Secara etimologi, dalam Bahasa Indonesia kata sufisme berasal dari kata dasar "sufi" yang diberi akhiran 'isme". Sufi memiliki arti ilmu tasawuf; ahli ilmu suluk;" kemudian diberi akhiran "isme" yang dalam Bahasa Indonesia akhiran -isme mengandung makna 'ajaran, paham, aliran'. Sehingga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata sufisme adalah nama umum bagi berbagai aliran sufi dalam agama islam.
Sufisme memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga sufisme dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.Â
Sedangkan secara terminologi, sufi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seseorang hamba dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan yang mempunyai hubungan langsung penuh dengan kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, (Ittihad) atau menyatu dengan Tuhan.
Semua kaum sufi sependapat, bahwa satu-satunya jalan yang dapat mengantarkan seseorang ke hadirat Allah SWT hanyalah dengan kesucian jiwa. Oleh karena itu jiwa manusia merupakan refleksi atau pancaran dari zat Allah SWT yang suci, maka segala sesuatu itu harus sempurna (perfection) suci, sekalipun tingkat dan kesucian dan kesempurnaan itu bervariasi menurut dekat dan jauhnya dari sumber aslinya.Â
Dalam pandangan kaum sufi, ternyata manusia cenderung kepada hawa nafsunya. Manusia dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang mengendalikan hawa nafsunya. Oleh karena itu, banyak sekali manusia yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, mereka cenderung lebih mengutamakan kepuasan nafsunya ketimbang diri mereka sendiri. Hingga pada akhirnya menyebabkan banyak sekali manusia yang salah jalan dan hilang arah tujuan hidup yang sesungguhnya.
Berikut beberapa akhlak para kaum sufisme dalam pembentukan karakter muslim, yaitu :
a. Tawadhu
Akhlak mulia yang salah satunya mendapat perhatian para sufi ialah tawadhu. Kaum sufi antusias untuk menerapkannya pada diri mereka sebagai upaya meneladani akhlak mulia Nabi Muhammad SAW. yang merupakan suri tauladan umat islam pada bagian tawadhu. Dalam melaksanakan perilaku tawadhu para sufi menerapkan adab sesuai tuntunan Al-Qur'an dan mengimplementasikan tafsir mereka atas tawadhu seperti yang terkandung dalam (QS. Asy-Syu'ara : 215) yang artinya "Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman".
b. Al-Mudarah (Lemah Lembut)
Al-Mudarah bermakna mampu mengendalikan diri saat berinteraksi dengan orang lain dan saat disakiti oleh mereka. Dalam hal ini, kaum sufi meneladani akhlak Rasulullah SAW. yang diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah sekalipun menyakiti hati orang lain. Para sufi menerapkan perilaku lemah lembut dalam kehidupan pribadi dan kegiatan publik, atau dalam hubungan mereka dengan keluarga, bermasyarakat dan bernegara. Dengan perilaku santun dalam berinteraksi terhadap manusia, kaum sufi berarti cenderung terlibat dalam masyarakat dan tidak mengucilkan diri dari pergaulan sosial, meskipun harus bersinggungan dengan sebagian orang yang buruk perangainya.
c. Pemaaf
Kaum sufi juga menghiasi diri dengan sikap pemaaf, yaitu memaafkan orang yang berbuat jahat terhadap mereka. Dalam hal ini, mereka terinspirasi oleh Rasulullah SAW. yang mewartakan bahwa sikap pemaaf termasuk akhlak yang mulia.
Sikap pemaaf juga mereka aktualisasikan dengan membalas kejahatan orang dengan berbuat baik kepadanya sebab itulah budi dalam arti yang sesungguhnya, sedangkan jika tanpa itu makai a merupakan bentuk interaksi yang mirip dengan praktik dagang (almutaajarah).
d. Tobat
Tobat adalah meminta ampun yang tidak membawa kembali kepada dosa lagi. Langkah pertama adalah tobat dari dosa kecil dan dosa besar. Tobat yang sebenarnya dalam dunia tasawuf adalah lupa kepada segala hal kecuali kepada Allah SWT.
e. Zuhud
Zuhud adalah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Ini merupakan pendekatan penting dalam tahap awal perjalanan spiritual. Untuk memantapkan tobat calon sufi memasuki station zuhud. Zuhud merupakan langkah awal dalam perjalanan untuk menuju kehidupan seorang sufi.
f. Wara
Wara yang meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya terdapat syubhat (keragu-raguan) tentang halalnya sesuatu. Dalam dunia tasawuf, kalau seseorang telah mencapai wara, maka tangannya tak bisa diulurkan untuk mengambil yang di dalamnya terdapat syubhat.
g. Kefakiran
Kefakiran dalam istilah sufi adalah tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban, bahkan tidak meminta kendatipun tak ada pada diri kita.
h. Sabar
Sabar dalam menjalankan perintah-perintah, dalam menjauhi larangan-larangan dan menerima musibah, cobaan dan ujian yang ditimpakan-Nya seraya menunggu datangnya pertolongan Allah SWT.
i. Tawakkal
Tawakkal yaitu berserah diri pada Allah. Sikap tawakkal kaum sufi ialah menerima pemberian dengan rasa syukur, kalau tidak dapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Allah SWT.
j. Kerelaan
Ridha atau kerelaan yaitu tidak menentang terhadap qada dan qadar Allah SWT, melainkan menerima dengan senang hati. Karena itu seorang sufi akan merasa senang baik ketika menerima nikmat maupun ketika menerima malapetaka.
k. Mahabbah (cinta)
Yang dimaksud di sini adalah cinta kepada Allah SWT yang ditampilkan dalam bentuk kepatuhan tanpa reserve, penyerahan diti secara total, dan pengosongan hati dari segala sesuatu kecuali yang dikasihi, yaitu Allah SWT. Hati yang mahabbah dipenuhi dengan cinta sehingga tidak ada tempat untuk benci kepada apa dan siapa pun. Ia mencintai Tuhan dan segenap makhluk-Nya.
l. Makrifah
Makrifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Di station ini telah dekat sekali dengan Tuhan, tetapi ia belum puas dengan berhadapan, ingin lebih dekat lagi dan bersatu Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan menurut kaum sufi ada tiga macam, yaitu :
1) Pengetahuan awam, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan syahadat.
2) Pengetahuan ulama, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan akal.
3) Pengetahuan sufi, yaitu Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
m. Al-Fana wal Baqa
Sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan, terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran itu disebut fana. Penghancuran dalam istilah sufi selalu diiringi dengan baqa.
Fana yang dicari kaum sufi adalah penghancuran diri, yaitu hancurnya perasaan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalua sufi telah mencapai fana an nafs, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal adalah wujud rohaninya dan ketika itu ia dapatkan bersama dengan Tuhan.
n. Al-Ittihad
Dengan hancurnya kesadaran diri seorang sufi, tinggallah kesadaran tentang Tuhan, ia pun sampai ketingkat ittihad, yaitu satu tingkat tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka memanggil yang lainnya dengan kata-kata : wahai aku.
Kesimpulan :
Nabi Muhammad SAW. diutus oleh Allah SWT. untuk menyempurnakan akhlak, di tengah masa di mana akhlak manusia banyak yang tidak sesuai dengan kaidah islam. Salah satu faktor pendukung berhasilnya dakwah Nabi Muhammad SAW. adalah akhlak mulia yang hingga hari ini tetap jadi suri tauladan seluruh umat islam. Akhlak mulia Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan tersebut bisa kita temui pada diri kaum sufisme yang memang dalam segala aspek lebih unggul dibandingkan dengan kita yang masih awam.
Penulis : Siti Nia Rahmah
Dosen Pengampu : Dr. Hamidullah Mahmud L.c, M.Ag
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H