Mohon tunggu...
Siti Nazwasyah Nurkayla
Siti Nazwasyah Nurkayla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia

Saya adalah mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal yang memiliki hobi dalam meningkatkan dan mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyoroti Sengketa Pajak: Tantangan Etika dalam Penagihan Pajak yang Membangun Keadilan

4 Desember 2023   22:18 Diperbarui: 5 Desember 2023   00:45 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada suatu hal yang sifatnya koersif (pemaksaan) dan ada hukum yang sifatnya memaksa berkaitan dengan penerimaan. Hukum yang mengatur sifatnya harus spesifik dan dianggap semua WNI dapat memahaminya sehingga ada pemaksaan. Selain itu, terdapat defensif dari yang dipaksa untuk bisa melawan atau mempertahankan argumentasi penghitungan pajaknya. Maka berlaku asas presumptio iustae causa, yaitu setiap putusan dari hukum yang sifatnya memaksa akan dianggap benar sebelum ada pembuktian sebaliknya. Sengketa bermula ketika adanya pemeriksaan, jadi kalo udah ada pemeriksaan kecuali pengajuan lebih bayar itu sudah berlaku sengketa pajak. Sengketa yang timbul di bidang pajak antara lain adalah Wajib Pajak  (WP) dengan fiskus. Hal yang disengketakan adalah suatu putusan mulai dari hasil pemeriksaan SKP, putusan banding, dan gugatan yang nanti akan diajukan ke pengadilan pajak. Termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Perbedaan penafsiran atau interpretasi relasinya dengan asas certainty atau tidak ada asas certainty karena regulasinya tidak jelas. Jadi, terdapat perbedaan dalam interpretasi karena belum jelas sehingga dianggap sebagai kekosongan hukum (gray area). Biasanya berlaku untuk pajak yang peraturannya sudah ada dari tahun 2020, tetapi peraturan turunannya baru terbit di tahun 2023.  Walaupun sudah certain regulasinya, hal tersebut dapat menyebabkan ketidaksinkronan antar satu regulasi dengan lainnya, seperti undang-undang dengan turunan atau turunan dengan undang-undang (vertikal) dan PMK dengan  permendagri (horizontal). Dalam hal ini, perlu ada tindakan supaya regulasi dapat lebih jelas dan dipahami dengan baik oleh seluruh WP. Dikarenakan hal tersebut dapat menjadi tantangan etika akibat ketidakpastian antar pihak.

Penelitian dan pemeriksaan merupakan proses awal cikal bakal sengketa pajak. Awalnya hanya ada dua pihak yang terlibat, yaitu fiskus dan WP. Namun, dalam upaya menjamin keadilan bagi WP dan fiskus atau kedua belah pihak yang bersengketa, maka dibentuklah pengadilan khusus, yaitu pengadilan pajak yang bertugas menjadi pihak ketiga ketika pihak bersengketa dan melanjutkan upaya sengketa pajaknya melalui upaya hukum level berikutnya.

Tahap pertama, yaitu keberatan yang hanya melibatkan WP dan DJP. Masih dalam ranah DJP karena seringkali self assessment system dan withholding tax system dianggap tidak sesuai sehingga menetapkan Pasal 12 UU KUP dan menetapkan secara jabatan (official assessment system). Kemudian, terbitlah Surat Keputusan (SKPKB, SKPLB, SKPN atau SKPKBT), jika WP tidak setuju dengan ketetapan tersebut dan 3 bulan setelah dikirim SKP WP dapat mengajukan permohonan keberatan (pasal 25 UU KUP 2007) yang dimana DJP harus memproses keberatan tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Keberatan. Putusan paling lama 12 bulan sejak surat keberatan diterima dan hasilnya bisa berupa menerima atau menolak baik seluruh atau Sebagian yang dietatpkan dengan sanksi  atau imbalan bunga. Jika lebih dari 12 bulan tidak diputus, maka dianggap dikabulkan permohonan WP. boleh WP dapat mengajukan data pendukung selama belom diputus keberatan (data-data baru, novum yang bisa memperkuat posisi WP). Terdapat sanski administratif sebesar 30%, tetapi jika lanjut ke banding sanski 30% tidak discharge karena ditabung dulu sampai putusan banding keluar.

Tahap kedua, yaitu banding berupa upaya hukum yang dilakukan oleh WP atau penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding (Pasal 1 angka 6 UU KUP). Dalam banding terdapat penyampaian surat permohonan banding yang diajukan oleh WP. Pengadilan pajak menjadi pihak ketiga atau jambatan ke pihak yang bersengkatan. Surat permohonan banding disampaikan WP ke Pengadilan Pajak (PP). Kemudian, PP menyampaikan surat permohonan banding itu ke terbanding, DJP. DJP membuat balasan berupa surat uraian dan tanggapan banding (Pasal 1 angka 8 dan 9 UU PP 2002). Ketika surat uraian banding dan surat tanggapan sudah disampaikan pihak tergugat atau terbanding ke PP, maka PP melanjutkan surat tersebut. WP bisa membantah dengan surat bantahan (Pasal 1 angka 10 UU PP 2002). Jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3), (3a), atau pasal 25 ayat (7) UU KUP atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh s.d. satu bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding.  Imbalan bunga presentasenya sama dengan keberatan, tetapi untuk sanksinya adalah 60% dan jika tidak dilunasi akan terbit surat paksa karena keputusan akhir di level pengadilan.

Tahap ketiga adalah Peninjauan Kembali. Negara memberi kesempatan melalui upaya hukum di level mahkamah agung untuk juidicial review. Dalam hal ini, di level PK ada membayar panjar terlebih dahulu dan hanya dapat diajukan sekali. Putusan PP yang disengketakan dalam PK dan diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahui terdapat tipu muslihat, tidak dikabulkan hal yang dituntu, dan ditemukannya novum. Penyelesaian sengketa pajak tidak hanya menggunakan keberatan, banding, dan PK. Tetapi, ada alternatif lain, yaitu pengurangan dan pembatalan kesalahan yang sifatnya formal (Pasal 16 dan Pasal 36 UU KUP), serta gugatan alternatif WP ke PP selain banding tanpa proses keberatan kesalahan material, seperti utang pajak (Pasal 23 -- pengadilan pajak dan Pasal 36 -- judicial review kecil UU KUP). Jika tidak bisa diselesaikan dengan dua tadi itu langsung menggunakan keberatan, dan jika  ingin mengajukan banding harus ke keberatan terlebih dahulu. Akan tetapi, perlu diperhatikan karena sejatinya proses penyelesaian sengketa terdapat cost of tax yang tinggi, jadi kalau tidak perlu keberatan langsung saja dengan alternatif kedua tadi. Selama tax management baik, menyuarakan idealisme baik, dan secara material juga worthy jumlah pajak terutangnya, maka lanjut ke keberatan, banding, dan PK. Dikarenakan akan ada imbalan bunga bagi yang menang tetapi juga ada potensi sanksi administrasi kalau kalah.  

Setelah itu, terdapat penagihan pajak, yaitu serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Diperlukannya penagihan pajak sesuai pasal 21 UU KUP yang terdapat hak pendahulu dan secara karakteristik pajak memiliki sifat memaksa, maka negara dapat memaksa dengan surat paksa. Penagihan pajak menjadi upaya hukum terakhir yang dilakukan oleh fiskus untuk menagih utang pajak. Di pasal 22 ayat (1) UU KUP untuk menagih pajak itu 5 tahun. Namun, bisa tertangguh sejak diterbitkan surat paksa sehingga bisa lebih dari 5 tahun. Maka, WP perlu serius melakukan penyimpanan dokumentasi perpajakannya s.d. 10 tahun karena terkait hak negara mengenai utang pajak. Terdapat dua cara, yaitu pasif (SPT, SKP, dan Official Assessment System) dan aktif (Surat Paksa). Sebelumnya terdapat penagihan seketika dan sekaligus terlebih dahulu sebagai upaya alternatif dari penagihan pajak dengan surat paksa (PPSP) agar mencegah WP untuk kabur dan dilakukan oleh jurusita yang meliputi seluruh utang pajak.

Ketika SPT terbit dengan jangka waktu 1 -- 2 bulan tidak dibayarkan dan tidak direspon, maka akan terbit surat teguran. Terbitnya surat teguran itu adalah awal mula PPSP. Kemudian, dalam jangka waktu 21 hari kerja, sejak surat teguran tidak di respon oleh WP atau tidak dilunasi utang pajaknya, akan terbit surat paksa dan dalam 2x24 jam harus dilunasi. Terdapat warning terakhir dari jurusita dan ketika surat paksa tidak berhasil membuat WP membayar pajaknya akan dilakukan penyitaan. Barang yang disita adalah harta untuk melunasi utang pajak termasuk ada dua orang saksi. Jika, penyitaan tidak dihadiri oleh PP, harus tetap dilakukan penyitaan karena surat paksa yang punya parate eksekuti (kekuatan eksekutorial). Jadi, kalo WP tidak ada, tetap bisa disita. Penyitaan akan diberhentikan ketika utang pajak sudah lunas atau terbit putusan BPSP (keberatan atau banding diterima) atau ditetapkan lain oleh Menteri penyitaannya diberhentikan. Penyitaan akan dilelang oleh kantor lelang, sedangkan jurusita tidak boleh terlibat dalam lelang, tetapi tetap mendapatkan biayanya sesuai dengan compliance approach. Kemudian dari pihak jurusita yang sedarah dan semenda tidak boleh membeli barang  yang disita sehingga barang-barang akan dijual dengan penilaian harga jual sesuai kantor lelang. 

Etika adalah norma yang mengatur perilaku manusia baik secara individu/sekelompok. Dalam hal ini, terdapat beberapa jenis etika yang diterapkan dalam sengketa pajak dan penagihan pajak. Salah satu etika yang digunakan, yaitu etika normative berfokus pada standar penilaian atas benar dan salahnya suatu tindakan. Timeline dari sengketa pajak sendiri sangat berlarut terdapat time cost, physicology cost, dan administrative cost yang harus dikeluarkan oleh WP. Maka, dalam sengketa pajak terdapat peran penting etika yaitu memenuhi keadilan dengan menyelesaikan sengketa pajak secara adil. Dalam beberapa kasus terdapat penagihan pajak yang agresif dan tidak etis sehingga menyebabkan konflik antara WP dan DJP. Contohnya  WP dapat mensiasati untuk membayar uang muka 100% saat mengajukan keberatan supaya ketika ditolak atau dikabulkan sebagian tidak akan terkena sanksi dan mengurangkan potensial sanksi. Jika hal tersebut terjadi akan terdapat konsekuensi dari suatu tindakan (Immanuel Kant) tujuan etika harus bisa menciptakan lingkungan yang dapat mendorong penyelesaian sengketa pajak dengan tetap menghormati kedua belah pihak. 

Sumber etika yang digunakan dalam sengketa pajak juga harus berdasarkan principle atau kebenaran, maka dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d terdapat pembahasan akhir (closing conference) hasil pemeriksaan dengan WP. Dikarenakan tanpa SPHP atau closing conference akan mengakibatkan ketidaksesuaian procedural dalam penerbitan SKP dan jika tidak ada Surat Pemberitahuan Uraian Hasil, tetapi ada SKP dalam jangka waktu 20 hari. WP juga mendapatkan hak untuk diberikan pencegahan berupa kesempatan memperbaiki kesalahan supaya lebih manusiawi. Ketika dilihat dari tahap penagihan pajak yang sedari awal sudah dilakukan oleh jurusita secara transparansi di setiap tahapannya. Jurusita tidak serta merta dipilih, tetapi terdapat fit and proper test (FPT) dan pelatihan terlebih dahulu. Sesuai UU PPSP jurusita haruslah taat prosedur dan menganut ethic adapt of structure yang bertindak atas nama jabatan. Dikarenakan institusionalisasi etika dalam organisasi jurusita yang ditetapkan adalah core practice memastikan kepatuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun