Di tajuk pepohonan itu burung-burung mencuit. Di sangkar-sangkar beton bertingkat itu manusia-manusia menciut. Menjadi mesin-mesin egoistik tanpa rasa.
Cicit-cuit riang burung burung itu menguar di udara, meningkah carut-marut lakon manusia-manusia pemakan tanah dan pepohonan.
Lahan hijau nan lapang, di tangan manusia, telah menjadi lahan beton dan aspal, sumber polutan yang menyesakkan.
Burung-burung itu telah kehilangan tempat tinggal, digusur oleh hutan beton kota. Mereka terbang membawa kesah, mencari tajuk pepohonan terakhir, dan kenyamanan yang telah hilang.
Manusia-manusia demi segala egonya, tega mengorbankan alam dan seisinya. Mereka lupa, suatu ketika kelak, alam akan memukul balik mereka, mengambil segala miliknya.
Wahai manusia-manusia lupa diri. Sadarlah, belum terlambat untuk berdamai dengan burung-burung kecil itu.Â
Lakukan sesuatu, ikhlas, tanpa lelah, demi kelestarian lingkungan, demi manusia sendiri, dan burung-burung itu.
Jangan menciut jadi mesin tanpa rasa, tapi mencuitlah seperti burung-burung sarat karsa.
Blitar, 17 Juni 2022
Puisi kolaborasi oleh: Engkong Felix Tani, Peri Gigi Dewi Leyly dan Siti Nazarotin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H