Kemarin telah berlangsung pertandingan laga semifinal Piala Gubernur Jatim 2020 antara Persebaya dan Arema di Stadion Supriyadi Kota Blitar.
Bumi Blitar menangis gegara ulah para supporter bola. Mereka kembali membuat kerusuhan di tanah bumi Bung Karno tercinta. Entah siapa dulu yang memulai, mereka membuat kerusuhan di beberapa titik di wilayah kota Blitar.
Kedua supporter, baik dari Arema maupun Persebaya sama-sama melakukan tindakan anarkis. Dari video yang bersliweran di medsos baik di Fb maupun WA yang masuk di gawaiku menunjukkan betapa mereka sudah tak mengindahkan lagi rasa kemanusiaan.
Meskipun saya tidak melihat langsung namun saya tahu info dari WA bahwa hari ini Persebaya menang 4-2 atas Arema. Inilah yang saya duga menjadi pemicu utama Aremania dalam bertindak anarkis. Kemungkinan besar mereka tidak terima klub dukungannya kalah.
Sasaran dari anarkisme itu adalah Bonek. Terdapat aksi saling mengejar, saling melempar batu, bahkan sampai melakukan aksi bakar motor.
Ditambah jika efek ini berujung pada faktor non bola. Seperti kendaraan bernopol plat N yang ragu untuk berkeliaran di Surabaya, juga plat L yang was-was ketika ngalor-ngidul di Malang. Hal ini biasanya muncul ketika sedang terjadi bentrokan. Ironis.
Bagi mereka hal itu bisa saja hanya hal biasa. Tetapi bagi saya itu bukan hal yang biasa. Saya membayangkan jika itu terjadi pada anak didik saya, tentu ini sangat menyedihkan.
Seandainya itu terjadi, saya yang sebagai guru, tentu sangat prihatin dan mengelus dada.
Teringat masa-masa ketika saya mendidiknya. Kenapa saat ia remaja menghabiskan waktunya dengan hal yang tidak bermanfaat sama sekali.
Lalu sebenarnya apa yang mereka cari? Â Dengan menimbulkan huru hara di sana sini, tidakkah timbul rasa penyesalan pada diri mereka? Apakah ini fanatisme buta ataukah sebuah hobby?