Jakarta memang kejam. Demikianlah yang saya rasakan ketika harus berjuang menyelesaikan kuliah. Bagaimana tidak, perkenalan dengan Jakarta diawali dengan nyasar keliling kampus. Tidak ada yang bisa ditanya karena semua yang saya temui di kampus baru ini adalah orang-orang luar kota yang juga sedang nyasar. Aduh gusti... kemana orang Jakartanya ya?
Empat tahun di Jakarta memang meninggalkan kesan mendalam buat saya. Bertahan di Jakarta telah membelajarkan kita akan pluralisme. Bahwa Jakarta adalah muaranya perbedaan. Sebuah cerita ketika dengan santainya saya masuk ke dalam sebuah warteg, namun ternyata rumah makan ini adalah tempat makan saudara-saudara kita yang mengandung B2. Waduuh... luar biasa ya. Untungnya saya diingatkan oleh seorang pengunjung yang kaget ketika menemukan saya nyasar ke sana. Maklumlah, saya kan berjilbab.
"Mbak, benar mau makan di sini?",
Loh, saya jadi bingung. Jelas mau makan dong, kok diragukan begitu ya? Apa saya tidak ada tampang bisa bayar nasi warteg ?
"Ini khusus makanan B2 mbak...", Oooh... kaget saya. Ada juga ya di Jakarta ?
"Di Jakarta apa sih yang ga ada, Mbak?"... Hehe.. saya jadi nyengir sendiri dan segera berlalu.
Ketika naik metromini, ceritanya lain lagi. Sopirnya ngebut salib kanan salib kiri. Di suatu persimpangan tiba-tiba kondekturnya meminta kami turun. Loh? Kenapa harus turun, Bang? Kan masih jauh?
Dengan logat batak yang kental dia bilang mau balik lagi ke arah Pulo Gadung. Waduh, ini kan baru sampai Pulomas... perjalanan masih jauh.
"Kalo gitu, kembalikan ongkosnya ya Bang", pinta saya agak memelas. Maklumlah mahasiswa dengan bekal terbatas. Tetapi si kondektur malah marah-marah sambil memukul pintu metromini.
"Kurang ajar ya.. kamu bilang apa tadi ?", saya jadi bingung. Bilang apa ya ? Saya kan cuma minta uang ongkos dikembalikan. Emang ga boleh ya, soalnya baru naik harus turun lagi... Saya jadi gemetar. Kenapa nih kondektur.
"Tadi kamu bilang asu sama saya!!," kondektur ini berteriak lagi. Maksudnya?
"Iya, tadi kamu bilang asu sama saya. Pura-pura bego lagi !!," Sumpah, saya ga ngerti maksud si abang yang satu ini. Saya terlanjur takut, akhirnya saya bertanya perlahan, "Asu itu apa?"
Seorang teman mencubit saya sambil berbisik ,"Asu itu anjing".
Eyalaah... "Ngerti juga enggak bang sama bahasa Jawa. Bilang aja abang ga mau balikin ongkos saya!", sambil nyerocos tiada henti, lengan saya ditarik teman untuk segera berlalu.
Yaah.. begitulah Jakarta. Segala model orang ada di sini.
Lalu, di sore itu di tempat kos, tiba-tiba terdengar orang berteriak dan berlari lalu lalang. Ada apa pula ini ?
"Cepat lari, selamatkan harta benda," terdengar teriakan Bapak Kos. Emang ada apa, Pak ?
"Ada kebakaran neng. Ayo yang perempuan cepet bungkusin baju biar larinya gampang".
Waduuh. Saya dan teman satu kamar kontak panik. Maklumlah ini kejadian kebakaran pertama yang ditemui. Rasa penasaran mendorong saya pergi mencari tahu di mana kebakaran ini terjadi ? Ternyata ada di RT sebelah, jauh sekali lokasinya dari tempat saya tinggal. Namun, kepanikan bisa menjalar hingga satuu kelurahan. Mungkin pengalaman mengajarkan mereka untuk selalu waspada pada peristiwa kebakaran ini, mengingat rumah-rumah yang berdekatan satu sama lainnya. Belum lagi, kalau dekat kampus bisa ditebak bahwa kamar-kamar darurat yang jadi tempat kos ini terbuat dari triplek-triplek yang disambung.
Ah Jakarta, kota kenangan. Kota segala ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H