Mohon tunggu...
Siti Fatimah
Siti Fatimah Mohon Tunggu... Guru - SDN Grogol Selatan 01

Seorang guru SD di sebuah sekolah negeri di DKI Jakarta. Saat ini sedang memulai belajar menulis. Saya mempunyai seorang anak yang sangat senang ketika dibacakan cerita. Akan sangat bangga apabila bisa membacakan cerita dalam buku karangan sendiri kepada ananda tercinta. Semoga mimpi itu bisa terwujud.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesedihan Tak Berujung

19 September 2022   05:29 Diperbarui: 19 September 2022   06:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bu Tati memandang ke arah motor yang sedang terparkir di teras rumahnya. Pikirannya melayang membayangkan kejadian sore itu, saat Yuli, anak Bu Tati, memboncengkannya ke rumah Bu Tun, bidan desa yang selalu ramai pasien. Sore itu Bu Tati merasa badannya meriang. Ia meminta Yuli mengantarkannya ke rumah Bu Tun untuk periksa dan minta obat. 

Bu Tun adalah bidan andalah di desa itu, tarif yang murah dan obat yang relatif manjur menjadi alasan warga berbondong-bondong berobat ke rumah Bu Tun bila mengalami gejala-gejala masuk angin.

Sepanjang perjalanan Yuli tak mengatakan apapun kepada ibunya. Ia juga sedang tak enak badan akhir-akhir ini. Batuk dan flu melanda. Sesampainya di rumah Bu Tun, Bu Tati segera duduk mengantri. Tampak beberapa orang sudah datang lebih dulu, mereka mengantri tanpa nomor, hanya mengingat urutan kedatangan masing-masing.

 Sambil mengantri, Bu Tati menawarkan kepada Yuli agar diperiksa juga. Awalnya Yuli menolak, tetapi karena dipaksa ibunya, Yuli pun mengiyakan tawaran ibunya.

"Bu, ini obat untuk Ibu dan yang ini untuk Mbak nya ya," ucap Bu Tun sambil menyodorkan 2 plastik bungkus obat yang sudah ditandai aturan minumya itu.

"Makasih Bu, jadi berapa semua Bu?" Tanya Bu Tati sambil menerima bungkusan plastik obat itu.

"40 ribu Bu, ibu 20 dan mbaknya 20," jawab Bu Tun ramah.

Setelah membayar biaya periksa, Bu Tati pun berpamitan kepada Bu Tun.

Hari sudah hampir magrib saat Yuli dan Bu Tati sampai di rumah. Adzan magrib pun terdengar berkumandang di masjid dekat rumah. Bu Tati yang biasanya pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah, hari ini memutuskan tidak berangkat dulu di masjid dan memilih sholat di rumah. 

Setelah melaksanakan sholat magrib berjamaah dengan Yuli, Bu Tati segera makan malam agar bisa segera minum obat pemberian Bu Tun. Begitu juga Yuli. Dia mengajak serta Mas Bimo, suaminya, makan bersama. Mereka akhirnya makan malam bersama.

Setelah dua hari minum obat dari Bu Tun, Bu Tati sudah sembuh. Dia kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Tetapi Yuli justru belum menunjukkan perubahan, batuknya masih terus saja mengganggu. Merasa obat dari Bu Tun belum menunjukkan khasiatnya, Yuli memutuskan untuk membeli obat dari apotek terdekat.

Sesampainya di rumah, Yuli segera meminum obat yang dibelinya dari apotek. Kali ini dia justru merasa lemas dan pusing. Bu Tati pun menawarkan Yuli agar dikeroki. Setelah dikeroki, Yuli tertidur. Bu Tati marasa lega melihat anak semata wayangnya bisa tidur. Setelah bangun nanti, pasti Yuli sudah baikan, begitu pikir Bu Tati.

Sudah hampir 1 jam Yuli tidur dengan nyenyaknya, sambil menunggu Yuli bangun, Bu Tati membuat es batu. Sebelum suaminya meninggal, Bu Tati biasa membuat sekitar 60 bungkus es batu dalam sehari, tetapi kini, ia hanya membuat sekitar 20 bungkus saja. Hal itu karena Bu Tati tidak mau melanjutkan usaha almarhum Pak Dodi berdagang es doger di SD setempat.

Yuli pun terbangun, ia nampak lebih segar, tetapi Yuli masih mengeluhkan lemas dan pusing. Bu Tati meminta Mas Bimo untuk mengantarkan Yuli ke puskesmas agar Yuli mendapat penanganan yang tepat. Dari puskesmas, Yuli diberi rujukan untuk dibawa ke RSUD agar dilakukan cek darah. Mas Bimo pun segera membawa Yuli ke RSUD dengan membawa mobil pick up angkutan airnya.

Setelah sampai di rumah sakit dan dilakukan serangkaian pemeriksaan, termasuk cek darah, dokter menyampaikan bahwa Yuli mengalami keracunan obat. Entah obat dari Bu Tun atau dari apotek yang menyebabkannya keracunan, Yuli pun tak mau mencari tahu lebih lanjut tentang hal itu. Kadar keratin dalam darahnya cukup tinggi, sehingga Yuli harus menjalani cuci darah. 

Hal ini tentu membuat Yuli dan Mas Bimo sedih. Mental Yuli seketika down. Ia tak menyangka harus menjalani pengobatan yang cukup serius ini. 

Pikirannya sudah melayang, bagaimana kalau-kalau ia tak panjang umur. Mas Bimo berusaha memberi semangat kepada Yuli. Saat itu juga Bu Tati yang mendapat kabar menyedihkan itu langsung menuju ke RSUD dengan diantar oleh Rudi, keponakan Bu Tati.

Tanpa debat Bu Tati pun mempercayakan semua upaya kesembuhan anaknya kepada dokter. Proses cuci darah pun berlangsung lancar. Seminggu lamanya Yuli dirawat di rumah sakit. Sesekali Bu Tati pulang ke rumah untuk mencuci baju ganti dari rumah sakit. Para tetangga selalu menanyakan kabar Yuli. 

Bu Tati tampak tegar dan kuat. Dia selalu menyatakan bahwa keadaan Yuli sudah membaik, hanya menunggu tensi darahnya turun, karena saat ini tensinya masih tinggi sehingga belum diijinkan pulang oleh dokter.

Setelah genap seminggu, akhirnya Yuli pulang dari rumah sakit. Ibu-ibu se-RT menjenguk Yuli di rumah. Semua memberi semangat dan meyakinkan bahwa penyakit Yuli pasti akan sembuh asal dibarengi tekad dan semangat yang kuat. Yuli pun tampak optimis dan kuat menerima takdir dari Allah ini.

Tiga bulan sudah Yuli menjalani cuci darah. Kondisinya semakin menurun. Senin minggu lalu, kondisinya menurun sampai untuk berjalan ke kamar mandi saja harus dipapah Mas Bimo. 

Akhirnya Mas Bimo memutuskan membawa Yuli ke rumah sakit. Selasa sore Yuli dibawa ke rumah sakit, kondisinya terus menurun. Rabu sore menjelang magrib kondisinya kritis dan akhirnya setelah magrib Yuli kembali ke pangkuan Ilahi Robbi.

"De, ayo makan dulu," perkataan Rudi membuyarkan lamunan Bu Tati yang sedari tadi menatap motor vario yang biasa dikendarai Yuli.

"Oh iya, ayuk," jawab Bu Tati sambil berdiri kemudian berjalan menuju ke dalam rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun