Mohon tunggu...
Sitti Nurhamidah
Sitti Nurhamidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hobi olahraga

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Ketidaksetaraan Gender Dalam Dunia kerja di Indonesia dan relevansinya Dengan IPS

10 Desember 2024   14:41 Diperbarui: 11 Desember 2024   08:43 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pendahuluan

Essai ini bertujuan untuk memahami fenomena ketidaksetaraan gender di dunia kerja melalui studi literatur. Ketidaksetaraan gender dalam dunia kerja adalah masalah sosial yang kompleks dan berakar pada struktur sosial, norma budaya, serta hubungan kekuasaan yang ada di dalamnya. Berdasarkan kajian pustaka, ketidaksetaraan gender terlihat dari perbedaan dalam kesempatan kerja, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan, serta terbatasnya perempuan untuk naik jabatan. Pendekatan kualitatif dipilih untuk menggali lebih dalam pemahaman tentang fenomena ini, dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasarinya serta bagaimana dampaknya terhadap perempuan di dunia kerja.

Konsep gender lahir akibat dari proses sosiologi dan budaya yang berkaitan dengan pembagian peranan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah lingkungan masyarakat. Sebagian besar masyarakat menganggap peran sosial perempuan jauh tertinggal dan bersifat pasif dibandingkan dengan laki-laki dan hal ini tidak terjadi secara alamiah, tetapi akibat adanya konstruksi budaya (Qori, 2017:151-162). Beberapa kajian menunjukkan bahwa perempuan sering kali menghadapi diskriminasi yang bersifat struktural dan kultural. Menurut Acker (2006: 441-464), ketidaksetaraan gender dalam dunia kerja bersifat sistemik, yang tercermin dalam pengaturan pekerjaan, peluang promosi, dan hubungan kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, Connell (2005) dalam kajian teorinya mengenai gender menyatakan bahwa ada pembagian peran sosial yang tidak adil di tempat kerja, yang memperkuat dominasi laki-laki dalam posisi-posisi penting.

Beberapa teori sosial juga memberikan pemahaman tentang ketidaksetaraan gender ini. Teori struktural fungsional menganggap bahwa ketidaksetaraan gender di dunia ckerja muncul sebagai bagian dari struktur sosial yang lebih luas, di mana setiap individu memiliki peran yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin mereka. Selainitu, faktor budaya dan norma yang masih berlaku di sebagian besar masyarakat yaitu peran tradisi lebih penting dari peran transisinya sehingga perempuan memiliki kecenderungan untuk tetap di rumah dan merasa bertanggung jawab untuk mengurus keluarga di rumah, sehingga menolak untuk memasuki pasar kerja. Perempuan bisa memiliki dua peran yaitu peran tradisi sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga juga bisa memiliki peran transisi yaitu sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan partisipan pembangunan (Dwi, 2017: 207–222). Di sebagian wilayah Indonesia masih berlaku norma di mana penghargaan masyarakat terhadap perempuan yang mengurus anak dan suami di rumah lebih tinggi dibandingkan penghargaan yang diberikan terhadap perempuan yang memiliki karier di luar rumah (Azmi et al., 2012: 298–306). Faktor lain yang tidak kalah penting pengaruhnya adalah masih rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan perempuan Indonesia untuk dapat memasuki pasar kerja serta masih banyak terjadi pernikahan dini (Scholastica, 2018).

 Sementara itu, teori konflik, seperti yang diajukan oleh Marx (1967), menyoroti adanya dominasi kelompok tertentu, dalam hal ini laki-laki, atas kelompok yang lebih lemah, yakni perempuan. Teori interaksi simbolik juga memberikan perspektif bahwa ketidaksetaraan gender dibentuk melalui simbol dan interaksi sehari-hari yang memperkuat stereotip dan peran gender tradisional. Terakhir, teori feminisme menekankan bahwa ketidaksetaraan gender adalah hasil dari struktur patriarkal yang mendominasi kehidupan sosial dan budaya. Budaya dan norma yang berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pekerja perempuan lebih banyak dipekerjakan di sektor domestik dibandingkan di sektor publik, meskipun setiap perempuan Indonesia memiliki hak untuk memilih menjalani peran di sektor domestik maupun di sektor publik (KPPPA, 2018)

Pembahasan

Ketidaksetaraan gender di dunia kerja tidak hanya terjadi karena perbedaan individu, tetapi juga karena struktur sosial dan budaya yang lebih besar. Dalam kerangka teori struktural fungsional, ketidaksetaraan gender dapat dipahami sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih luas, di mana pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai bagian dari pemenuhan fungsi tertentu dalam masyarakat. Misalnya, peran perempuan sebagai ibu atau pengurus rumah tangga sering kali dipandang sebagai penghalang bagi karir mereka di dunia kerja, sehingga mereka dianggap tidak bisa memenuhi peran manajerial.

Di sisi lain, teori konflik mengungkapkan bahwa ketidaksetaraan ini juga berkaitan dengan hubungan kekuasaan. Laki-laki sebagai kelompok dominan cenderung mempertahankan posisi mereka dengan memanfaatkan struktur yang ada di tempat kerja untuk mempertahankan kekuasaan mereka, baik itu dalam bentuk kebijakan yang membatasi akses perempuan pada kesempatan promosi atau dalam cara mereka memperlakukan perempuan di lingkungan kerja.

Teori interaksi simbolik juga memberikan wawasan mengenai bagaimana norma dan peran sosial yang ada dalam masyarakat berperan dalam mempertahankan ketidaksetaraan ini. Penggunaan bahasa dan simbol-simbol tertentu dalam komunikasi sehari-hari di tempat kerja sering kali memperkuat stereotip gender yang mengarah pada diskriminasi. Misalnya, ungkapan “pekerjaan pria” atau “pekerjaan perempuan” yang kerap digunakan untuk membatasi ruang lingkup pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh masing-masing jenis kelamin.

Teori feminisme Acker, J. (1990: 139-158). yang menekankan pentingnya perjuangan untuk kesetaraan gender, menyoroti bahwa ketidaksetaraan gender bukan hanya masalah individu, tetapi juga merupakan masalah struktural yang harus diatasi melalui perubahan kebijakan dan budaya organisasi. Feminisme mengajarkan bahwa perempuan harus diberi ruang untuk berpartisipasi secara setara di dunia kerja, tanpa terbebani oleh stereotip dan pembatasan yang tidak adil.

A. Bentuk Bentuk Ketidaksetaraan Gender dalam Dunia Kerja.

  • Perbedaan Upah: Salah satu temuan utama adalah adanya perbedaan upah yang signifikan antara laki-laki dan perempuan meskipun mereka memiliki jabatan yang setara.
  • Kesempatan Promosi: Perempuan juga lebih jarang mendapatkan kesempatan promosi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpercayaan terhadap kemampuan perempuan untuk mengisi posisi manajerial atau pengambilan keputusan
  • Stereotip Gender: Stereotip tentang peran gender yang sudah melekat, ada anggapan bahwa perempuan lebih cocok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan administrasi atau pekerjaan yang lebih “soft” sementara laki-laki dianggap lebih kompeten untuk pekerjaan yang lebih strategis dan manajerial.
  • Kesempatan Karir: Perempuan lebih jarang mendapatkan kesempatan untuk promosi atau posisi manajerial dibandingkan laki-laki, meskipun memiliki kualifikasi yang sama.
  • Diskriminasi dan Pelecehan: Beberapa perempuan juga mengalami diskriminasi langsung, seperti pelecehan seksual di tempat kerja, atau mendapat penilaian yang tidak adil hanya karena jenis kelamin mereka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun