Mohon tunggu...
Siti Sanisah Rasyid
Siti Sanisah Rasyid Mohon Tunggu... Guru - Penulis jalanan

Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Genderang Perang Pemilu 2024

21 April 2022   07:16 Diperbarui: 21 April 2022   07:20 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mataram - Keberadaan Sirkuit MotoGP Mandalika yang berada di Pulau Lombok (Lombok Tengah) dan keberhasilan menggelar event balap "kuda besi" beberapa waktu lalu, telah berhasil membuat Pulau Lombok yang sudah terkenal menjadi lebih terkenal lagi. 

Pagelaran tingkat dunia yang diselenggarakan di pulau kecil nan eksotis ini tentu menarik minat banyak orang dalam lingkup lokal, nasional dan internasional. 

Para pendatang diterima dan disambut meriah, meski dalam suasana pandemi. Salah satu kesenian tradisional yang ditampilkan ketika menyambut para tamu bergensi itu adalah gendang beleq, yang merupakan tetabuhan dari sekumpulan alat musik gendang dan gong yang dilakukan oleh sejumlah pria. 

Konon, gendang beleq  dipergunakan sebagai genderang perang, yaitu untuk menandai dimulainya peperangan, mengiringi dan memberi semangat kepada para ksatria dan prajurit kerajaan Lombok yang pergi atau pulang dari medan perang. Artinya, berbunyinya gendang beleq mengisyaratkan adanya peperangan.

Isyarat gendang beleq pada masa lalu selaras dengan lema pada masa kini yaitu menabuh genderang perang yang secara bebas dimaknakan sebagai aksi untuk mengajak perang, berantem atau bermusuhan. 

Genderang perang yang saya maksud adalah genderang perang yang sudah mulai ditabung oleh masing-masing pendukung kandidat pada Pemilu serentak nanti, meski suaranya masih samar terdengar dengan nada yang belum teratur apik. 

Masing-masing masih mengatasnamakan pribadi, padahal bahasa hati, tubuh dan bibir sudah kompak dan sepakat untuk mengusung salah satu kandidat. 

Tidak hanya tertabuh dan menggema di Pulau Lombok, tetapi sudah menyasar semua sisi pelosok negeri dengan penabuh dan intensitas tabuhan yang variatif.

Bagi masyarakat kebanyakan yang merasa tidak tersangkut paut dengan urusan politik, tahun 2024 masih sangat jauh tak hendak diomongkan berdarah-darah saat ini. 

Demikian juga halnya dengan para ahli agama, masa depan adalah rahasia Allah Subhanahu Wata'ala, jadi jalani saja dulu tugas dan kewajiban kita saat ini dengan sebaik-baik cara. 

Usah terlalu berambisi dengan jabatan atau hal yang akan terjadi nanti, sudah ada yang mengatur. Kedua pandangan tersebut tentu berbeda dengan pandangan para politisi, terlebih pandangan pemuda yang mulai terusik dengan carut marutnya negeri. Tidak diragukan lagi, ragam pandangan ini pun membidani lahirnya friction yang akan sulit disatukan. 

Proses yang terjadi pada era artificial intelligence ini tentu menyertakan pemanfaatan media di dalamnya, dimanfaatkan sebagai ajang "diskusi" virtual yang paling diminati oleh segenap kalangan, sekaligus nyaris tanpa batas. 

Media (terlebih sosial media) juga sudah dijadikan serupa senjata untuk mengumbar berbagai informasi dan data, mengarahkan berbagai macam opini, bahkan tanpa beban berusaha mengkibuli orang lain dengan fakta, data dan informasi palsu. Bermula dari kicauan pada sosial media inilah perang opini dimulai dan menjadi kian ramai dari hari ke hari. 

Tidak salah jika kita me-rewind sedikit kenangan, perang saudara antar pendukung Presiden Jokowi dengan Prabowo di Pemilu sebelumnya, hingga kini masih menyisakan aura kepuasan dan ketidakpuasan yang diungkapkan dalam berbagai bentuk termasuk olok-olok antara kecebong dan kadrun. 

Hiruk pikuk Pemilu seolah memposisikan negeri ini pada kondisi perang yang sesungguhnya, antara hidup dan mati dalam membela kandidat yang didukung. 

Aksi tim sukses pun kian menjadi-jadi, tidak jarang mereka mencipta ketidaknyamanan bagi warga masyarakat jika ajakan untuk mendukung salah satu kandidat tidak direspon dengan baik oleh kelompok masyarakat tertentu.

Jelas terpampang bahwa pertikaian masa lalu telah menjadi bibit pada perang pendukung saat ini. Sebenarnya kepiawaian dan kebijakan kandidat sangat berperan dalam meredam aksi para supporter, guna meminimalisir pertikaian baik secara langsung maupun dalam dunia maya. 

Kemampuan mereka dalam meredam massa pendukung adalah indikator awal kemampuan mereka ke depan dalam mengurus rakyat. Jika dari sekarang, mereka tidak mampu mengelola dan meredam emosi massa pendukung sudah tentu kemampuan leader of leadership patut dipertanyakan.  Sayangnya, sang kandidat yang dibela ternyata asik dengan kegiatan mereka sendiri. 

Bayangan perang pendukung di 2024 sudah dapat diprediksi dari sekarang. Dalam satu kesempatan, ketika Presiden sedang melakukan kunjungan kerja dengan Menteri Pertahanan, masyarakat begitu antusias meneriakkan nama Prabowo. 

Kondisi ini tidak berbeda jauh ketika seorang Anies Baswedan datang ke Lombok atau ke masjid kampus UGM. Teriakan masyarakat yang menyebut Anies sebagai presiden 2024 bergema mengisi ruang kosong cakrawala. 

Belum lagi suara tabuhan genderang pendukung Ganjar Pranowo, kubu Puan Maharani atau Agus HY. Semakin banyak tokoh yang digadang sebagai kandidat presiden maka perdebatan seru di sosial media maupun suara genderang perang akan semakin ramai. Belum lagi pemilihan gubernur, bupati, anggota DPD dan DPR.

Saya sendiri diwajibkan berada pada posisi tengah dan asyik mengamati dinamika yang terjadi. Bukan dengan maksud tidak peduli, tetapi dalam kondisi demikian, rasa peduli pun akan sia-sia karena salah satu golongan yang paling sulit dinasehati adalah tim sukses. Hal yang paling diharapkan adalah bergabung dan menjadi pendukung salah satu kandidat. 

Kepada golongan yang mengambil keputusan untuk tidak terlibat dalam urusan dukung-mendukung dan menjadi kaum Golput (golongan putih) pun, genderang perang ditabuh sedemikian rupa. 

Mereka dinilai sebagai warga masyarakat yang tidak paham demokrasi dan oleh karena itu tidak layak hidup di Indonesia. Pandangan yang agak berlebihan di negeri yang menjunjung tinggii HAM.

Salah satu dari sekian banyak alasan terbentuknya golput adalah alasan ideologi. Mereka menganggap bahwa sistem pemerintahan di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan yaitu kapitalisme-sekuler, dilengkapi dengan instrumen politiknya yang bernama demokrasi. 

Dengan dasar pikir ini, mereka berasumsi bahwa siapapun pemimpin negeri ini tak akan pernah menerapkan sistem pemerintahan (terlebih yang bersendikan Islam) secara menyeluruh. 

Meski kekuasaan pemimpin sekuler ini didukung puluhan partai (yang mengaku) Islam, tetap saja akan menghasilkan problem kehidupan yang tak berkesudahan. 

Kembali lagi ke masalah media yang beberapa waktu lalu sukses mendulang "debat kusir" Rocky Gerung dengan Irma Suryani dalam talkshow dipandu Rosiana Silalahi. Peran media dewasa ini memang tidak dapat diabaikan, baik dalam kerangka pikir positif maupun negatif. 

Dalam konteks perang pendukung, media (plus sosial media) telah turut andil dalam memfasilitasi perang terbuka antarpendukung kandidat untuk saling serang melempar opini, bahkan banyak di antara opini itu lebih bersifat black campaign. 

Bukan hanya pelaku jejaring sosial atau sosial media, tetapi kini media massa juga (bahkan yang mainstream) mulai latah mendukung kandidat yang akan diprediksi akan turun ke arena Pemilu 2024 mendatang. 

Tak sulit mencermati dan mengidentifikasi media pendukung salah satu kandidat, cukup memperhatikan ke arah mana berita (yang sudah jadi opini) digiring. 

Mereka akan sering mengekspos kelebihan kandidatnya dalam suatu berita, dan cenderung mengerdilkan informasi terkait kandidat lainnya. Jelas, ini merupakan penggiringan opini sesuai target yang hendak dicapai.

Tidak akan lama lagi, tetabuhan gendang beleq akan membuat suasana hingar bingar, dilengkapi aneka suguhan informasi, opini dan berbagai bentuk "gratifikasi" kepada masyarakat. 

Sikap cerdas dan kemampuan literasi digital kita yang bagus sangat dibutuhkan guna mencermati pertarungan fakta dan hoax. Usah juga terlalu cepat menyerah untuk dimasukkan dalam kotak my promise para kandidat beserta pasukannya, janji yang sebenarnya oleh mereka sendiri pun diakui sulit untuk dipenuhi mengingat peliknya urusan politik di balik Pemilu.

Lalu kenapa janji dilontarkan? Karena para politisi mulai menyadari bahwa masyarakat lebih percaya janji dari pada realita, dan janji hanya perkara bahasa bukan perkara usaha. Jadi, mungkin sudah tertanam dibenaknya TIDAK BERJANJI, TIDAK ASYIK!

Dasar pikir sederhana yang dapat dijadikan sebagai parameter adalah proses yang dilalui kandidat untuk dapat mencalonkan diri (atau dicalonkan) pasti membutuhkan dukungan dana, tenaga, pikiran dan segala hal yang dapat memuluskan jalannya menjadi salah satu pejabat di negeri ini. Artinya, upaya ini tentu saja tidak gratis dan tidak ditopang sendiri oleh kandidat. 

Ada imbangan dana atau dukungan dalam bentuk lain yang diperoleh kandidat dari berbagai kalangan (bisa dari individu, korporat atau simpatisan lain), bahkan bisa jadi dukungan itu berasal dari pihak asing yang ingin terus mengamankan posisi dan usahanya di negeri ini. 

Hal inilah yang mendorong sikap mengutamakan kroni ketika telah terpilih menjadi pejabat, tak ubahnya sikap Dollah yang mengabaikan keluarga demi kesenangan diri dan kroninya.

Dalam gempitanya dunia politik, hal itu dianggap lumrah, bukan hal yang aneh dan biasa-biasa saja, sangat mungkin dilakukan tanpa disertai kesadaran akan akibat di kemudian hari. Prinsipnya yang penting dapat bersenang-senang sekarang, masalah masa depan bangsa dan rakyat nanti dipikirkan olehh pejabat berikutnya. 

Sikap yang sangat logis jika kemudian kita memilih untuk tidak larut dalam kondisi ekstasi proses Pemilu, sehingga rela berperang tanding dengan saudara dan kerabat sendiri hanya untuk mempertahankan argumentasi tentang dukungan terhadap kandidat yang semu. 

Saya tidak mengajak untuk tidak mengambil sikap dalam Pemilu sehingga termasuk ke dalam bani Golput, saya hanya ingin mengajak kita semua untuk cerdas dalam memilah dan memilih siapa yang hendak didukung, menabuh genderang seperlunya saja, tidak perlu lebay hingga menggoyahkan ikatan bhinneka tunggal ika di dunia nyata maupun maya. 

Untuk itu, mari siapkan pikir dan hati kita untuk menghadapi persiapan dan pelaksanaan pesta demokrasi 2024 nanti yang sangat mungkin akan lebih hiruk pikuk dengan sebaran data, informasi juga fitnah dan caci maki antarpendukung, di balik senyum manis yang didukung. 

Selamat beraktivitas positif untuk kita semua (IR_75).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun