Berdasarkan faktanya, Indonesia merupakan negara urutan ketiga sebagai negara paling korup di Asia. Apakah dengan menjadi negara terkorup ini dapat menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat dan rezim pemerintahan Indonesia? Atau justru hal tersebut merupakan suatu bentuk kedangkalan moral pelaku korupsi yang katanya berintelektual itu? Saya kira bukan suatu kebetulan ketika memang benar adanya kasus korupsi- atau lebih tepatnya extra ordinary crime semakin merajela di tanah air ditandai dengan semakin banyaknya kasus-kasus korupsi yang terkuak, akan tetapi- akan selalu ada yang tak terungkap dan semakin membudaya dalam sebuah sistem.
Baru-baru ini- yang paling santer dibicarakan publik adalah pemecatan pegawai KPK yang dinilai memiliki integritas dan kapabilitas dalam mengusut tuntas kasus korupsi yang dilakukan oleh pelaku korupsi kelas kakap. 57 pegawai diberhentikan dengan dalih dan berkedok tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan. Apakah hal tersebut dinilai wajar terjadi dalam sistem struktural? Apakah sebenarnya terjadi proses korupsi dalam Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri dan hal itu dirasionalisasi dan dinormalisasikan? Sesungguhnya berjuta pertanyaan dalam benak penulis menilik kasus tersebut.
Ketika kemudian kita berbicara mengenai realitas kejahatan yang ada di Indonesia dimana korupsi merupakan suatu kenyataan pelik yang tidak lepas dari struktur dan agensi manusia. Seorang koruptor esensinya hanyalah seseorang yang berasyik diri pada kehidupan level hewani, kualitas dan makna hidupnya dangkal sebab kebahagiaannya hanya disandarkan pada pemenuhan yang bersifat konsumtif semata. Terlihat bahagia dengan segala pernak-pernik kemewahan yang didapatkan dari merampok hak rakyat nestapa. Mengutil jatah makan rakyat yang sengsara dengan berpesta ria, namun kiranya-tampaknya menyantap bangkai.
Rupanya korupsi tidak pernah dapat dilepaskan dari interaksi kekuasaan. Dimana politikus bermental animal laborans, orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan konsumsi masih mendominasi, cenderung menjadikan politik sebagai mata pencaharian utama. Akibatnya, korupsi pun tidak terelakkan lagi. Mungkin saja uang yang menjadi objek korupsi bukanlah suatu tujuan esensial tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan- kekuasaan, sebab uang adalah produk dari mekanisme simbolik dari sistem yang dinilai abstrak.
Sisi kritik bukan hanya ditujukan kepada pelaku koruptor yang rupanya bengis namun aparat penegak hukum yang berhasil dikelabui oleh angan-angan dan hegemoni kekuasaan dan rupiah juga tak kalah bejatnya. Ketika hukum dan kebijakan rupanya dibuat dengan embel-embel kepentingan. Hukum yang dulunya hitam dan putih disulap menjadi abu-abu. Hukum dibuat untuk kepentingan penguasa dan menjadikan penjahat sesungguhnya menjadi kebal hukum.
Acapakli struktur birokrasi di desain sedemikian rupa dalam tatanan politisasi agar gampang dimonetisasi dengan sistem. Motif-motif ini terbungkus dalam sistem produksi dan reproduksi aktivitas sosial yang dialektik. Korupsi ditopang oleh kondisi modernitas yang mengglobal akibat peristiwa, perentangan ruang-waktu, perkembangan mekanisme pencabutan/ketaktersimpanan lokalitas konteks, dan perkembangan refleksivitas pengetahuan. Agen-agennya adalah mereka yang memiliki nilai intervensi-efek terhadap suatu tindakan yang korup.
Semakin sulit untuk membuka jaringan mafia korupsi yang tengah berbudaya- yang sudah multidimensional dan melibatkan jaringan beberapa penguasa dan birokrat. Akhirnya-kedepannya mungkin saja korupsi ini akan dinormalisasi dalam relasi kolektivitas, menjadi lingkaran setan yang terus bereproduksi menjadi korupsi berjamaah.
Korupsi merupakan kejahatan yang terjadi- yang berakar pada banality (pembiaran/ pembiasaan) yang motifnya adalah kesalahan, ketidakjujuran, kesombongan, kepicikan, kedangkalan berpikir dan kepuasan yang sifatnya subjektif. Agen-agen sosial memproduksi dan mereproduksi struktur-struktur korupsi. Berbagai upaya pembenaran terhadap tindakan korupsi merupakan bentuk rasionalisasi tindakan oleh agen manusia sebagai makhluk kreatif dan refleksif. Motifnya adalah untuk menghindari tanggung jawab moral dan hukum sosial. Perubahan sosial yang bisa dilakukan adalah dengan derutinisasi struktur atau mengambil jarak dengan pengawasan refleksif dari struktur yang mengekang sekaligus memberdayakan benih-benih korupsi yang melibatkan struktur signifikasi, dominasi, dan legitimasi dalam konstitusi-konstitusi sosial.
Pada kasus korupsi yang telah menjadi wabah epidemic atau endemic dalam masyarakat Indonesia misalnya adalah karena agen-agen korupsi tengah berada dalam kesadaran praktis dan kognitif –motif tak sadar akibat tindakan-tindakan rekursif (berulang dan berpola).
Korupsi menjadi kejahatan struktural bukan karena adanya struktur (sistem) sosial yang mengamini melainkan karena adanya hubungan dualitas (timbal balik) antara struktur dan agen.
Menilik paradigma Anthony Giddens yang kemudian penulis mencoba memberikan suatu relevansi teori dimana dalam teori strukturasi mendasarkan diri pada pengidentifikasian hubungan yang berlangsung antara individu dan institusi sosial. Sebagaimana Giddens juga mengkaji habitat tindakan manusia, institusi sosial, dan hubungan antara tindakan dan institusi. Korupsi sebagai kejahatan struktural melibatkan sarana material salah satunya adalah uang. Konsepsi Giddens dijelaskan, uang merupakan alat perentangan waktu dan ruang. Uang merupakan alat simbolis atau sarana pertukaran yang bisa diedarkan terlepas dari siapa atau kelompok mana yang memegangnya pada waktu dan tempat tertentu. Ekonomi uang telah menjadi sedemikian abstrak dalam kondisi dewasa ini sebagaimana menurut Giddens “Money bracket time and space”.
Ketika dilihat secara struktural- strukturasi, hasrat korupsi berjalan di atas ego kognitif yang merupakan potensi dasar manusia sebagai mikro kosmos. Sebagai animal rasionale atau human agent, manusia senantiasa merasionalisasi kehidupannya untuk menjadi lebih masuk akal.
Pemahaman korupsi sebagai bentuk kejatahan struktural tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tindakan moral yang merupakan bentuk refleksif agen-agen sosial. Bentuk refleksivitas bergantung pada jangkauan pengetahuan agen-agen manusia. reflesivitas hanya mungkin terwujud bila ada kesinambungan praktik-praktik yang sama di sepanjang ruang dan waktu. Reflesivitas dipahami tidak hanya sebagai kesadaran diri tetapi sebagai sifat arus kehidupan sosial yang sedang berlangsung yang senantiasa dimonitor. Refleksi agen saja tidak cukup, sebab setiap tindakan moral membutuhkan pertanggungjawaban. Maka disini pentingnya institusionalisasi tanggung jawab dalam bentuk legitimasi hukum.
Masyarakat kontemporer sebagaimana ditandai oleh Giddens sebagai detradisionalisasi. Moralitas relijius pun makin berubah cepat seiring logika percepatan modernitas. Korupsi dalam konteks ini, adalah cermin dari hilangnya kosmologi relijius bersama refleksivitas yang mengalami detradisionalisasi.
Yang menurut Giddens, manusia hidup dalam realitas kosmos modern akhir, berjalan di atas logika percepatan sehingga mengakibatkan orang tidak dapat berpikir panjang, mengambil jalan pintas, dan bertindak praktis.
Terdapat dua sisi yang berbeda- yang kontradiksi dimana korupsi di Indonesia sulit diberantas karena terdapat beberapa hal yaitu adanya distorsi makna perilaku politik dimana masalah moral direduksi menjadi masalah manajemen politik, adanya impunity-tiadanya sanksi hukum dimana proses hukum berbalik menjadi alat pembersihan diri dan sarana rehabilitasi koruptor, dan adanya intervensi kekuasaan di dalam lembaga peradilan yang dimungkinkan karena fasilitas kekuasaan seperti pejabat yang ditunjuk, sumber daya ekonomi, dan dukungan politik.
Tentunya yang menjadi harapan penulis terhadap problematika korupsi di Indonesia yaitu harus adanya penguatan dalam Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut tuntas para pelaku koruptor yang terindikasi dan masih bebas berkeliaran di kancah struktur politik.
Walhasil, korupsi sebagai kejahatan struktural, dari waktu ke waktu memiliki pola dan struktur yang sama karena adanya potensi-potensi yang terus dirasionalisasi oleh agen-agennya. Penanggulangan korupsi seharusnya dibarengi dengan pembersihan perbuatan-perbuatan ilegal lainnya seperti ilegal logging, fishking, trading dan lain-lain yang kesemuanya membutuhkan sistem ahli yang bermoral dan religius-paham akan agama yang dianutnya. Gerakan-gerakan moral seperti gerakan anti korupsi sebagai wujud kontrol sosial-politik idealnya berkolaborasi dengan gerakan-gerakan kemanusiaan lainnya yang secara riil berkontribusi bagi terciptanya solidaritas masyarakat untuk saling mengurangi beban kemiskinan dan ketidakadilan.
Sumber Referensi:
Thoyibbah, Imadah. 2015. “Makna Kejahatan Struktural Korupsi Dalam Perspektif Teori Strukturasi Anthony Giddens.” Jurnal Filsafat 25 (1): 134–71.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H