional, dan informal. Formal authority adalah otoritas dari organisasi dan sah diterapkan pada jabatan, aturan, dan regulasi. Setiap pegawai pada suatu organisasi akan menerima otoritas secara langsung, karena mereka setuju pada aturan yang ada misalnya standar waktu atau bersedia menerima arahan dari atasan. Bagaimanapun juga atasan memiliki hak untuk memerintah dan bawahan berkewajiban mentaati. Implementasi otoritas ini di lembaga pendidikan harus didasarkan pada pemikiran untuk membangun persetujuan antara atasan dan bawahan.

Fungsional authority, memiliki berbagai sumber termasuk otoritas kompetensi dan otoritas individu. Meski Weber menganggap otoritas kompetensi sebagai bentuk legal rasiional dari sebuah birokrasi, tapi kompetensi tidak selalu terbatas pada posisi. Sementara informal authority, bersumber dari kontrol legitimasi yang diambil dari sikap pribadi (perangkat individu).

Berbeda dengan pandangan tersebut, Max Weber menyajikan ulasan tentang sumber otoritas secara global yaitu charismatic, traditional, and legal authority. Charismatic authority bersandar pada pengabdian individual, dimana pimpinan harus bijak, dapat dipercaya dan  patut dicontoh, memiliki karakteristik dan kualitas personal seorang pemimpin. Ironisnya, otoritas ini tidak jarang menjadi non rasional  dan emosional karena bersumber (terutama) dari daya tarik pribadi pemimpin. Traditional authority bermuara pada otoritas masa lampau. Di lembaga pendidikan misalnya, murid menerima posisi/jabatan dari guru karena arang tua mereka melakukan hal yang sama pada masa lampau. Legal authority bersumber dari penetapan hukum yang dapat dirubah secara formal melalui prosedur yang benar.

Meskipun otoritas menunjukkan legitimasi, tidak semua kekuasaan merupakan sebuah legitimasi, individu, grup ataupun organisasi sosial yang ada dapat menunjukkan kekuasaan. Misalnya, sebuah departemen atau grup yang mampu menunjukkan bahwa dia mempunyai kemampuan mempengaruhi sikap individu atau kelompok lain, mungkin dalam hal anggaran atau kepegawaian. Demikian juga dengan individu yang terindikasi sukses mempengaruhi orang lain untuk menuruti kehendaknya seperti seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan. Mereka bisa bebas memberikan perintah para bawahannya. Artinya, siapa pun yang dikatakan mempunyai kekuassaan dapat dilihat dari kemampuan mereka mempengaruhi orang lain.

Analisis sumber kekuasaan sudah dilakukan sejak awal, terutama oleh French & Raven, hasilnya terdapat lima jenis kekuasaan yang juga dapat menjadi sumber kuasa dari pemimpin yang berada di lembaga pendidikan. Reward power, kemampuan pimpinan mempengaruhi bawahan denagn memberi reward, kelebihannya tertetak pada daya tarik reward yang akan diberikan. Philip Cusik menyarankan agar kepala sekolah dapat menggunakan reward power dengan mencatat jadwal, tambahan tugas, mengontrol hal yang diingnkan para guru, memberi hadiah dan beberapa hal lain.

Coercive power, kemampuan pimpinan mempengaruhi bawahan dengan memberi punishment atas tingkah laku yang tidak diinginkan. Inti coercive power adalah keras atau lembeknya hukuman dan kemungkinan dari hukuman tersebut tidak dapat dihindari. Dapat dilakukan kepala sekolah kepada guru dengan pemberian tugas kerja yang tidak diinginkan, pelaksanaan supervisi yang lebih ketat dari aturan yang ada, penolakan kenaikan gaji atau bahkan penghentian gaji.

Legitimate power, pengaruhi bawahan dengan sederhana karena posisi formal artinya bahwa dalam tataran ini bawahan menyadari bahwa pimpinan pempunyai hak untuk membuat dan mengeluarkan aturan. Sedangkan mereka mempunyai kewajiban untuk mentaati. Dalam konteks ini pimpinan diberi hak untuk membuat keputusan di area yang spesifik.

Referent power, kemampuan pimpinan mempengaruhi bawahan berdasarkan kegemaran bawahan. Biasanya pemimpin dengan style kekuasaan ini banyak dikagumi, dihormati, dan dijadikan panutan. Jenis kekuasaan ini bersumber dari kepribadian dan keterampilan pemimpin, meski tak dak dapat disangkal bahwa tiap individu memiliki daya tarik tersendiri untuk mengembangkan sikap hormat, kepercayaan dan loyalitas terhadap sesama.

Expert power adalah kemampuan pimpinan mempengaruhi sikap bawahan berdasarkan keterampilan dan pengetahuan khusus yang mendasar. Bawahan terpengaruh karena percaya bahwa informasi dan skill yang dimiliki pimpinan lebih dari yang dimiliki. Seperti referent power, expert power-pun bersumber dari karakteristik pribadi dan tidak terlalu bergantung pada posisi formal.

Kelima jenis kekuasaan ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kekusaan organisasi mencakup reward power, coercive power, dan legitimate power, artinya lebih tinggi posisi, lebih besar kekuasaan, dan kekuasaan pribadi mencakup referent power dan expert power, tergantung dari perangkat pribadi dari pimpinan seperti tipe kepemimpinan, pengetahuan dan keterampilan.

Jadi dapat dipahami bahwa kekuasaan dan oritas itu merupakan dua hal yang berbeda, ruang lingkup otoritas lebih sempit dan menjadi bagian dari kekuasaan.Kedua hal ini berada mutlak pada organisasi, termasuk dalam lembaga pendidikan. Sumber otoritas yang dapat dijadikan ruang untuk mempengaruhi pendidik oleh kepala sekolah secara positif tidak hanya berasal dari hal formal, fungsional, dan informal, tetapi dapat juga bersumber dari charismatic, traditional, and legal authority. Dengan kekuasaan yang dimiliki, pimpinan (kepala sekolah) juga dapat memilah dan meilih style yang akan dimanifestasikan dalam kepemimpinannya, style dimaksud dapat berupa reward power, coercive power, dan legitimate power, referent power dan expert power. Pilhan yang tepat berpotensi membuat organisasi menjadi lebih berkembang, dan hal ini juga berlaku sebaliknya.

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun