Mataram - Sudah selayaknya jika semua organisasi sosial senantiasa mengontrol anggotanya. Kontrol merupakan hal fundamental, terlebih pada organisasi formal. Hal tersebut merupakan inti organisasi yang bermuara pada power (kekuasaan) yang dipegang administrator (pemimpin).Â
Dalam prosesnya, konsep kepemimpinan dan kekuasaan telah melahirkan minat yang bersifat hidup, tidak jarang juga menimbulkan kekaburan. Ketika berbicara kekuasaan, pembahasan tidak terlepas dari frase kepemimpinan atau pemimpin. Konsep ini bertalian satu sama lain, dengan kekuasaan, pemimpin memperoleh alat untuk mempengaruhi pengikutnya. Idealnya, pemimpin tidak hanya menilai perilakunya sendiri agar dapat mempengaruhi orang lain, tetapi mereka harus meniti proses dan cara menggunakan kekuasaan.
Definisi klasik kekuasaan adalah kemampuan menyuruh orang lain melakukan apa yang ingin kita suruh untuk mereka lakukan. Max Weber merumuskan kekuasaan sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan menghilangkan halangan. Sementara Waltred Nord merumuskan kekuasaan sebagai suatu kemampuan dalam mempengaruhi aliran energi dan dana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya. Blerstedt mengatakan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan mempergunakan kekuatan. Sedangkan Rogers menyatakan kekuasan sebagai suatu potensi dan pengaruh.
Asumsinya, kekuasaan merupakan suatu hal yang dapat atau tidak dapat untuk dipergunakan. Penggunaan kekuasaan senantiasa mengakibatkan perubahan baik secara individual maupun kelompok. Perubahan inilah yang dirumuskan Rogers sebagai influence atau authority dengan ruang lingkup yang lebih sempit dari kekuasaan. Weber mendefinisikan otoritas sebagai perintah yang lebih spesifik dari sumber perintah yang akan ditaati oleh orang yang diperintah.
Kepemimpinan identik dengan usaha untuk mempengaruhi, kekuasaan merupakan potensi pengaruh dari pemimpin tersebut. Ini merupakan sumber yang memungkinkan seorang pemimpin mendapatkan hak untuk mengajak dan mempengaruhi orang lain. Sedangkan otoritas dapat dirumuskan sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat pada jabatan yang diduduki pemimpin. Artinya otoritas adalah kekuasaan yang disahkan oleh suatu peranan formal seseorang dalam suatu organisasi.
Organisasi dibentuk dan dikontrol oleh otoritas legitimasi yang berperan dalam menentukan tujuan, membentuk struktur, menyewa dan mengatur pekerja dan mengontrol aktivitas keseluruhan dari organisasi. Singkatnya otoritas legitimasi merupakan pengontrol dan kekuasaan legitimasi pada sebuah jabatan merupakan bentuk lain dari pesaing kekuasaan dalam organisasi.
Lembaga pendidikan merupakan organisasi formal yang padanya juga melekat berbagai konsep dan manifestasi dari kekuasaan dan otoritas. Dalam dunia pendidikan otoritas merupakan bagian integral dari kehidupan di lembaga pendidikan, dasar dari hubungan antara peserta didik-pendidik, pendidik-kepala sekolah (bawahan-atasan) adalah otoritas. Hal yang patut disayangkan adalah latahnya orang yang menganggap bahwa otoritas itu sama dengan otoriter. Oleh karena itu, mendefinisikan konsep otoritas secara teoritikal dan jelas penting dilakukan.
Bertolak belakang dengan kepercayaan umum, penerapan otoritas pada lembaga pendidikan tidak termasuk pemaksaan. Herbert A. Simon mengusulkan perbedaan otoritas dengan kekuasaan, sebagai kondisi bawahan yang berada dalam kepatuhan untuk memilah alternatif dan kritreria formal sebagai dasar pilihannya dalam menerima perintah. Karena itu otoritas di lembaga pendidikan merupakan hal yang cukup krusial pada hubungan atasan-bawahan. Kritreria formal meliputi kesediaan bawahan untuk menurut dan suspensi dari bawahan untuk membuat keputusan sesuai arahan.
Argumentasi yang disampaikan Peter Blau & Richard Scott layak dipertimbangkan bahwa otoritas adalah kesediaan bawahan untuk mengabaikan kriteria mereka sendiri dalam membuat keputusan dan menuruti dengan patuh arahan dari atasan. Kesanggupan ini akibat dari kendala sosial yang umumnya merupakan produk dari norma kolektivitas sosial (terutama antara pendidik dengan peserta didik) dan tidak pada kekuasaan (pendidik dan kepala sekolah).
Perlu diingat bahwa kendala sosial seperti ini bukan merupakan tipe dari pemaksaan sosial. Muaranya, otoritas pada lembaga pendidikan dapat dilihat dari tiga kriteria utama yaitu kesediaan bawahan untuk menurut, suspensi bawahan untuk membuat keputusan sesuai arahan dan hubungan kekuasaan dilegitimasi oleh norma kelompok.