Abstrak:
Buku berjudul Hukum Warisan Islam dalam Teori dan Praktek ini ditulis oleh Dr. H.M. Anshary MK, S.H., M.H. Terdapat 3 bab, salah satunya adalah bab peraturan umum. Bab ini membahas banyak faktor, antara lain: pengertian dan kewajiban ahli waris sebelum membagi warisan, alasan pewarisan, dan alasan larangan pewarisan. Selain teori, buku ini juga memberikan contoh kasus dan solusi untuk membantu mereka yang ingin meneliti dan mempelajari lebih lanjut tentang hukum waris Islam di Indonesia dengan lebih mudah. Materi dalam buku ini penting bagi hukum waris karena berlaku bagi pengadilan agama dan pengadilan syariah dalam menjalankan fungsi peradilannya. Sebagaimana diketahui, persoalan sengketa waris sudah lama berada di luar kewenangan pengadilan agama di Jawa dan Madura serta sebagian Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur khususnya sejak tahun 1937, sehingga persoalan hukum waris juga tidak banyak mendapat perhatian. perhatian. perhatian para hakim agama. Hukum waris tidak lagi hangat diperbincangkan hingga Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Syariah untuk mempertimbangkan, memutus, dan menyelesaikan sengketa waris.
Kata kunci: Hukum Kewarisan, Waris, QS An-Nisa
Pendahuluan
Hukum waris dalam Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan hak waris (tirkah) ahli waris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris. Hukum waris ini merupakan bagian dari hukum keluarga (al-Ahwalus Syahsiyah) dan penting untuk dikaji karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia dalam masyarakat.
Sumber hukum waris dalam agama Islam terdapat dalam Al-Qur'an. a dan hadis yang mengatur pembagian warisan menurut aturan Islam. Warisan dalam Islam menjadi topik yang banyak diminati banyak orang karena pembagian warisan seringkali menimbulkan akibat buruk bagi keluarga yang ahli warisnya meninggal.
Hukum kewarisan islam di Indonesia mengalami pergeseran yang begitu signifikan sehingga terjadi kontradiksi hukum antara hukum terapan Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar'iyah dengan Hukum kewarisan yang diterapkan dalan masyarakat.
A. Pengertian
Hukum Kewarisan
  Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur ten- tang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (trkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dari definis di atas, ada beberapa aspek dalam hukum kewarisan:
Pertama, adalah tentang pemindahan hak pemilikan harta warisan pewaris. Peralihan hak milik pewaris kepada para ahli warisnya berlaku secara ijbar. Salah satu asas yang sangat prinsipil dalam hukum kewarisan Islam adalah asas ijbari. Asas ini mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris nya berlaku dengan sendirinya tanpa tergantung kepada ke- hendak pewaris atau kehendak para ahli warisnya.
Kedua, adalah mengenai siapa-siapa yang termasuk ahli waris. Hukum kewarisan juga menentukan tentang siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan bagiannya masing-masing. Ketentuan semacam ini dijumpai dalam penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Un- dang-undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai perubahan kedua. Yang bunyinya" Yang dimaksud dengan "waris" ada- lah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan menge- nai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang pe- nentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian ma- sing-masing ahli waris".
Ketiga, adalah menyangkut masalah bagian peroleh- an masing-masing ahli waris. Di dalam al-Qur'an surat an- Nisa' [4]: 11, 12 dan ayat 176 ditegaskan beberapa kelom- pok ahli waris yang memperoleh saham 1/2, 1/3, 14, 1/6, dan 1/8 bagian, kelompok ahli waris ini lazim dikenal dengan istilah ahli waris "dzawil furudh", yaitu ahli waris yang telah ditentukan besaran bagiannya secara tegas di dalam nash.
Pewaris:
  Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Ahli waris:
  Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan per- kawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Harta Peninggalan:
  Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi milik- nya maupun hak-haknya. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pada saat pewaris meninggal dunia, masih bercampur antara harta bersama bagian pewaris dengan bagian pasangan yang hidup lebih lama, masih tergabung pula dengan harta wasiat, masih tergabung dengan biaya pengurusan mayat, biaya-biaya untuk pelunasan utang-utang pewaris.
B. Kewajiban Ahli Waris Sebelum Membagi Harta Warisan
  Setelah seseorang dinyatakan meninggal dunia, maka muncullah beberapa kewajiban bagi para ahli waris terha dap pewaris untuk menunaikannya sebelum harta warisan pewaris tersebut dibagikan kepada ahli warisnya. Kewa- jiban-kewajiban tersebut adalah sebagai berikut.
1. Biaya pentajhizan/pengurusan mayat. Biaya-biaya di maksud menyangkut biaya untuk membeli tanah ku- buran, biaya pemandian, pengkafanan, dan biaya pe- makaman
2. Membayar utang-utang si mayit, bila ada.
3. Menunaikan wasiat si mayit, bila ada.
Ketiga hal di atas harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum hartawarisan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya. Pembayaran ketiga hal tersebut dibebankan kepada harta warisan pewaris, yang terdiri dari harta asal pewaris ditambah dengan bagian dari harta bersama.
   a.) Harta asal dapat berupa
Harta yang diperoleh pewaris sebelum nikah, seperti hasil dari gajinya yang dibelikan tanah, rumah, emas, deposito dan sebagainya,
Harta yang diperoleh pewaris dalam bentuk hibah, wasiat atau warisan baik diperoleh sebelum maupun setelah pewaris menikah.
  b.) Harta bersama atau harta kekayaan dalam perkawin- an adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa
C. Sebab-sebab Mewarisi
  Dalam kajian fiqh Islam, ada beberapa hal yang me- nyebabkan seseorang dengan orang lain saling warns me warisi, yaitu
1.) Karena hubungan pertalian darah.
Ajaran Islam mengatur bahwa hubungan kekerabat an melalui pertalian darah merupakan faktor penyebab an tara seseorang dengan orang lain saling waris mewarisi Kekerabatan melalui hubungan darah dapat dalam bentuk hubungan kekerabatan dalam garis lurus ke atas, atau kekerabatan dalam garis lurus ke bawah serta kekerabatan dalam garis menyamping.
-Kekerabatan dalam garis lurus ke atas terdiri dari bapak, ibu, kakek atau nenek dari pihak ayah atau dari pihak ibu Paman atau bibi dari pihak ayah atau pihak ibu Ketentuan ini dapat dilihat dalam al-Qur'an surat an-Nisa' [4] 11.
-Kekerabatan garis lurus ke bawah yaitu anak, cucu dan seterusnya ke bawah. Ketentuan ini dijumpai dalam al-Qur an surat an-Nisa' [4] 11.
-Kekerabatan garis menyamping, adalah saudara se kandung, saudara seayah, saudara seibu dan keturunannya Islam membedakan kewarisan saudara seibu dengan saudara kandung dan saudara seayah Ketentuan tentang kewarisan saudara seibu dijumpai dalam al-Qur'an surat an- Nisa [4] 12.
2.) Karena ikatan perkawinan yang sah.
   Hubungan kekerabatan yang menyebabkan hak saling mewaris antara suami dan istri adalah ketika pewaris pada saat meninggalnya masih dalam ikatan perkawinan sah dengan pasangannya yang hidup terlama. Hal ini ditegas. kan dalam al-Qur'an Surat an-Nisa [4]: 12.
Suami atau istri dalam mewaris selalu mempunyai kedudukan sebagai dzawil furudh, dan sebagai ahli waris dzawil furudh ia pun berhak memperoleh bagian dari sisa bagi secara raad sebagaimana ia pun harus memikul kekurangan perolehan manakala pembagian harta warisan harus dilakukan secara aul.
3.)Â Karena Kesamaan Iman Pewaris dan Ahli waris
   Kompilasi Hukum Islam memberikan satu syarat lagi tentang sebab adanya saling mewarisi di samping adalah adanya hubungan pertalian darah dan pertalian perkawinan sebagaimana disebutkan di atas, adalah bahwa seorang ahli waris dan pewaris harus memiliki iman dan akidah yang sama, yaitu sama-sama berakidah Islam. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 171 huruf b dan e Kompilasi Hukum Islam, bunyinya sebagai berikut:
- Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Peng- adilan beragama Islam, meninggalkan ahh waris dan harta peninggalan.
- Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Ketentuan di atas secara tegas memberikan suatu ke- tentuan final bahwa faktor kesamaan iman dan akidah antara ahli waris dan pewaris merupakan faktor yang sa- ngat menentukan untuk saling mewaris antara pewaris dan ahli waris.
D. Sebab-sebab Terhalang Waris
   Ada beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dinyatakan terhalang menerima warisan dari harta yang ditinggalkan pewaris. Dalam fiqh klasik ulama sunni ditentukan bahwa ada empat faktor yang menyebabkan seserang terhalang menerima warisan dari pewaris, yaitu: perbudakan, pembunuhan, berlainan agama, berlainan negara (alasan ini, ikhtilaf di antara ulama).
  Di negara-negara Islam dewasa ini, begitupun dunia internasional termasuk Indonesia telah melarang adanya perbudakan, dan perbudakan dinyatakan bertentangan dengan dan melanggar hak-hak asasi manusia. Dengan demikian faktor perbudakan tidak dimasukkan lagi sebagai peng- halang mewarisi. Demikian juga halnya dengan faktor ber- lainan negara, para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Dalam konteks keindonesiaan, faktor-faktor penghalang mewarisi adalah: berbeda iman/agama antara pewaris dengan ahli waris,  pembunuhan, dan Memfitnah.
1.) Berbeda iman.
Rasulullah saw menegaskan bah- wa faktor perbedaan iman antara ahli waris dengan pewa- ris menyebabkan mereka tidak saling mewarisi Sebaliknya kesamaan iman merupakan prasyarat utama saling mewa- risi antara ahli waris dengan pewaris. Jumhur ulama sepakat dalam hal ini.
Bagaimana dengan seorang ahli waris yang murtad. Seseorang yang murtad adalah orang yang telah keluar dari iman Islam, ia telah ingkar akan adanya Allah SWT Sang Pencipta, dengan demikian orang tersebut telah menjadi kafir, karena itu ia disebut orang kafir. Dengan demikian seorang ahli waris yang murtad karena predikatnya adalah kafir, maka dia tidak berhak mendapat warisan pewaris yang muslim.
   Dalam Pasal 171 huruf b dan e Kompilasi Hukum Islam dipertegas lagi bahwa adanya hak saling mewaris apabila pewaris dan ahli waris mempunyai iman dan akidah yang sama Apabila mereka tidak seiman dan tidak seakidah, maka nereka tidak saling mewarisi.
2.)Â Pembunuhan
   Pembunuhan dimaksudkan adalah seseorang ahli wa- ris yang membunuh pewaris. Ahli waris yang membunuh pewaris terhalang untuk mewaris harta warisan pewaris. Tindakan pembunuhan dapat terjadi dalam beberapa keadaan, yaitu pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena tersalah/ tidak sengaja.
- Imam mahzab berbeda pendapat dalam hal ini:
Mazhab Hanafi dan mazhab Syafi': berpendapat bahwa semua macam pembunuhan sebagaimana tersebut di atas, menghalangi seseorang mendapat warisan dari pewarisnya.
- Mazhab Maliki: berpendapat bahwa pembu- nuhan yang dapat menggugurkan hak mewaris hanyalah pembunuhan yang dilakukan ahli waris dengan sengaja, sedangkan dua macam pembunuhan lainnya tidak meng- gugurkan hak waris ahli waris.
- Menurut mazhab Hanbali: setiap pembunuhan yang dihukum dengan hukuman qi- shash, diyat, atau kafarat saja yang menggugurkan hak waris. Pembunuhan yang tidak diancam dengan hukuman tersebut tidak mengugurkan hak waris.
3.)Â Memfitnah Pewaris
   Fitnah adalah tuduhan, cerita dan sebagainya yang diadakan untuk menjelekkan orang lain. Pasal 173 huruf b Kompilasi Hukum Islam tersebut merumuskan fitnah sebagai tindakan ahli waris yang mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan, dan kejahatan itu ancaman hukumannya adalah 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Rumusan Kompilasi Hukum Islam di atas secara spesifik mengatur masalah memfitnah pewaris yang dilakukan oleh ahli warisnya dengan tujuan-tuujuan tertentu.
Tindak pidana apa saja yang ancaman hukumannya lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Kta lihat beberapa Pasal dalam KUHP yang mengatur tindak kejahatan yang dapat diancam dengan hukum lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat, seperti:
- Pasal 104 KUHP Pasal ini mengatur ancaman hu- kuman kepada orang yang melakukan aanslag (maker atau penyerangan) dengan niat hendak membunuh, me rampas kemerdekaan, atau menjadikan tidak cakap memerintah, Presiden atau Wakil Presiden. Tindakan tersebut hukumannya lebih berat daripada hukuman lima tahun penjara, yakni hukuman mati atau hukum- an penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
- Pasal 154 KHUP, yang mengancam seseorang yang menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan di muka umum kepada pemerintah Indonesia, dihukum dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
- Pasal 224 KHUP, mengancam seseorang dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, bagi siapa yang meniru atau memalsukan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara, dengan tujuan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan.
E. Masalah AUL
  Masalah Aul timbul karena furud lebih besar dari keadaan harta warisan, (dalam bahasa matematika, pembilang lebih besar dari penyebut), sehingga setelah di- adakan pembagian harta warisan, harta sudah habis terbagi sedangkan di antara ahli waris masih ada yang belum mendapat haknya sesuai dengan furudnya yaitu bagian yang telah ditetapkan menurut al-Qur'an atau sunnah.
Dalam masalah aul terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan,sebagai berikut:
1. Para ulama jumhur tidak membedakan antara ahli waris dzawil furudh yang mempunyai hu bungan kekerabatan melalui rahim dengan pe waris seperti anak, saudara, dengan dzawil furudh yang mempunyai hubungan kekerabatan melalui perkawinan seperti suami atau istri, semua ahli waris dzawil furudh menanggung risiko memper oleh bagian kurang dari semestinya oleh sebab ter- jadi aul Tetapi adalah masalah raad, kelebihan bagi/ sisa harta hanya diraadkan/dikembalikan kepada ahli waris dzawil furudh yang ada hubungan rahum saja, dan tidak kepada ahli waris yang hubungan kekerabatannya dengan pewaris melalui perkawinan. Karena itu, menurut ulama jumhur, suami atau istri tidak menerima raad karena bukan ahli waris berdasarkan rahim, tetapi dia menerima risiko dalam masalah aul. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam tidak membedakan ahli waris dzanoil furudh melalui rahim dan ahli waris daawil furudh melalui perkawinan, baik dalam kasus aul maupun dalam kasus raad. Hal ini didasarkan ke- pada ketentuan Pasal 192 Kompilasi Hukum Is- lam yang berbunyi: "Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzamoil furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisma dibagi secara aul menurut angka pembilang".
2. Dalam masalah aul maupun masalah raad, ahli waris hanya terdiri dari ahli waris dzawil furudh saja, tidak ada ahli waris ashabah.
3. Dalam menyelesaikan kasus aul, Kompilasi Hu- kum Islam memilihcara penyelesaian yang ditempuh ulama jumhur, yakni dengan cara me- naikkan angka penyebut sehingga sesuai dengan angka pembilang, sebagaimana diatur dalam Pa- sal 192 Kompilasi Hukum Islam tersebut.
F. Dzawul Raad
   adalah ahli waris yang berhak menerima sisa harta/sisa bagi setelah warisan dibagikan kepada ahli waris yang berhak/dzawil furudh. Raad baru dapat terjad manakala dalam ahli waris itu semua ahli waris berkedu dukan sebagai dzawil furud, dan tidak ada ahli waris sh bal yang mengambil sisa harta. Apabila di antara ahli waris tersebut terdapat ahli waris ashabah, maka tidak akan ada sisa harta yang harus diraad-kan, karena ahli waris asha bah akan mengambil sisa harta tersebut.
Kelebihan: Di dalam buku ini menyajikan teori teori tentang hukum kewarisan. Selain itu disajikan juga contoh contoh kasus serta cara penyelesaian sehingga mempermudah bagi orang yang membaca dan mempelajari hukum kewarisan islam ini.
Kekurangan : Di dalam buku ini terdapat beberapa pembahasan yang di ulang ulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI