Mohon tunggu...
Siti Mudriqoh
Siti Mudriqoh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penerima Beasiswa Riset BAZNAS 2021 Kategori Prodi MAZAWA

Sebaik-baik manusia adalah yang membawa manfaat bagi orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Reinventing Amil Figure: Menjadi Amil dengan Karakter Kenabian

14 April 2022   10:00 Diperbarui: 14 April 2022   10:05 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Istilah amil sangat erat kaitannya dengan zakat. Sebab, amil termasuk dalam 8 golongan penerima zakat (ashnaf zakat). Kata amil sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu amila -- ya'malu yang memeiliki arti mengerjakan atau melakukan sesuatu. Kata amali merupakan bentuk isim fa'il yang bermakna pelaku dari suatu pekerjaan. Oleh karena itu, kata amil memiliki makna orang yang mengerjakan suatu pekerjaan.

Sedangkan secara istilah dalam ilmu fiqh dapat disimpulkan bahwa amil zakat adalah orang yang telah diamanahi tugas sebagai pengelola zakat yang bertugas mulai dari mengumpulkan zakat hingga mendistribusikannya kepada pihak yang berhak menerima zakat. 

Dalam Pembinaan seri 1 yang dilakukan oleh BAZNAS RI bagi para penerima Beasiswa Riset Prodi MAZAWA, pengertian amil yang disampaikan oleh Bapak Farid Septian selaku Kepala Divisi Pendidikan dan Dakwah BAZNAS RI, didefinisikan sebagai orang yang ditugaskan oleh imam atau pemerintah atau lembaga untuk mengelola zakat, termasuk yang mengumpulkan, mendata, mencatat, menyalurkan dan menjagaa harta zakat. 

Amil adalah satu-satunya pekerjaan yang tercantum dalam Al Quran. Yaitu pada Surah At Taubah ayat 60 dan menjadi pekerjaan yang mulia sejak zaman Rasulullan SAW.

Tugas seorang amil tidak sebatas pada mengumpulkan zakat lalu disalurkan kepada yang berhak. Menjadi amil memiliki amanah dan tanggung jawab yang besar. Sebab peran dan manfaat zakat yang sangat penting dalam kehidupan umat. 

Zakat merupakan konsep ajaran Islam yang mengandung nilai perbaikan perekonomian umat dalam rangka memerangi kemiskinan. Sebagai ajaran agama yang mengandung dimensi perbaikan ekonomi, pengelolaan zakat diarahkan untuk dimanfaatkan secara strategis atau yang dikenal dengan zakat produktif.

Oleh karena itu, penyaluran dana zakat tidak boleh asal-asalan, sebab amil harus bisa mentranformasi orang lain. Maksudnya adalah bagaimana membuat seorang penerima zakat menjadi seorang pembayar zakat. Menjadi amil yang mampu mentransformasikan orang lain membutuhkan ilmu, kemampuan, kemauan, kerja keras, motivasi dan juga akhlak yang baik agar dapat memiliki kualitas diri yang bagus. 

Dimasa sekarang, khusunya bagi para calon-calon amil muda harus bisa menemukan seorang figur untuk dijadikan tolak ukur menjadi seorang amil. Salah satu sahabat yang dapat dijadikan tolak ukur adalah Muadz bin Jabal.

Mengapa Muadz bin Jabal? Jika berbicara mengenai pemuda Anshar yang menjadi senior dan tokoh bukan karena usia. Beliau adalah pemimpinnya para ulama di akhirat kelak. Dialah yang disebut oleh Nabi Muhammad sebagai orang yang paling tahu tentang halal dan haram. 

Dialah Muadz bin Jabal al-Anshari radhiallahu 'anhu, seorsng cendikiawan muslim pada masa Rasulullah SAW. Nama dan nasabnya adalah Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus. Kabilah Aus merupakan salah satu kabilah besar yang terpandang di Kota Madinah. Muadz memeluk agama Islam diusia yang sangat belia yaitu 18 tahun. 

Beberapa peristiwa bersejarah yang melibatkan Muadz bin Jabal adalah peristiwa Perjanjian Aqabah. Muadz bersama 70 orang Yatsrib lainnya berjanji akan menyediakan tempat baru di negeri mereka, apabila Rasulullah dan para sahabat benar-benar akan berhijrah. Beliau juga turut serta dalam Perang Badar dan seluruh perang yang diikuti Rasulullah SAW.  

Sejak Nabi hijrah ke Madinah, Muadz belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu syariat langsung dari sumbernya yaitu Rasulullah SAW. Sehingga diantara para sahabat, Muadz-lah yang paling fasih bacaan Alqurannya dan termasuk salah satu dari enam penghafal Al-Quran terbaik di zaman Nabi SAW. Beliau juga orang yang paling berilmu terutama tentang hukum-hukum agama. Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,


"Pria terbaik adalah Abu Bakr, Umar, Abu Ubaidah, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syammas, Mu'adz bin Amru ibnul Jamuh, dan Mu'adz bin Jabal." (Ash Shahihah (875))

Dalam hadist  lain, Nabi SAW bersabda:

:

"Belajarlah Alquran dari empat orang: Ibnu Mas'ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka'ab, dan Muadz bin Jabal." (HR. Muslim)

Rasulullah SAW merupakan pribdai yang selektif dalam memuji orang lain. Beliau memberi pujian bukan semata-mata hanya untuk basa-basi. Sebab pujian beliau adalah sebuah rekomendasi yang dapat menunjukkan bahwa orang yang dipuji bisa dijadikan rujukan bagi umatnya kelak. Di antara sahabat yang banyak dipuji oleh Nabi adalah Muadz bin Jabal ra. Nabi SAW bersabda:


"Umatku yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Muadz bin Jabal." (HR. Turmudzi 4159, Ibn Hibban 7137 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Walaupun usia Muadz masih sangat muda, ia memiliki wawasan keislaman yang luas. Hal tersebut dibuktikan ketika Nabi mengutusnya berdakwah ke Yaman setelah Perang Tabuk. Beliau mengantar Muadz ke ujung jalan sambil berjalan kaki, sementara Muadz berada di tunggangan. Muadz bin Jabal merupakan pemuda yang memiliki kedudukan besar di hati Nabi. Di antara hal yang menunjukkan hal itu adalah Nabi pernah memboncengnya dan memegang tangannya sambil berkata,


"Wahai Mu'adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu." (HR. Abu Daud no. 1522 dan An Nasai no. 1304. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Asy-Sya'bi (tabi'in) berkata, "Faurah bin Naufal al-Asyja'i menyampaikan kepadaku bahwa Abdullah bin Mas'ud berkata, "Sesungguhnya Muadz bin Jabal adalah seorang yang patuh kepada Allah (qanit) dan hanif. 

Dari Muadz kita mendapat banyak sekali teladan yang dapat dijadikan tolak ukur dalam rangka memperbaiki diri. Diusia mudanya, Muadz menjadi penghafal Al-Qur'an dan menjadi cendikiawan muslim. Bahkan dialah yang kata Nabi paling mengetahui tentang halal dan haram. 

Maka sudah sepantasnya kita sebagai umat Islam memanfaatkan usia muda kita untuk berjuang menimba ilmu, memperbanyak literasi, mengasah berbagai kemampuan dan hal bermanfaat lainnya. Usia muda juga bukan penghalang untuk taat kepada Allah dan bukan penghalang melakukan amal ma'ruf.

Bukan hanya kemampuan ilmu dan akhlaknya yang baik, ternyata Muadz bin Jabal juga seorang amil. Saat itu khalifah Umar r.a mengutus Muadz bin Jabal untuk pergi ke Yaman. Muadz bin Jabal menghabiskan waktu sekitar 11 tahun untuk merubah perekonomian masyarakat negeri itu mencapai taraf kesejahteraan. 

Indikasinya masyarakat disana pada waktu itu tidak ada lagi yang berhak menerima zakat (Huda, dkk, 2019) . Setelah itu Muadz kembali ke Madinah dengan membawa harta zakat dan mendapat protes dari Khalifah Umar r.a. "Aku tidak mengutusmu sebagai penarik zakat Yaman untuk dibawa ke Madinah." Muadz menjawab, "aku tidak lagi mendapati penduduk Yaman yang menjadi mustahik" (Johari, 2008).

Maka tugas amil untuk mentransformasikan orang lain sudah dicontohkan secara langsung sejak zaman Rasulullah SAW. Zakat menjadi tolak ukur kemakmuran suatu negara. Apabila jumlah penerima zakat semakin kecil dari jumlah muzakki, maka negara semakin makmur. Bukan hanya membantu pemerintah dalam mengatasi kesenjangan ekonomi menggunakan dana zakat. 

Tetapi dengan mengelola zakat dengan baik, amil bisa menyelamatkan orang-orang kaya dari potensi kemusyrikan juga menyelamatkan orang-orang fakir dari potensi kekufuran atau kekafiran. Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Na'im, Rasulullah SAW bersabda: "Kemiskinan itu dekat dengan kekufuran".

Keberhasilan pengelolaan zakat pada masa kekhalifahan bukan sebatas pada penggunaan harta zakat secara material semata. Zakat dijadikan tolak ukur akan kesejahteraan masyarakat, baik dari segi jumlah orang yang berzakat, besar zakat yang dibayarkan, maupun jumlah penerima zakat. Melihat keberhasilan para khalifah menjadi indikasi bahwa sumber daya manusia terutama para amil di masa itu memiliki kualitas yang sangat baik. 

Baik kualitas keilmuan maupun kualitas karakter yang sangat bagus sebab mereka mendapat contoh langsung, yaitu Rasulullah SAW. Sebaik apapun kebijakan yang diterapkan, cara-cara pengelolaan zakat yang sudah terstandar tidak akan optimal jika tidak didukung dengan sumber daya manusia yang profesional. Maka, sudahkah kita melihat diri kita sendiri? Kualitas seperti apa yang sudah kita miliki untuk menjadi seorang amil?


*Penulis : Siti Mudriqoh

Penerima Beasiswa Riset BAZNAS  2021 Kategori Prodi MAZAWA






Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun