Arfi mengucek matanya agar ia dapat membuka mata yang masih agak segan untuk melihat cahaya pagi. Ya ibunya membangunkan Arfi untuk sholat subuh. Entah jam berapa Arfi tidak tahu. Tapi ibunya selalu tau waktu sholat dari azan yang berkumandang. Â Satu-satunya jam adalah jam tetangga yang bisa dilihat dari luar ketika tetangganya sudah membuka pintu. Dan pagi itu seperti biasa, tetangganya belum membuka pintu rumahnya. Mungkin sedang sibuk dengan rutinitas pagi yang ah entahlah tidak ada kata yang mampu menggambarkan sepertinya. Atau mungkin masih berasyik masyuk dengan mimpi indahnya.
Arfi tinggal bersama ibunya di sebuah tempat sederhana dengan bilik bambu yang kemudian mereka sebut sebagai rumah. Satu-satunya tempat mereka untuk melepas lelah dan sekedar merebah. Karena jika dikatakan untuk berlindung dari panas dan hujan juga tidak memungkinkan. Mereka masih kepanasan saat musim panas dan masih kedinginan saat musim hujan.
****
"Ah ibuk aku masih ngantuk nih", ucap Arfi setengah kesal.
"Tapi kamu belum sholat shubuh tho? Daritadi ibuk bangunin lho". Ibunya sejenak berhenti mengaji untuk mengambil nafas panjang. Sudah menjadi rutinitas selesai sholat ibunya pasti mengaji Al-Qur'an. Ibunya pandai mengaji. Tak tanggung-tanggung ibunya akan menyelesaikan 1 juz setelah 1 sholat fardhu. Ibunya Istiqomah seperti itu sejak ayah Arfi meninggal dunia 2 tahun yang lalu.
"Mmmhh iya iya ini aku sholat", sambil beranjak malas ia menuju pancuran untuk wudhu.
Setelah selesai sholat, Arfi melihat ibunya masih bermesraan dengan Al-Qur'an ditangannya. Ia masih dengan malas menuju meja kayu di dekat tungku, tempat biasa ibunya meletakkan nasi serta lauknya. Arfi sering kecewa setelah melihat meja tersebut. Karena ia tak pernah melihat makanan yang ia inginkan berada di meja itu. Seperti biasa, penghuni meja itu hanya nasi, kadang ditemani tempe goreng, tahu, atau hanya kecap manis yang diberi potongan cabai atau mereka sebut sambal kecap. Itupun didapat dari jatah tukang sayur tempat ibuk membantu bersih-bersih. Kalaupun ada makanan mewah seperti ayam, daging atau sejenisnya itu didapat dari pengajian sekitar rumah yang kebetulan tergolong keluarga mampu.
Alhamdulillah Arfi masih tetap sekolah, meski ia tak punya sepatu atau tas yang bagus. Ia mendapat bantuan dari RT setempat tiap tahunnya berupa alat tulis, untuk sekolah juga dibebaskan dari biaya tiap bulannya karena ia yatim. Ibunya juga seharusnya mendapatkan bantuan karena janda. Tapi ibunya tak pernah mau menerima. Bagi ibunya, bantuan untuk sekolah Arfi sudah lebih dari cukup.
****
Pagi itu Arfi hanya melihat nasi dan sambel kecap. "Ah tukan ketebak. Pasti ini", ia menggeloyor pergi ke bilik kamar mandi untuk mandi. Ia sudah tak semangat untuk sarapan.
Selesai mandi dan berpakaian Arfi pamit ingin berangkat sekolah. Tapi ibunya menahannya, "arfii... Sarapan dulu nak. Biar kamu kuat. Konsen juga belajar nya. Sarapan itu penting lho nak".