Menurut survey BPS tahun 2001-2006, proporsi perempuan petani adalah 55,2%, dan sisanya adalah laki-laki. Artinya perempuan adalah produsen pangan yang dominan. Adanya affirmatif action kuota 30% bagi perempuan dalam legislatif bisa menjadi pintu untuk memperjuangkan kebijakan pangan yang lebih mendorong terwujudnya kemandirian dan kedaulatan pangan yang ramah perempuan.
LEVEL KULTURAL
Berpikir global tanpa tindakan lokal yang konkrit, hanya akan menjadi wacana kosong. Sebagai penguasa dapur, perempuan bisa melakukan gerakan sederhana dengan merintis kemandirian bahan pangan untuk konsumsi keluarga. Memilih produk pangan dalam negeri, terutama yang organik, dan mengatur pola makan keluarga  agar berakar pada biodiversitas pangan lokal. Pendeknya karbohidrat tak harus nasi, roti tak mesti terigu, dan bumbu tak harus bawang.
###
Artikel ini saya buat beberapa waktu lalu, untuk sebuah rubrik, yang ternyata telah ditiadakan. Kini krisis bawang hampir berakhir. Mungkin nanti, saat kita sudah lupa, krisis ini terulang lagi untuk komoditi berbeda. Kedelai, minyak goreng, dan sebagainya. Saat krisis, rakyat mencaci maki, aparat sibuk berapologi, pengambil keputusan akan "memadamkan kebakaran". Seperti biasa. Jika saat itu persediaan "air" habis, atau mesin pemadam tidak bisa berfungsi, "kebakaran" itu tak mustahil menghancurkan negeri ( Aissh, dukun mana pula ini?!)
Salam !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H