Kecanggihan teknologi memberi kemudahan bagi setiap manusia. Khususnya dalam hal penyebaran informasi. Orang dengan sangat cepat dapat bertukar pesan, bahkan dalam hitungan detik pesan sudah langsung terkirim. Apakah fenomena tersebut berpengaruh terhadap tingkat kesabaran seseorang?
Melatih kesabaran di masa lampau
Sedikit bercerita. Dulu, membutuhkan waktu sekitar satu minggu bahkan bisa lebih untuk bertukar pesan via telegram. Rasanya sudah biasa hal semacam itu di kalangan masyarakat klasik. Hari demi hari terlewati dengan rasa rindu yang semakin menggebu. Ini berlaku jika pesan tersebut ditujukan kepada orang yang spesial. Seperti halnya pasangan, orang tua, anak, kerabat, sahabat, atau teman.
Selain itu, pengiriman dokumen penting juga berlaku demikian. Butuh waktu cukup lama agar dokumen tersebut dapat sampai ke tujuan. Bahkan tidak jarang, ada dokumen atau surat yang rusak hingga hilang. Maklum lah, waktu itu belum ada sistem ekspedisi yang tertata seperti saat ini.
Tapi sekarang? Semua serba cepat. Hanya butuh hitungan detik pesan dapat terkirim. Ungkapan rindu semakin memiliki banyak variasi untuk mengeskpresikannya. Ada trouble jaringan sebentar saja, semua merasa panik seakan dunia ikut berhenti. Melihat tanda kirim pesan berbentuk jam yang artinya menunggu pesan terkirim saja rasanya sudah sukar tidak karuan. Karena terbiasa cepat, akhirnya sulit menerima keterlambatan. Hingga berujung pada sikap tidak sabaran. Saya tegaskan lagi, Apa benar semua itu berpengaruh terhadap tingkat kesabaran seseorang?
Budaya mengantri dapat melatih kesabaran seseorang
Dulu, anak-anak hingga orang dewasa memilki kebiasaan mengantri jika ingin membeli atau mendapatkan sesuatu di ruang publik. Mulai dari berdesakan hingga rela panas-panasan jika kondisinya memang demikian. Mau tidak mau, mereka harus mengantri untuk mendapatkan layanan. Meskipun demikian, namun mengantri memiliki manfaat yang cukup besar bagi kecerdasan emosional seseorang.
Dengan mengantri, seseorang dapat meningkatkan interaksi sosial. Karena dalam proses mengantri seseorang akan memulai percakapan dengan orang lain yang sama-sama sedang mengantri. Selain itu, mengantri juga dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang loh. Umumnya, seseorang akan merasa puas dan bangga jika sudah menyelesaikan antrian dan mendapatkan layanan. Ini sangat bagus untuk aspek psikologis seseorang. Ia akan lebih menghargai suatu capaian karena telah melewati proses yang cukup panjang.
Mengantri juga memiliki nilai kesetaraan. Tidak peduli siapa dan apa jabatannya, karena mengantri berpijak pada urutan kedatangan. Ini salah satu konsep adil. Dan yang terpenting, dengan mengantri seseorang akan terlatih untuk bersikap sabar.
Tapi sekarang? Â Budaya mengantri sudah mulai langka di masyarakat. Selain perilaku saling berebut antrian, ada juga faktor kecanggihan teknologi yang mulai mengurangi kegiatan mengantri di ruang publik. Misalnya, dalam proses jual beli yang sudah beralih dalam transaksi virtual. Sehingga mengurangi kerumunan dan antrian di toko, warung, hingga pasar. Tidak hanya itu, fitur layanan publik sudah beralih kepada sistem digital. Hingga tidak perlu lagi bersusah payah mengantri.
Bijak berteknologi adalah kunci
Tidak bermaksud menyalahkan zaman yang sudah serba canggih ini. Hanya saja berusaha menguraikan sisi negatif dari pesatnya teknologi informasi. Satu sisi, kemajuan ini sangat memudahkan, efektif, dan efisien. Namun, perlu adanya bangunan baru untuk melatih sikap sabar yang mulai terkikis di masyarakat karena zaman yang sudah super cepat pergerakannya.
Alih-alih bersabar, tidak sedikit orang malah mengutuk situasi menunggu. Wajar, karena mereka sudah terbiasa cepat dengan kecanggihan teknologi. Tapi bukan berarti hal tersebut patut dilumrahkan bukan?
Bijak dalam berteknologi adalah kunci. Kemudahan dalam mengakses informasi tidak lantas membuat kita bersikap serampangan. Maka, kemajuan teknologi harus kita syukuri bersama melalui kegiatan positif. Misalnya, tidak terburu-buru meyakini atau bahkan membagikan informasi yang belum jelas kebenarannya. Sempatkan diri untuk melakukan crosscheck terhadap informasi yang berseliweran di sosial media. Agar, kesimpangsiuran informasi tidak menciptakan kegaduhan atau perpecahan di masyarakat. Itu baru satu alternatif, masih banyak yang lainnya. Mari bijak berteknologi dan berkenan untuk menguraikan kebaikan-kebaikan dalam bingkai kemajuan teknologi untuk kemaslahatan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H