Mohon tunggu...
Siti Munawaroh
Siti Munawaroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa_UTM

Bergerak hari ini, atau tidak sama sekali!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

STADION RP MOH NOER: Memahami Kepuasan Pengunjung dalam Kontestasi Kerapan Sapi

12 Agustus 2024   11:02 Diperbarui: 12 Agustus 2024   11:12 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Documentasi Penulis

Absrtrak: Kerapan sapi adalah salah satu budaya yang terdapat di madura dan sering dijadikan ajang perlombaan dibawah naungan dinas kebudayaan dan pariwisata. Perlombaan ini menjadi kegiatan rutin yang dilakukan oleh aparat pemerintah, seperti piala presiden, piala bupati dan juga lain sebagainya. Kegiatan ini seringkali dilaksanakan di stadion moh. Noer yang bertepatan di kabupaten Bangkalan. Peserta yang mengikuti tidak hanya masyarakat Bangkalan saja akan tetapi juga meliput empat kabupaten yang ada di madura yaitu Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Kerapan sapi ini tidak hanya di gemari orang lokal saja akan tetapi juga ada wisatawan yang berasal dari luar dengan tujuan untuk menonton serta mengetahui bagaimana kerapan sapi saat di lapangan. penelitian ini untuk memahami bagaimana kepuasan pengunjung terhadap stadion karapan sapi Rp.H Moch Noer dalam kontestasi kerapan sapi, menyikapi fasilitas sarana dan prasarana stadion serta komitmen pemerintah kabupaten Bangkalan dalam pengembangan tradisi karapan sapi dan seni budaya khas madura.

Kata kunci: Stadion Rp Moh Noer, Kerapan Sapi

Pendahuluan

Madura sebuah pulau yang terletak di timur laut pulau jawa, pulau yang membentang dari barat ke timur, sering disebut-sebut pulau yang berbentuk seperti sebilah belati. Pulau yang kaya akan kesenian dan budaya tradisional. Pulau yang hanya terdiri dari empat kabupaten yakni kabupaten Bangkalan di ujung barat, kabupaten Sampang, kabupaten Pamekasan, dan kabupaten Sumenep di ujung timur di ketahui memiliki beberapa tradisi unik yang tidak ditemukan di Pulau Jawa, termasuk di pulau lainnya di Indonesia. Diantara tradisi unik tersebut adalah 'kerapan sapi'. tradisi khas Madura ini sebagai suatu kombinasi dari perayaan rakyat, hiburan, pertunjukan kesehatan ternak, dan pacuan sapi yang telah berlangsung turun temurun dan selalu menarik perhatian masyarakat luas. Adapun tempat pertandingan di laksanakan biasanya pada sebuah lapangan luas yang diberi batas antara penonton dan lintasan karapan sapi. Ada jarak antara batas lintasan karapan sapi dengan penonton, namun perilaku sapi tidak ada yang dapat ditebak, tidak sedikit sapi yang terkadang keluar lintasan dan melukai penonton. Area yang datar sama rata antara lintasan dengan tempat berdirinya penonton membuat penonton terkadang berdesakan berebut tempat agar bisa melihat sapi yang sedang bertanding. Lapangan yang digunakan pun biasanya hanyalah lapangan kosong sehingga saat para sapi datang dari kota masing-masing, tidak ada lokasi khusus (Basecamp) tempat sapi menunggu hingga tiba saatnya bertanding. Selain itu, minimnya fasilitas sarana dan prasarana serta fasilitas pendukung lainnya seperti kios-kios souvenir khas madura hal ini cukup mengganggu, sangat terlihat sapi-sapi besar ini berdiri tidak beraturan dan berantaka. Sedangkan penonton dan penggemar karapan sapi tidak hanya masyarakat madura saja dan penontonnya pun dari berbagai kalangan dan segala umur. Madura dibanjiri pengunjung dari luar madura termasuk wisatawan mancanegara. Sangat beralasan apabila kerapan sapi dinobatkan sebagai salah satu obyek wisata budaya primadona andalan jawa timur.

Asal Usul Kerapan Sapi 

Kerapan sapi merupkan dua pasang sapi jantan diadu cepat larinya ( kerrap) sejauh jarak tertentu. Setiap satu pasang sapi dikendalikan seorang joki (bhuto/tokang tongko') dengan memakai peralatan/perlengkapan berupa pangonong dan kalls. Yang paling awal sampai ke garis finis dianggap sebagai pemenang. Berdasar cerita yang berkembang di masyarakat Madura, keberadaan kerapan sapi tak bisa dilepaskan dari figur Kyai Ahmad Baidawi (yang dikenal dengan sebutan Pangeran Katandur), salah seorang penyebar Islam di Madura Konon, kyai Baidawi menyebarkan Islam di Madura (utamanya di Sumenep) atas perintah Sunan Kudus, salah seorang dari sembilan wali berpengaruh dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Sebelum berangkat ke Madura, Sunan Kudus memberi bekal kepada kyai Baidawi berupa dua tongkol jagung (janggel) yang masih utuh. Setiba di Madura, beliau tidak langsung berdakwah, melainkan mengajarkan pola bercocok tanam jagung. Yang membuat masyarakat tertarik adalah cara bercocok tanam yang unik. Umur jagung hanya 1 hari. Begitu jagung ditanam pagi hari, besoknya bisa langsung dipanen. Sudah bisa diduga, masyarakat sangat antusias belajar bercocok tanam kepada sang kyai. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh beliau untuk sambil mengajarkan dasar-dasar Islam, Ketika menancapkan tongkat ke tanah harus didahului dengan membaca basmalah. Pada saat memasukkan benih jagung ke tanah yang telah dilubangi, harus diawali dengan membaca dua kalimah syahdat. Kemudian setelah panen, harus dibarengi dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah Sang Maha Pencipta. Untuk tujuan ini, kaum petani diajari cara melaksanaan ibadah salat lima waktu. Demikian seterusnya, cara tersebut diulangulang sampai akhirnya pemeluk Islam semakin bertambah. Dalam sejarahnya, orang Madura dikenal sebagai peternak yang baik meskipun rerumputan jarang dan tidak terdapat tanah kosong atau padang rumput, kecuali di pulau-pulau bagian timur. Diceritakan bahwa seorang pemilik sapi, apabila datang dari bepergian, pertamatama sekali akan langsung menuju ke kandang ternaknya baru kemudian ke keluarganya. Diceritakan pula orang Madura terbiasa tidur di kandang sapi mereka daripada di rumah bagus bersama keluarganya Sapi Madura berbeda dengan sapi wilayah lainnya. Memiliki ukuran kecil dan berwarna kuning kecoklat-coklatan. Menurut ahli peternakan Belanda, sapi Madura merupakan trah khusus. Sekalipun bertubuh kecil--sehingga berdaging sedikit-- dan tak menghasilkan susu, sapi Madura sangat cocok untuk alam Madura yang beriklim kering. Oleh karena itu, di masa Belanda dibuat aturan yang melarang masuknya sapi luar ke Madura untuk menjaga kemurnian trah yang mapan. (Kosim, 2007).

Gambaran Inovasi/ Pengembangan Yang Diusulkan

penelitian berusaha memahami dan mendeskripsikan kepuasan pengunjung terhadap stadion karapan sapi Rp.H Moch Noer dalam kontestasi kerapan sapi dalam perspektif produksi ruang henry lafebre. Strategi yang dapat digunakan dalam topic ini adalah penta helix dimana strategi ini memiliki 5 peran aktor utama. Menurut model pentahelix menjadi acuan dalam membangun sinergi antar instansi untuk mencapai tujuan. Peran kolaborasi pentahelix memiliki tujuan inovasi dan memberikan kontribusi bagi kemajuan sosial ekonomi daerah. Dalam menciptakan orkestrasi dan menjamin kualitas kegiatan, fasilitas, pelayanan, penciptaan pengalaman dan nilai manfaat pariwisata guna memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, perlu didorong sistem pariwisata melalui optimalisasi peran dunia usaha (Business), pemerintah (Government), komunitas (Community), akademik (Akademisi), dan media (Media Publikasi) atau bgcam.

Paparan Analisis 

Peran masing-masing stakeholder yang ada pada model pentahelix dapat dilihat dari paparan analisis peran stakeholder berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun