Saya sedang membaca buku "Mengapa Ingin Kuakhiri Hidupku", tulisan real life-nya Brent Runyon dalam The Burn Journals-nya.
Buku ini mengisahkan tentang sosok Brent yang pintar dan popular namun beberapa kali mencoba melakukan bunuh diri. Brent pernah berusaha melukai lengannya, namun yang ada dia kesakitan dengan darah yang lalu menggumpal. Dia tidak mati.
Kali ini kasus yang memaksanya melakukan itu adalah keisengannya menyalakan korek api temannya dan melemparkannya ke dalam loker. Dia tahu loker terbakar, untuk itulah dia menutupnya. Berharap api mati, ternyata malah menyambar kaos yang ada dalam loker. Brent menyiramkan air ke dalam loker, membuka loker dan jendela, membiarkan asap hitam mengepul pergi.
Sekolah mulai mengadakan penyelidikan, tak ada yang mau mengakui siapa pelaku pembakaran loker. Brent juga, tentu saja. Dia tak ingin masuk penjara. Namun, dia tahu pasti lambat laun kasus ini akan terungkap. Perasaannya mulai tidak enak.
"Kami diskors tiga hari karena mencuri dan orang tuaku marah sekali. Aku dihukum, tak boleh keluar rumah dua minggi dan dilarang nonton TV. Mereka berkata, " Kami belum pernah merasa kecewa seperti ini akibat ulahmu," tulis Brent di halaman 13.
Kali ini pasti Mom dan Dad akan kecewa lagi karena Brent membakar loker.
Akhirnya, suatu hari, Brent berjalan mengambil sekaleng bensin, masuk ke kamar mandi lantai atas, memakai jubah mandi, dan membasahi seluruhnya dengan bensin. Masuk ke bathtub, menyalakan korek apai, dan api lalu menyambar ke seluruh tubuh Brent. Menyadari ini mulai menyakitkan, Brent mulai menjerit, membuat Craig, sang kakak lalu memanggil 911.
Nah ini dia, Brent lalu mengisahkan perjalanannya melalui masa-masa perawatannya di RS.
Ada yang menarik bagi saya, semua orang di rumah sakit, baik dokter maupun perawat yang digambarkan Brent sangat berbeda dengan dokter dan perawat yang pernah ditemui sehari-hari di rumah sakit di Indonesia. Ya, iyalah. Bukankah orangnya berbeda ? Bukan itu maksud saya, Brent selalu detail mengisahkan bagaimana perawat datang menyapa dan menceritakan film terakhir yang dia tonton. Atau bagaimana perawat lain mengajaknya makan es krim bersama, atau bagaimana semua perawat akan berkata bahwa Brent adalah orang yang hebat. Kata-kata yang memotivasi dan membuat bertahan.
Lalu, kembali ke beberapa rumah sakit Indonesia, sedikit menelan ludah. Kadang-kadang dokternya jutek. (Pasti tidak semua sih). Miskin kata-kata, apalagi motivasi. Galak. Saya pernah bertanya bagaiman kabar anak saya yang sedang di ruang perawatan bayi, si dokter malah mengatakan bahwa saya cerewet. "Kasihan yang jadi pembantu Anda,". Maksud dokter? "Iya, kamu cerewet!". Loh, bertanya detail itu bukan cerewet dong, Dok. Ada-ada saja dokter ini. "Saya kan ibunya, ingin tahu kabar anak saya". Heran, sang dokter malah berlalu. Tidak mau menjelaskan bagaiman kabar perkembangan anak saya. Esok-esoknya, sumpeh deh, saya ga mau pake jasa dokter itu lagi. Mending ganti rumah sakit kalau dokternya dia.
Ada lagi, seorang dokter kandungan. Memeriksa kandungan, melakukan USG, tapi tidak memberikan penjelasan apa-apa. Khawatir dibilang cerewet lagi, pertanyaan-pertanyaan yang banyak saya saring sedikit demi sedikit, sang dokterpun menjawab irit.
Saya mengurut dada saja sambil berdoa semoga esok hari dokter dan perawat Indonesia ramah tamah dan baik hati semua. Orang sakit, selain harus mendapat perawatan juga perlu suasana batin yang tenang dengan mendapatkan dokter dan perawat-perawat yang penuh perhatian. Jadi, ramahnya dokter dan perawat tidak hanya ditemukan dalam kisah rumah sakit di luar negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H