Dalam UUD 1945 alenia keempat disebutkan salah satu tujuan dibentuknya negara RI adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dimana pendidikan akan menjadi perantara utama untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menerima pendidikan lanjutan, 600 ribu anak usia SD dan 1,9 juta anak usia SMP. Keadaan dimana anak mengalami keterlantaran sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian mengenai hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan layak ini berkaitan dengan arti  anak-anak yang putus sekolah. Anak yang putus di tengah masa pembelajaran dan anak yang tidak meneruskan pada tahap selanjutnya.
Banyak sekali faktor yang menyebabkan anak putus sekolah. Mulai dari keadaan ekonomi yang tidak memadai, faktor internal masing-masing anak (malas, ingin membantu orang tua, , melanjutkan sekolah nonformal seperti pondok, minder, sakit, cacat, ataupun kelainan), lingkungan (budaya dan kehidupan), orang tua (kurang perhatian, background keluarga), lembaga pendidikan (pengajar, fasilitas, akses menuju tempat, kegiatan, biaya). Akibat dari banyaknya anak yang mengalami putus sekolah ini akan menimbulkan tinggi angka pengangguran, rendahnya kualitas SDM, menambah kenakalan dan kejahatan, mengurangi bahkan menghilangkan hak anak untuk mendapat pendidikan yang layak.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada mengumunkan hasil penelitian Bantuan Siswa Miskin (BSM) Endline di Sumatera Urama, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Bahwa sebanyak 47,3 % responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, 31 % ingin membantu orang tua bekerja, serta 9,4%ingin melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau kursus keterampilan.
Siapakah yang bisa meningkatkan jumlah anak putus sekolah ini ?
Apakah memang pemerintah salah dalam memberikan pendidikan. Kita akan menjelaskan sedikit dari kesalahan pihak pemerintah yang berdampak pada putus sekolah. Lembaga pendidikan di daerah pelosok sangat minim sekali, banyak anak yang harus bersusah payah hanya untuk sampai ke sekolah mereka dengan medan yang sulit bisa melalui sungai ataupun hutan-hutan.Â
Dimana waktu untuk perjalanan dan untuk belajar tidaklah relevan. Selanjutnya fasilitas yang minim terutama wifi untuk mengerjakan tugas, guru pengajar yang sedikit dan belum kompoten di bidangnya atau ada juga yang tidak profesional dalam menjalankan tugas.
Anak akan kesusahan untuk mencari sekolah yang tepat, efektif, dan efisien dalam menima ilmu. Hal itu berkebalikan dengan kota-kota besar dimana sekolah yang akan mencari muridnya, saking banyaknya lembaga pendidikan.
Dan sedikitnya kesesuaian antara beasiswa dan penerima yang masih dipertanyakan. Beasiswa sendiri bisa dikategorikan banyak sekali, misalnya untuk orang yang miskin, miskin berprestasi, orang kaya berprestasi atau gimana ?
Spesifikasi dari suatu beasiswa ini perlu, karena penulis merasa masih banyak penempatan beasiswa yang belum sesuai. Perlu juga adanya subsidi buku dan sarana sekolah untuk menambah semangat belajar.
Kurangnya pemerataan ekonomi dari pemerintah. Pemerataan disini terdiri dari pemerataan infrastruktur dan konektivitas. Juga berkaitan dengan subsidi uang (bantuan masyarakat miskin, anak jalanan, pengemis, anak yatim piatu dll).Â
Masyarakat Indonesia akan menjadi pemalas dan kurang kreatif jika banyak proses impor dari negara lain karena merasa semua telah terpenuhi, sehingga tidak usah untuk berfikir yang lebih berat
Diri sendiri bisa disalahkan karena juga menyebabkan anak putus sekolah. Adanya sikap males dan bodoamat terhadap ilmu pengetahuan. Ketika ekonomi keluarga memburuk akan ada keinginan untuk meringankan beban orang tua denagn bekerja, mengamen ataupun mengemis.Â
Kebiasaan buruk tersebut jika mendapatkan hasil atau uang yang banyak akan berpengaruh pada pola fikir dan hati anak yang cenderung suka bekerja daripada belajar yang hanya kan menambah pusing.
Ketika kita sakit, cacat, ataupun menderita kelaianan serius, minder akan menghantui setiap malam. Ditambah lingkungan yang kadang mengejek dan membully sehingga anak akan lebih suka putus sekolah atau tidak melanjutkan pada jenjang berikutnya. Ada juga yang akan memilih pendidikan nonformal seperti pondk atau kursus dibandingkan sekolah formal SD, SMP, SMA, Kuliah.
Yang boleh disalahkan selanjutnya orang tua. Orang tua adalah petunjuk awal dalam melangkah. Izin dan restu dari mereka akan memberi berkah dan barokah yang luar biasa. Tapi ketika ekonomi orang tua memburuk, hubungan orang tua yang lagi dalam keadaan marah atau dendam, ini akan mempengaruhi psikologi anak tersebut sehingga lebih memilih untuk putus sekolah. Orang tua yang tidak begitu perhatian pada kemampuan anaknya akan sulit untuk menetapkan dan memperhatikan jenjang selanjutnya.
Lingkungan yang membosankan menyengsarakan akan membuat si anak tidak tahan untuk berada di tempat tersebut. Budaya yang bertentangan dengan keyakinannya juga akan menghilangkan ketertarikan dan daya semangat belajar siswa.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa orang yang dapat disalahkan atas banyaknya anak putus sekolah tidak hanay satu pihak saja, tapi bisa karena anak itu sendiri, pemerintahan, lembaga pendidikannya, ataupun orang tua.
Oleh karena itu untuk memperkecil angka putus sekolah bisa dilakukan dengan bekerja sama satu sama lain dengan pihak diatas tadi. Program beasiswa dari pemerintah harus sesuai agar tidak memberatkan bagi anak yang ekonomi rendah. Sehingga alasan uang tidak akan terlihat lagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H