Mudik, menurut Wikipedia adalah kegiatan perantau atau pekerja untuk pulang ke kampung halaman. Sebuah tradisi yang dilakukan pada hari-hari besar seperti hari raya idulfitri, hari raya iduladha, tahun baru maupun hari besar nasional.
Kegiatan mudik ini dilakukan perantau untuk bertemu kembali dengan keluaga, orang-orang yang dicintainya, sanak famili, sahabatnya serta handai taulan. Terutama untuk sowan (menemui) orangtuanya.Â
Setelah sekian lama merantau, baik untuk tujuan bekerja maupun mencari ilmu, tentu kerinduan kepada kampung halaman tidak bisa dibendung.
Demi meruahkan kangen dengan orang-orang yang dicintai, mengeluarkan banyak biaya untuk ongkos mudik dan beli oleh-olehpun rela dilakukan.Â
Hanya karena ingin merasakan kebahagiaan berkumpul dengan orang-orang yang dicintai, bersimpuh di haribaan kedua orang tua, --- bapak dan ibu, dua orang yang dianggap keramat, orang yang sangat berjasa kepada kita.Â
Bila orang tua telah tiada, disempatkan untuk berziarah kubur mendoakannya. Oleh karena itu, mudik dianggap kegiatan yang ditunggu-tunggu dan selalu menjadi agenda tahunan.
Dalam hal mudik, Rasulullahpun pernah merasakan. Kerinduan akan kampung halaman [Mekkah], ketika beliau diusir oleh kaum kafir Quraisy dan beliau tinggal di Madinah. Jikalau tidak diusir, maka Rasulullah tidak pernah merasakan kerinduan akan kampung halaman.
Maka, momen idulfitri dan mudik itu adalah satu rangkaian. Tidak harus berada di tempat yang jauh lalu kembali ke kampung halaman, dinamakan mudik. Bukan permasalahan jauh dekatnya tapi menurut saya, asal kita kembali ke kampung halaman setelah dalam kurun waktu tertentu lama tidak bersua dengan orangtua pun teman-teman sekampung, itu juga namanya mudik.
Misalnya, saya dulu kuliah di kota Malang, setiap sebulan sekali saya pulang ke rumah orangtua, begitu pula ketika bulan ramadan, setelah kegiatan kuliah libur, maka yang ditunggu-tunggu adalah mudik ke kampung halaman.Â