Mohon tunggu...
Siti Nur Azizah
Siti Nur Azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa komunikasi yang ingin belajar banyak hal dengan ketertarikan mengenai teknologi informasi, media, lingkungan hidup, travel, musik, entertaiment dan bahasa. Fokus dalam komunikasi, kepemimpinan, team work, individual, berpikir kritis, dan kreatif. Terbuka akan saran dan kritikan demi kemampuan dalam menulis dikemudian hari.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ramai Tiru Citayam Fashion Week, Perlukah Khawatir?

10 Agustus 2022   22:22 Diperbarui: 10 Agustus 2022   22:32 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramai diperbincangkan netizen, istilah Citayam Fashion Week sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Tren street fashion ini dilakukan oleh para remaja yang nongkrong hingga beradu fashion di kawasan Sudirman yang berasal dari Citayam, Bogor, Bojong Gede dan Depok. 

Sudirman yang berlokasi di Jakarta Pusat memang memiliki pemandangan dengan banyak gedung bertingkat, ramah pejalan kaki, dan pepohonan yang membuat lokasi itu layaknya di luar negeri. Selain itu, disana ada banyak cafe, coffee shop, dan juga akses transportasi yang strategis seperti KRL, MRT dan Transjakarta yang sangat mudah terjamah oleh remaja tersebut untuk tempat nongkrong.

Tren ini viral dengan semakin banyaknya konten foto dan video yang dibuat oleh para remaja tersebut lalu disebarkan ke TikTok, Instagram dan media sosial lainnya. Masyarakat sekitar pun ramai berbondong datang ke Kawasan Sudirman, lebih tepatnya di SCBD, akronim dari Sudirman Central Business District, untuk melihat langsung fenomena Citayam Fashion Week tersebut.

Tidak hanya dari kalangan masyarakat biasa, ada banyak artis, model, selebgram, dan content creator yang ikut meramaikan tren fashion ini. Layaknya model yang sedang melakukan catwalk, para remaja itu menggelar hal yang sama di sebuah zebra cross dan menjadikan ajang beradu fashion dengan pakaian terbaik mereka, mulai dari gaya yang casual, nyentrik, formal, pakaian daerah hingga muslim. 

Dari kegiatan ini, mulailah dikenal dengan Citayam Fashion Week. Bahkan ada pengusaha yang sempat ingin membuatkan brand untuk ajang ini, namun karena banyak keresahan yang timbul di media sosial, gagallah usaha pengusaha tersebut untuk mendaftarkan fenomena ini menjadi sebuah brand di Indonesia.

Dapat disebut bahwa Citayam Fashion Week ialah sebuah kreasi dari para remaja tersebut dalam meniru Paris Fashion Week. Adaptasi budaya yang mereka lakukan ada dalam gaya fashion mereka yang gunakan dengan menggunakan brand lokal dan UMKM di Indonesia, berbeda dengan Paris Fashion Week yang diikuti oleh Desainer terkenal. 

Akhirnya, menyebarlah tren fashion yang meniru konsep Citayam Fashion Week di beberapa daerah di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Makassar, Madura dan lainnya. Menjadi salah satu proses reproduksi budaya yang merupakan sebuah proses kreatif dari ajang gaya busana di dunia internasional untuk ditiru di budaya yang ada di Indonesia dengan gayanya tersendiri ini sangatlah terbantu dengan dipengaruhi keberadaan media sosial sebagai tempat berbagi, berekspresi, berprestasi dan juga bekerja mencari penghasilan.

Seperti di Braga, Bandung, yang juga terinspirasi disebut dengan Braga Fashion Week. Namun, perbedaan dari Citayam Fashion Week, yaitu pergelaran yang ada di Braga ini lebih terkonsep rapi dengan tujuan utama dalam menunjukkan ciri khas remaja kota Bandung. 

Kemudian ada dari daerah di Yogyakarta, yaitu Malioboro Fashion Week dengan tampilan tema tradisional yang diajangkan oleh kalangan perempuan remaja dan dewasa di jalanan tersebut. Dukungan dari netizen dan pemerintah pun berdatangan, karena mereka mengusung kearifan lokal dan budaya seperti halnya yang sedang dilakukan pemerintah dalam mendaftarkan kebaya kepada Unesco sebagai warisan budaya dunia tak benda seperti batik. 

Namun, ada di Sukabumi, aksi para remaja yang melakukan tren street fashion ini sempat mendapat kritikan dari netizen. Sebab, pagelaran tersebut mereka lakukan dengan cara menyebrang jalan raya.

Tentu sangat dikhawatirkan karena dapat membahayakan keselamatan mereka saat berlenggak-lenggok seperti model dengan busana yang warna-warni dan cukup nyentrik. Catwalk yang dilakukan berada di Jalan raya Sukabumi-Bogor dengan ramainya lalu lintas pengendara menjadi pertimbangan dalam menirukan konsep tren fashion jika hanya demi konten dan popularitas narsistik, untuk kemudian di upload melalui media sosial yang mereka miliki seperti Instagram, TikTok, YouTube hingga Facebook.

Jika adaptasi tren fashion ini dilakukan dengan cara yang baik dan pada tempat yang tidak mengganggu keamanan, aktivitas serta keselamatan dari masyarakat sekitar dengan tetap menjaga kelestarian dan membawa budaya lokal masing-masing untuk disebarkan secara luas itu tidak ada yang salah untuk diikuti. Di satu sisi, promosi perlakuan LGBT juga harus dilarang secara tegas saat mulai terhendus di tren fashion tersebut di beberapa daerah agar tidak terdapat kecolongan atas tindakan  semu tersebut yang tentunya bertentangan dengan budaya yang dimiliki Indonesia.

Ruang publik, tempat yang dipakai untuk tren urban street fashion menjadi ruang yang dapat dimanfaatkan untuk berkreasi, dan berekspresi. Didukung adanya media massa yang beragam dan luasnya interaksi yang dilakukan para remaja di media sosial, sangatlah potensial untuk dikembangkan menuju arah perkembangan fashion Indonesia ke arah lebih baik, diketahui juga mereka menggunakan brand-brand lokal untuk mendukung UMKM yang memberikan angin segar bagi para pelaku usaha kecil tersebut.

Hal ini sebenarnya mempunyai sisi positif dan negatif, tetapi kita tidak boleh melupakan hingga meninggalkan budaya tradisional dalam budaya daerah masing-masing. Beradaptasi dalam perubahan dengan mengikuti tren dan globalisasi di dunia digital saat ini, tidak dipermasalahkan, jika dipahami dengan pengimpelementasi yang seimbang antara dunia modern kontemporer dengan tetap menjaga kelestarian budaya, nilai, dan norma-norma di masyarakat. Hal yang kurang tepat itu jika kita mengikuti tren tersebut hanya karena ingin menjadi viral/populer, narsistik, dan haus akan pujian di dunia maya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun