Mohon tunggu...
Siti Sanisah Rasyid
Siti Sanisah Rasyid Mohon Tunggu... Guru - Penulis jalanan

Fabiayyi Ala Irobbikuma Tukadziban

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Etika dalam Pengambilan Keputusan

20 April 2022   06:07 Diperbarui: 20 April 2022   06:10 3446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataram - Kebijakan pemerintah yang merupakan representasi keputusan yang sudah ditentukan dengan ragam pendekatan, sejatinya memang harus bersandar pada etika. Masyarakat Yunani Kuno menggambarkan etika sebagai ethos yang setara dengan adat istiadat atau kebiasaan. Dalam konteks ini, etika dianggap berkaitan erat dengan adat istiadat atau kebiasaan hidup yang dianggap baik oleh kalangan masyarakat tertentu. 

Di sisi lain, seorang Bertens (2004) menyampaikan bahwa etika mengandung makna nilai dan norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Nilai dan norma inilah yang harus menjadi titik tolak policy maker memutuskan kebijakan yang akan diberlakukan, sehingga tingkat lakunya dalam mengambil keputusan dapat dijustifikasi sebagai sikap seorang pemimpin yang bijak dan peduli terhadap masyarakat. 

Tidak hanya doyan mengambil kebijakan yang populer tetapi tidak populis, tidak menyelesaikan masalah yang terjadi di tengah masyarakat, malah berpotensi semakin memperburuk kondisi. 

Subsidi atau BLT (Bantuan langsung Tunai) yang diberikan kepada masyarakat sebagai kompensasi atas langka dan mahalnya harga minyak goreng, sepintas dapat dilihat sebagai kebijakan yang sangat pro rakyat. Sebagian masyarakat pun berteriak nyaring, mengucap syukur atas apa yang disampaikan para petinggi negara. 

Nyatanya, subsidi disalahgunakan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi dan golongan. 

Meski tetap menyasar ke masyarakat, tetapi proses implementasinya sudah disalahgunakan sedmikian tupa oleh oknum yang justru berada di ring inti pengambilan keputusan. Artinya, subsidi itu tidak menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Tentu tidak ada jaminan bahwa BLT minyak goreng pun akan lurus-lurus saja perjalannya.

Sejatinya, hal yang diharapkan masyarakat adalah kebutuhan mereka akan minyak goreng dapat terpenuhi tanpa drama yang aneh-aneh, mudah dan murah. Jadi, pemerintah hanya perlu menetapkan HET (harga eceran tertinggi) yang terjangkau dan memberi jaminan tidak ada kelangkaan, mengingat Indonesia daerah sawit. 

Tuntutan serupa juga berlaku terhadap hal lainnya. Dengan memenuhi tuntutan ini, setidaknya pemerintah dapat menghemat sekian rupiah anggaran dan tidak perlu lagi menampung hutang untuk membiayai kebijakan yang tidak populis, pembuka keran mark up dan korupsi bagi segilintir orang.

Ragam teori etika yang dapat dijadikan pondasi dalam pengambilan keputusan dan memiliki relasi yang kuat dengan sikap refleksi kritis adalah etika deontologi, teleologi dan keutamaan. Etika deontologi yang fokus pada deon (kewajiban) menilai bahwa tindakan yang baik dan buruk ditentukan berdasarkan kesesuaian tindakan tersebut dengan kewajiban. Tindakan yang baik secara moral, akan menjadi kewajiban untuk dilakukan dan hal ini berlaku sebaliknya. Jadi, titik tekan pada teori ini adalah tindakan yang dilakukan, bukan efek dari tindakan tersebut. 

Tujuan dilakukannya tindakan tersebut menjadi fokus pembahasan pada etika teleologi yang konsen terhadap telos (tujuan). Teleologi tidak menilai perilaku atas dasar kewajiban, tetapi tujuan atau akibat dari tindakan yang dilakukan. Artinya, baik dan buruknya tindakan yang dilakukan dapat dinilai dari tujuan atau akibat yang ditimbulkan. Tindakan akan dinilai buruk, apabila tujuan dan akibatnya buruk.

Terdapat dua hal penting yang perlu diwaspadai dalam etika teleologi ini yaitu egoisme etis dan utilitarianisme. Egosime etis menganggap bahwa suatu tindakan dianggap baik, apabila bertujuan atau berakibat baik bagi dirinya sendiri dan sebaliknya, akan dipandang sebagai tindakan buruk secara moral, apabila akibat dari tindakan itu orang menderita atau sengsara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun