Mohon tunggu...
Sifah Nur
Sifah Nur Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa, penulis -

Panggil aku Sifah. 20 tahun. Aku mencari kebebasan berbicara, meski hanya dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Sumur

8 Juni 2016   10:14 Diperbarui: 8 Juni 2016   10:32 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Jangan. Kamu bisa mati, Nduk!1”

Semua ancaman itu seolah jadi mimpi buruk bagi seluruh warga desa. Bahkan untuk Marto dan anak perempuannya, Asri. Mereka enggan keluar rumah meski untuk membuang ludah ke balik jendela. Beruntunglah mereka yang punya kakus di dalam rumahnya, tidak terpisah seperti milik keluarga Marto. Tidak akan susah-susah, jika tubuh mereka menuntut untuk segera buang hajat.

Seperti Asri.

Gadis berusia sembilan tahun itu menangisi keadaannya. Di saat seperti ini mengapa harus sakit perut. Isakan yang hanya terdengar pelan kini melahirkan sebuah tangis rintihan. Sambil memegangi perutnya, ia takut jika sebentar lagi rumah akan bau jika bapaknya tak memperbolehkan keluar untuk buang air. Rasa sakit itu sungguh menyiksa tubuh kecilnya. Tubuh Asri bergetar hebat akibat terlalu lama menahan mulas. Seluruh bulu kuduknya meremang memberikan reaksi spontan ketika sesuatu siap keluar dari bagian tubuhnya. Hebusan angin malam membuatnya tak lagi mampu untuk bertahan.

“Pak—“

“Ojo!2 Bapak tinggal punya kamu. Tahan!”

“Tapi, Pak. Aku ndak tahan lagi!”

Asri melihat potret ibunya di satu-satunya pigura yang mengantung miring di dinding anyaman bambu rumah mereka. Sulastri meninggal tiga bulan yang lalu. Marto ada di sisinya ketika helaan napas terakhir Lastri, panggilan sayang Marto, terdengar. Ia mengingat betul jika kematian itu memang ada.

Ancaman itu memang ada.

Apa yang dikatakan seluruh warga desa tentang pagebluk3bukan hanya cerita dongeng sebelum tidur. Istrinya tidak pernah mengeluh sakit seperti pagi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun