Sudah dua minggu terakhir saya membawa Kaukab, anak terkecil saya, ke PAUD. Biasanya kalau saya mengajar, Kaukab saya titipkan pada Ibu. Tapi dua minggu terakhir kondisi Ibu kurang sehat, sehingga rasanya tak enak bila saya titipi Kaukab pula.
Mengajar di PAUD ini adalah kesenangan buat saya. Walau jika dilihat dari segi ekonomis, mengajar disini benar-benar tak punya nilai ekonomis, malahan turut menyita sebagian pengeluaran bulanan. Tapi niat untuk meneruskan perjuangan almarhum Bapak yang terhenti, membuat saya dan kedua teteh saya berusaha untuk merintis PAUD ini. Bangunan asrama yang dulu digunakan santri Bapak, kami renovasi menjadi ruang belajar dan ruang bermain untuk anak-anak PAUD.
Jadilah tiap pagi saya dan teteh saya mengajari anak-anak yang jumlahnya ada 18 orang. Tiap jam 7 pagi, kerjaan bakulan saya tinggalkan dan diserahkan mandatnya pada suami. Lalu sambil ngantar Hazel dan Ica sekolah, saya pun berangkat mengajar.
Keponakan saya bilang ini PAUD Laskar Pelangi, karena kondisinya yang seadanya. Bangku dan kursi belum bisa kami sediakan, karenanya kami membeli meja-meja lipat sebagai sarana belajar. Ruangan bermain pun diisi dengan majalah-majalah anak-anak bekas Hazel dan Ica, boneka-boneka milik Hazel dan Ica pun berpindah kesana. Teteh juga membeli lima buah ayunan tali untuk meramaikan ruang bermain. Tak ketinggalan kuda-kudaan Kaukab yang juga hijrah kesana. Apapun mainan yang ada di rumah, sebisa mungkin dibagi dua dengan PAUD, walau kadang Ica protes karena mainannya banyak yang menghilang, hehehe…
Saya dan teteh bertekad, apapun kondisinya PAUD ini harus bisa berjalan. Saya pun memutuskan untuk kuliah lagi dan mengambil jurusan PAUD untuk lebih menambah wawasan dan ilmu saya dibidang pengajaran. Walau tiap hari harus riweuh membagi waktu, tapi tiap mengajar dan melihat semangat anak-anak untuk belajar, rasanya semua beban dan capek langsung hilang.
Kaukab juga sudah mulai mengerti pekerjaan lain mamanya ini. Ia tak lagi rewel di kelas. Saya pun membawakannya alat tulis dan pensil warna sendiri, sehingga ia pun dapat ikut meniru kegiatan anak-anak PAUD yang lain. Kedepannya saya berharap Allah menambah rezeki saya agar bisa memperbaiki fasilitas dan sarana belajar di PAUD ini. Atau setidaknya Allah mengirimkan donatur yang mau berbagi rezeki dengan memberikan sarana belajar yang lebih baik untuk anak-anak PAUD yang kurang mampu di kampung kelahiran saya ini.
Never Give Up! Harus terus semangat untuk bisa membantu mencerdaskan anak bangsa dan mereka yang tidak berkecukupan. Begitu kata hati saya tiap kali merasa lelah. Tapi tadi sore pun hati saya sempat down, karena mendengar kabar PAUD ini harus segera memiliki ijin operasional, yang berarti harus segera dibuatkan akta notarisnya terlebih dahulu. Dan itu artinya harus pergi ke Rangkas, karena di Malingping ini tak ada notaris. Mencari waktu luang untuk perjalanan kesana sudah membuat saya berpikir keras, selain membayangkan perjalanan yang jauh dan melelahkan karena kondisi jalan yang hancur.
Sabar, tiap perjuangan pasti menemui hambatan dan tantangan. Begitu nasehat Ibu yang membuat saya kembali optimis dapat meneruskan perjuangan Bapak dulu, melalui PAUD ini, PAUD RAMDHANI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H